Asia Kepanasan: Gelombang Panas Pecahkan Rekor, China-Korsel Terkepung

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
12 July 2025 20:15
Pejalan kaki menggunakan payung untuk menghindari terik matahari di kawasan Jembatan Pinisi di halte busway Karet, Jakarta, Rabu (27/9/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pejalan kaki menggunakan payung untuk menghindari terik matahari di kawasan Jembatan Pinisi di halte busway Karet, Jakarta, Rabu (27/9/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia — Asia kembali membuktikan dirinya sebagai episentrum krisis iklim. Dari Seoul yang nyaris memecahkan rekor suhu seabad, hingga Shanghai yang terguncang suhu 40°C lebih, benua ini sedang menjalani salah satu musim panas terpanas sepanjang sejarah.

Suhu ekstrem, penyakit akibat panas, gletser mencair, hingga laut yang ikut memanas jadi bukti bahwa krisis iklim tak lagi datang diam-diam.

Di Korea Selatan, suhu menyentuh 38,7°C di kota Gangneung pada awal Juli. Ini menjadi rekor ketiga tertinggi sepanjang pencatatan sejak 1911. Sementara itu, Seoul yang biasanya baru dilanda panas ekstrem di akhir Juli, tahun ini sudah menerima peringatan gelombang panas pada 8 Juli-18 hari lebih awal dari tahun lalu.

Suhu di ibu kota diperkirakan bisa mencapai 36°C, hanya sedikit di bawah rekor tertinggi sepanjang masa untuk bulan Juli, yaitu 36,8°C yang tercatat pada 1939.

Bahayanya juga makin terasa di rumah sakit. Sejak 15 Mei, lebih dari 875 orang telah dirawat akibat penyakit terkait panas. Tujuh di antaranya meninggal dunia, termasuk dua kasus terbaru di Jeolla Utara dan Gyeongsang Utara akibat heat stroke. Angka ini bahkan sudah melampaui total kasus setahun penuh di 2024.

Panas ini diperparah oleh kehadiran massa udara tropis dari arah Typhoon Danas yang, meskipun tak menyentuh langsung Korea, mendorong kelembapan dan suhu tinggi dari arah laut Pasifik ke daratan.

Kota-kota di barat Korea seperti Seoul, Daejeon, dan Jeonju merasakan panas lembap yang lebih menyiksa dibanding daerah timur seperti Gangneung, yang mulai sedikit mendingin karena arah angin bergeser.

Sementara itu di China, otoritas cuaca mengeluarkan peringatan suhu ekstrem untuk 754 wilayah sekaligus. Ini termasuk kota-kota besar, provinsi, hingga kabupaten di seluruh penjuru negeri.

Beberapa daerah di kawasan timur bahkan mencatat suhu lebih dari 40°C. Di wilayah-wilayah padat penduduk seperti Shanghai, Jiangsu, dan Anhui, suhu tak pernah turun di bawah 35°C sejak awal bulan. Ini adalah salah satu gelombang panas terluas yang pernah tercatat di China.

Jika dua negara raksasa Asia saja sudah dalam kondisi seperti ini, bagaimana dengan keseluruhan kawasan?

Laporan terbaru dari World Meteorological Organization (WMO) yang dirilis 10 Juli 2025 menunjukkan bahwa Asia memang memanas hampir dua kali lebih cepat dibanding rata-rata dunia. Dalam 30 tahun terakhir, laju pemanasan di Asia dua kali lipat lebih tinggi dibanding periode sebelumnya. Tak hanya daratan, laut pun ikut panas.

Laut di sekitar Asia, termasuk Samudera Hindia bagian utara dan Laut Kuning hingga Laut China Timur, mencatat suhu permukaan tertinggi dalam sejarah. Sebanyak 15 juta kilometer persegi wilayah laut Asia setara dengan 1,5 kali luas daratan China-terkena gelombang panas laut dengan intensitas kuat hingga ekstrem.

Ini bukan hanya membuat ikan-ikan kabur dan terumbu karang mati, tapi juga memicu badai tropis yang lebih dahsyat dan mempercepat pencairan es.

Di wilayah pegunungan tinggi Asia, seperti Himalaya dan Tianshan, 23 dari 24 gletser utama terus menyusut. Cuaca musim dingin yang kering dan musim panas yang semakin ekstrem mempercepat hilangnya cadangan es.

Padahal, kawasan ini dikenal sebagai "Kutub Ketiga Dunia" karena menyimpan es terbanyak setelah Kutub Utara dan Selatan. Mencairnya es ini tak cuma menaikkan permukaan laut, tapi juga mengganggu ketersediaan air untuk miliaran orang yang bergantung pada aliran sungai dari pegunungan tersebut.

Di sisi lain, pola curah hujan juga makin kacau. Sebagian wilayah Asia mengalami kekeringan parah seperti di Hindu Kush dan pegunungan Sayan. Namun sebagian lainnya justru dihantam hujan ekstrem. Di Uni Emirat Arab, 259 milimeter hujan turun dalam 24 jam tertinggi sejak 1949. Di Kazakhstan dan Rusia selatan, banjir terparah dalam 70 tahun terjadi, memaksa lebih dari 118.000 orang mengungsi.

Namun masih ada ruang untuk harapan. Di Nepal, laporan WMO menunjukkan bahwa sistem peringatan dini dan tindakan antisipatif yang kuat mampu menyelamatkan banyak nyawa dan mata pencaharian. Ketika pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat bekerja sama, adaptasi bukan sekadar mimpi.

Akan tetapi waktu makin sempit. Asia, rumah bagi lebih dari separuh populasi dunia, harus bertindak lebih cepat dari suhu yang terus naik.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation