Tak Selamanya Trump "Jahat" ke RI, Ini Buktinya

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
10 July 2025 18:35
Ini Janji-janji Presiden Terpilih AS Donald Trump
Foto: Ilustrasi Trump, (Edward Ricardo/ CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia- Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menaikkan tarif dan menggeser arah energi nasional nyatanya tak hanya menciptakan tekanan global tetapi juga peluang besar.

Bagi Indonesia, kebijakan proteksionis itu justru menjadi pemicu keuntungan untuk tiga komoditas : tembaga, emas, dan batu bara.

Kenaikan harga tembaga menjadi sinyal pertama. Setelah Trump mengumumkan tarif 50% untuk tembaga impor, harga logam merah itu melonjak ke rekor tertinggi sepanjang masa US$5,676 per pon atau US$12.510 per ton.

Di tengah disrupsi rantai pasok global dari Amerika Latin, Indonesia berada di posisi strategis.

Ekspor tembaga RI yang sebagian besar mengalir ke China dan Asia Tenggara tidak terdampak tarif AS, justru berpeluang mengisi kekosongan pasokan global. Bea keluar dari ekspor tembaga ikut melonjak hingga Rp14,6 triliun, tumbuh 327% dari target semester I 2025.

Lain cerita dari sektor emas. Ketika "One Big Beautiful Bill Act" milik Trump lolos di Senat, pasar merespons cepat. Harga emas global naik 1,08% ke level US$3.338 per troy ons, didorong kekhawatiran inflasi dan defisit anggaran AS.

Harga emas bahan sudah mencetak rekor demi rekor di era Trump di posisi US$ 3.424,30 per troy ons pada 3 Juni 2025.

Jika dihitung perdagangan intraday, rekor harga intraday tertinggi dalam sejarah di US$ 3.500,05 yang tercipta pada 22 April 2025.

Emas sebagai aset safe haven mendapat momentum baru, dan Indonesia sebagai produsen besar turut menikmati sentimen positif. Di saat investor global menjauhi sektor berisiko, instrumen logam mulia kembali jadi primadona.

Batu bara jadi cerita paling kompleks. Meski bukan pasar utama RI, kebijakan Trump yang mencabut moratorium tambang, menurunkan royalti, dan menghapus insentif energi bersih, telah mengembalikan permintaan terhadap energi fosil. Proyek batu bara di AS mulai hidup kembali, dan saham sektor ini melesat mengungguli saham EV.

Di sisi lain, Indonesia sebagai eksportir batu bara terbesar dunia mencatat ekspor 405 juta ton pada 2024, naik 6,86% secara volume.

Nilainya memang sempat turun 11,8%, tapi tren pemulihan permintaan dari pasar non-AS seperti India dan Eropa diprediksi akan menopang rebound ke depan.

Lanskap energi di Amerika Serikat (AS) sedang mengalami perubahan besar di era Trump, didorong oleh keputusan kebijakan yang mendorong kebangkitan batubara, sekaligus mengungkap kerentanan sektor energi terbarukan.

Lanskap tersebut terlihat dari Undang-Undang (RUU) Pajak yang baru saja disetujui.
Trump Bill memberi angin segar bagi industri batu bara dengan subsidi langsung dan pemangkasan insentif energi bersih. Versi Senat bahkan memperkuat posisi batu bara lebih jauh dibanding versi DPR, dengan menambahkan insentif pajak khusus untuk produsen batu bara.

Kebijakan ini bertujuan menggenjot produksi domestik dan menjaga lapangan kerja di sektor tambang.

Di sisi lain, subsidi untuk energi terbarukan seperti angin dan surya akan dihapus total setelah 2027, kecuali proyek yang sudah berjalan. Hasilnya, batu bara kembali kompetitif karena lawan utamanya tak lagi didukung fiskal.

Kebijakan di UU tersebut diharapkan bisa meningkatkan permintaan global terhadap batu bara.

Serangkaian kebijakan legislatif dan eksekutif terbaru, mulai dari pencabutan moratorium sewa batubara federal hingga insentif pajak untuk batubara metalurgi.

Langkah ini telah menciptakan dorongan jangka pendek yang kuat bagi para penambang batubara. Sementara itu, penghapusan bertahap insentif pajak energi bersih dan subsidi kendaraan listrik (EV) menimbulkan risiko besar bagi perusahaan energi terbarukan dan produsen EV.

Bagi investor, dikotomi ini membuka peluang langka untuk mengalokasikan kembali modal secara taktis ke aset-aset terkait batubara, sekaligus mengambil posisi short terhadap sektor-sektor yang terpapar risiko hilangnya subsidi.

Trump Bill memberi angin segar bagi industri batu bara dengan subsidi langsung dan pemangkasan insentif energi bersih. Versi Senat bahkan memperkuat posisi batu bara lebih jauh dibanding versi DPR, dengan menambahkan insentif pajak khusus untuk produsen batu bara.

Kebijakan ini bertujuan menggenjot produksi domestik dan menjaga lapangan kerja di sektor tambang.

Di sisi lain, subsidi untuk energi terbarukan seperti angin dan surya akan dihapus total setelah 2027, kecuali proyek yang sudah berjalan. Hasilnya, batu bara kembali kompetitif karena lawan utamanya tak lagi didukung fiskal.

Namun, langkah ini menuai kritik karena berpotensi menghambat transisi energi di tengah dorongan global menuju dekarbonisasi dan pembangunan berkelanjutan.

Kebijakan di RUU tersebut diharapkan bisa meningkatkan permintaan global terhadap batu bara.

Indonesia sebagai negara eksportir batu bara terbesar di dunia memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini, baik melalui kenaikan harga batu bara global maupun peningkatan permintaan ekspor langsung ke AS.

Sebagai catatan, ekspor batu bara menopang sekitar 15-16% dari nilai ekspor Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan volume ekspor batu bara Indonesia pada 2024 menyentuh 405,76 juta ton. Volume ekspor tersebut naik 6,86% dibandingkan pada 2023.

Namun, secara nilai, ekspor batu bara anjlok 11,86% menjadi US$ 30,49 miliar.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation