Dunia Belum Siap Cerai dari Batu Bara: Manusia Butuh Energi Murah

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
18 July 2025 15:40
Batu bara
Foto: Pexels

Jakarta, CNBC Indonesia- Batu bara kerap disebut energi masa lalu dan sumber polutan terbesar. Namun, di Asia, pamornya masih terdengar, bahkan lebih lama dari yang diprediksi.

Ketika dunia bercita-cita menuju energi bersih, kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks, kebutuhan listrik melonjak, teknologi bersih belum sepenuhnya siap, dan keamanan energi menjadi kartu truf utama.

Perang Rusia-Ukraina, gejolak Timur Tengah, dan perlombaan global untuk kecerdasan buatan (AI) mengerek permintaan listrik secara masif. Di banyak negara Asia, mulai dari India hingga Indonesia, batu bara tetap menjadi sandaran karena murah, tersedia lokal, dan menopang lapangan kerja.

Tak heran, meski Eropa dan Amerika Serikat memangkas ketergantungan, Asia masih menyumbang 78% konsumsi batu bara global.

Batu Bara dan Realitas Energi Asia

Menurut Wood Mackenzie, puncak konsumsi batu bara global (peak coal) diperkirakan terjadi pada 2026. Namun, dalam skenario permintaan tinggi, puncaknya bisa mundur hingga 2030, dengan penurunan yang jauh lebih lambat. Alasannya ada tiga faktor kunci.

Pertama, keamanan dan keterjangkauan energi. India dan China menambang miliaran ton batu bara domestik setiap tahun demi menekan impor.

Lalu lonjakan permintaan listrik. Data center, pabrik energi intensif, dan elektrifikasi massal menambah beban jaringan listrik, membuat pembangkit lama bertahan lebih lama.

Terakhir, inovasi teknologi batu bara. Dari retrofit fleksibel hingga uji coba carbon capture, batu bara didorong agar "lebih bersih", meski biaya tetap menjadi tantangan.

Usia Muda, Napas Panjang

Masalah lain yang membuat Asia sulit melepas batu bara adalah pembangkitnya yang masih muda. Rata-rata usia pembangkit batu bara di kawasan ini masih belasan tahun, jauh di bawah usia teknis 50-60 tahun. Artinya, dari sudut pandang ekonomi, masih ada puluhan tahun sebelum aset ini habis masa pakai.

Berikut gambaran usia rata-rata pembangkit batu bara Asia, dibandingkan jarak sejak terakhir kali membangun pembangkit baru:



Indonesia dan Vietnam punya pembangkit termuda di Asia. Secara logika bisnis, mempensiunkan pembangkit baru yang belum balik modal jelas berat.

Dari sisi biaya, batu bara domestik tetap lebih murah dibanding gas impor. Di China dan India, harga batu bara bituminus lokal hanya sekitar US$3-4 per mmbtu, sedangkan gas alam cair (LNG) impor bisa melonjak hingga US$36 per mmbtu saat krisis energi 2022. Akibatnya, banyak negara Asia memilih bertahan dengan batu bara demi menjaga harga listrik tetap terjangkau.

Banyak berharap pada tenaga surya, angin, dan penyimpanan energi. Namun, penyimpanan baterai belum cukup matang untuk menjadikan energi terbarukan sebagai baseload. Sementara itu, gas alam-yang dianggap transisi lebih bersih-masih terbatas di Asia, hanya 3-4% dari input bahan bakar pembangkit di China dan India.

Inovasi seperti co-firing dengan amonia/hidrogen atau carbon capture, utilisation and storage (CCUS) sedang diuji. Jepang dan Korea Selatan memimpin uji coba, tapi biayanya mahal dan hasilnya belum signifikan untuk menekan emisi setara gas alam.

Kesimpulannya, Asia tidak sedang anti-transisi, tetapi transisinya realistis dan bertahap. Lonjakan kebutuhan listrik, harga energi impor yang mahal, serta usia pembangkit yang masih muda membuat batu bara tetap menjadi "penopang darurat" di tengah ambisi net-zero.

Tapi bukan tanpa risiko. Jika investasi pada teknologi rendah karbon tak dipercepat, dunia berpotensi masuk jalur kenaikan suhu 3°C-jauh dari target Paris Agreement.

Artinya, pertarungan batu bara memang soal iklim, tapi selain itu juga keamanan energi, ekonomi, dan waktu.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation