Kesaktian Surat Utang AS Dibantai, Tak Ada Lagi Rasa Nyaman

mae, CNBC Indonesia
03 July 2025 13:18
INFOGRAFIS, Trump Ngamuk Bank Dunia Utangi China
Foto: Infografis/Trump Ngamuk Bank Dunia Utangi China/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Surat utang pemerintah Amerika Serikat (AS) mulai kehilangan "kesaktiannya". Rasa aman yang dulu melekat di obligasi pemerintah AS mulai meluntur.

Pasar obligasi pemerintah AS selama ini dianggap sebagai safe haven. Dengan peminat dan nilai begitu besar, likuid, aman, dan sangat diterima, obligasi AS bahkan kerap dianggap seperti uang tunai.

Semua faktor ini membuat obligasi AS memiliki apa yang disebut sebagai "convenience yield" atau premi kenyamanan.

Convenience yield adalah keuntungan tidak langsung atau premi kenyamanan yang didapat investor dari memegang suatu aset fisik atau keuangan, dibanding hanya memiliki kontrak atas aset itu (misalnya dalam bentuk derivatif seperti futures atau swap).

Dalam konteks obligasi pemerintah AS atau US Treasury, convenience yield adalah keuntungan ekstra (non-finansial secara langsung) yang membuat investor bersedia membeli dan memegang obligasi pemerintah AS meskipun imbal hasilnya lebih rendah dibanding instrumen lain dengan risiko sebanding.

Sebagai contoh: Obligasi pemerintah AS memberikan imbal hasil 3% sementara obligasi korporasi aman memberikan 3,5% atau berselisih 0,5%.

Namun, investor tetap memilih obligasi pemerintah AS karena sangat likuid (mudah dijual kapan saja), aman secara hukum dan politik, diterima luas sebagai jaminan dalam transaksi keuangan global, serta dianggap sebagai aset lindung nilai (safe haven) saat krisis.

Selisih 0,5% itu adalah "harga kenyamanan" yaitu convenience yield dari US Treasury.


Pesona US Treasury Luntur

US Treasury tenor 10 tahun adalah salah satu indikator paling penting di pasar keuangan karena sering dijadikan acuan suku bunga jangka panjang, misalnya, untuk KPR.

Sementara itu, tenor 20-30 tahun adalah instrumen murni jangka panjang dan umumnya digunakan oleh investor institusi seperti dana pensiun karena kestabilannya dalam jangka panjang.

Obligasi jangka pendek atau Treasury Bills (T-Bills), biasanya bertenor 4 minggu, 13 minggu, 26 minggu, dan 52 minggu.

Obligasi jangka menengah atau kerap disebut T-Notes biasanya bertenor 2, 3, 5, dan 7 tahun. Sementara itu, jangka panjang atau T-Bonds bertenor 10, 20, 30 tahun.

 

Riset baru dari ekonom New York University, perang tarif AS pada April 2025 mulai mengikis convenience yield, terutama di surat utang jangka panjang.

Makalah baru dari dua profesor keuangan New York University (NYU), Viral Acharya dan Toomas Laarits menunjukkan convenience yield adalah institusi Amerika yang "dibantai" pada 2025

Laporan tersebut menjelaskan bagaimana "kejutan perang tarif" pada awal April 2025 memengaruhi convenience yield obligasi pemerintah AS.

Pelemahannya di jangka panjang sejalan dengan penurunan sifat lindung aset aman dari obligasi jangka panjang. Hal ini tercermin dari peningkatan kovarians saham-obligasi yang dihitung menggunakan data intraday.

Laporan tersebut menunjukkan surat utang tenor pendek masih memiliki convenience premium, tetapi obligasi jangka panjang telah kehilangan sebagian keistimewaannya.

Makalah ini berasal dari awal Mei, saat dampak tarif masih cukup baru, sehingga hasil penelitian menekankan bahwa temuan adanya "pembalikan sebagian tapi belum sepenuhnya" convenience yield masih bersifat awal.

Estimasi regresi variabel instrumental menunjukkan bahwa peningkatan pasokan US Treasury menyebabkan convenience yield menurun, terutama untuk utang jangka panjang.

Peningkatan pasokan utang jangka panjang sebesar 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) menyebabkan penurunan convenience yield sebesar 0,94 poin persentase dalam jangkauan waktu 10 tahun. Sebaliknya, convenience yield pada US Treasury jangka pendek relatif tidak sensitif terhadap perubahan pasokan.

Hal ini tercermin dari imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor pendek 3 bulan yang stabil sementara tenor 10 dan 30 tahun sangat fluktuatif.

Obligasi jangka panjang kehilangan fungsi "safe haven" saat pasar bergejolak. Investor bahkan mulai beralih ke surat utang jangka pendek dan emas.

Volatilitas antara saham dan obligasi meningkat, artinya korelasi aman antara keduanya menurun.

US Treasury jangka pendek (seperti T-bills) memang masih menikmati convenience yield karena tetap dipandang aman dan likuid. Pasalnya, investor masih mau "membayar lebih" untuk T-bills demi kenyamanan dan fungsi lindung nilai.

Selain perang dagang, convenience yield telah menurun selama satu dekade terakhir karena lonjakan penerbitan surat utang jangka panjang, yang menekan premi kenyamanan.

Penerbitan utang jangka panjang naik signifikan di 2020 dan mencapai puncak pada 2021 karena pandemi.
Pasokan utang jangka pendek juga melonjak di 2020 dan kembali naik di 2023, menunjukkan peralihan ke instrumen jangka pendek saat kondisi pendanaan penuh ketidakpastian.

Obligasi AS Terus Disorot

Sepanjang tahun ini, pasar obligasi AS memang dalam sorotan. Beberapa hari setelah perang tarif diumumkan awal April, yield surat utang AS atau US Treasury tenor 10 tahun yang menjadi benchmark melesat ke 4,497% pada perdagangan 11 April.Posisi ini adalah yang tertinggi sejak 20 Februari 2025.

Dalam sepekan,yield US Treasury 10 tahun melesat 0,506 bps atau terbesar sejak 2001.

Swap spread 30 tahun sempat melebar melewati -100 basis poin, level negatif tertinggi sejak pandemi. Imbal hasil 10 tahun naik lebih dari 40 basis poin, sementara imbal hasil 30 tahun melonjak 60 basis poin - menuju lonjakan mingguan terbesar sejak 1981.

Yield melonjak setelah aksi jual besar-besaran pada US Treasury. Penjualan obligasi AS diperkirakan menembus US$ 29 triliun. Aksi jual besar-besaran ini pun dikaitkan dengan bond vigilante.

Bond vigilantes merujuk investor di pasar obligasi yang "menghukum" pemerintah dengan menjual obligasi mereka ketika mereka merasa pemerintah terlalu boros atau tidak bertanggung jawab secara fiskal. Tindakan mereka menyebabkan imbal hasil (yield) naik, yang membuat biaya pinjaman pemerintah lebih mahal. Tindakan mereka semacam "peringatan" dari pasar.

Di tengah panasnya perang dagang, obligasi AS justru dijual ramai-ramai karena investor mulai tidak percaya dengan pemerintah AS.
China dan Jepang mulai menjual obligasi AS karena meningkatnya ketegangan perdagangan, lonjakan defisit, hingga kebijakan Presiden AS Donald Trump yang suka beruba-ubah.

"Tekanan besar dirasakan secara global untuk menjual Treasury dan obligasi korporasi, khususnya oleh pemegang asing. Ada kekhawatiran besar secara global karena mereka tidak tahu ke mana arah kebijakan Trump," kata Peter Tchir dari Academy Securities, kepadaReuters.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation