Gelombang PHK Masih Terjadi, 2.400 Orang Kehilangan Kerja di Mei

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
16 July 2025 09:10
Pangan Makin Mahal Hingga PHK Dimana-Mana, Rakyat RI Makin Sengsara
Foto: Infografis/ Pangan Makin Mahal Hingga PHK Dimana-Mana, Rakyat RI Makin Sengsara/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal masih melanda Indonesia. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan, dengan sektor industri padat karya seperti tekstil, garmen, elektronik, dan makanan cepat saji menjadi yang paling terdampak.

Hingga awal tahun 2025, Indonesia telah menghadapi gelombang besar PHK dengan jumlah pekerja yang terdampak mencapai sekitar 60.000 orang pada dua bulan pertama tahun ini. Data ini diperoleh dari laporan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). KSPI juga mencatat bahwa PHK terjadi di 50 perusahaan, termasuk 15 di antaranya yang dinyatakan pailit.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melaporkan bahwa pada Januari dan Februari 2025, sekitar 40.000 pekerja mengalami PHK, dengan konsentrasi terbesar di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Tangerang. Data ini diperoleh dari jumlah pekerja yang mencairkan BPJS Ketenagakerjaan, baik melalui JHT maupun JKP.

Adapun dari data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat 26.455 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 20 Mei 2025. Angka tersebut bertambah 2.419 orang dibandingkan per akhir April 2025. Angkanya bisa bertambah jika dihitung hingga akhir Mei 2025.

PHK salah satunya disebabkan oleh ambruknya sektor manufaktur Indonesia. Hal ini tercermin dari data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 47,4 atau mengalami kontraksi pada Mei 2025. Ini adalah kedua kali dalam dua bulan beruntun PMI mencatat kontraksi.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

S&P Global menjelaskan aktivitas produksi dan pesanan baru kembali melemah, dengan penurunan pesanan baru yang bahkan lebih tajam dibanding April. Penurunan pesanan bahkan menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.

Ekspor juga terus menurun selama Mei, sementara permintaan yang lesu membuat pelaku usaha menahan pembelian dan menyesuaikan tingkat persediaan.

Kepada S&P, perusahaan menjelaskan lemahnya permintaan pasar dan lebih sedikit permintaan barang sebagai faktor utama dari jebloknya aktivitas manufaktur. Permintaan dari luar negeri juga kembali melemah, meskipun dengan laju yang lebih lambat, terutama ekspor ke Amerika Serikat.

Kondisi permintaan yang lemah ini turut mendorong penurunan lanjutan produksi untuk bulan kedua berturut-turut. Meskipun masih dalam kategori solid, laju penurunan produksi lebih lambat dibanding bulan sebelumnya.

Sebagai respons atas kondisi operasional yang lesu, pelaku usaha menurunkan volume pembelian bahan baku penurunan kedua dalam dua bulan terakhir. Perusahaan juga berupaya mengurangi persediaan bahan baku dan barang jadi, dengan memanfaatkan stok yang ada untuk memenuhi produksi dan permintaan.


CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation