10 Saham dengan Kinerja Terburuk Semester I, Emiten Konglo Berguguran

saw, CNBC Indonesia
01 July 2025 08:55
Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa saham big caps terpantau mencatatkan kinerja yang cukup buruk di semester I 2025. Bahkan sebagian terpantau emiten milik konglomerat hingga sosok pengusaha besar di Indonesia.

Saham dengan kapitalisasi besar belum tentu mencatatkan kinerja pergerakan harga saham yang bagus. Kapitalisasi besar hanya menunjukkan ukuran perusahaan, bukan jaminan harga naik. Perusahaan besar sering sudah mapan, sehingga pertumbuhannya tidak secepat perusahaan kecil yang masih ekspansi, sehingga potensi kenaikan harga sahamnya lebih terbatas.

Salah satu emiten milik konglomerat RI Prajogo Pangestu, PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) mencatatkan kinerja buruk dengan turun 36,66% di semester I 2025. Penurunan saham BREN terjadi efek negatif dari ekuitas indeks global MSCI dan FTSE.

Pada Februari 2025, MSCI mengecualikan BREN dari MSCI Global Standard Indexes, investor institusional mengikuti pedoman indeks ini banyak melakukan aksi jual, sehingga BREN sempat terseret turun hampir 20% dalam sehari. Sebelumnya pada September 2024, FTSE Russell telah menghapus BREN karena free float kurang (≦5%). Hal ini memaksa dana indeks global untuk menjual saham BREN.

Kemudian, pergerakan saham PT MNC DigitalEntertainment Tbk (MSIN) milik keluarga Tanoesoedibjo juga mencatatkan penurunan tajam di sepanjang semester I 2025.

Salah satu penyebab turunnya saham MSIN adalah masuknya perseroan ke dalam FTSE Global Equity Index Small-Cap yang berlaku pada 24 Maret 2025.

Meskipun dianggap prestisius, hal ini memicu praktek sell the news, investor index funds berpotensi melakukan rebalancing turun, menyebabkan aksi jual massal awal. Momentum ini menciptakan tekanan jual tambahan, terutama pada saham small cap seperti MSIN.

Adapula salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia yang juga terus mencatatkan penurunan pergerakan saham di semester I 2025. PT Gudang Garam Tbk (GGRM) telah mengalami penurunan harga saham sebesar 31,07% pada semester I 2025.

Penyebab anjloknya harga saham GGRM sejalan dengan penurunan kinerja keuangan perseroan. Pada 2024, GGRM membukukan laba bersih Rp981 miliar. Kinerja tersebut turun hingga 81,6% dibandingkan 2023 yang tercatat Rp5,3 triliun. Nilai laba bersih GGRM tersebut menjadi yang paling rendah dibandingkan dengan 4 tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp7,64 triliun pada 2020, Rp5,6 triliun pada 2021, Rp2,78 triliun pada 2022, dan Rp5,32 triliun pada 2023.

Perusahaan bersaing ketat dengan merek lain serta menghadapi maraknya rokok ilegal yang terhindar dari cukai mahal. Investor pun mempertanyakan strategi GGRM, yang hingga kini belum masuk ke produk bebas asap seperti e-vapor seperti IQOS/Velo dari pesaing.

Dari perusahaan energi, PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) yang terafiliasi dengan Garibaldi atau yang dikenal dengan Boy Thohir juga mengalami penurunan pada semester I 2025 mencapai 24,69%.

Penurunan saham ADRO sejalan dengan pelepasan saham PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) alias spin off dan berdampak buruk pada kinerja keuangan ADRO.

Pada Desember 2024, ADRO melepas sekitar 74,6% saham PT Adaro Andalan Indonesia (AADI), mengubahnya dari entitas terintegrasi menjadi holding batubara metalurgi. Akibatnya, laba dan pendapatan turun drastic di kuartal I 2025, pendapatan anjlok 22% (yoy) menjadi US$382juta, dibandingkan US$491juta pada kuartal I 2024. Laba bersih pun turun hampir 80% (yoy) menjadi US$77juta, dibandingkan pada tahun sebelumnya US$374juta.

Dan terdapat saham milik grup Salim, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) yang juga mencatatkan penurunan tajam di semester I 2025 hingga 24,58%.

Aksi jual pada saham TOWR terjadi akibat right issue dan kekhawatiran dilusi. Pada akhir April 2025, TOWR mengumumkan rencana rights issue sekitar 4,9 miliar saham baru atau sekitar 23% dilusi. Hal ini dilakukan untuk membayar utang dan modal kerja, serta akuisisi anak usaha. Aksinya menyebabkan kekhawatiran investor soal dilusi kepemilikan dan potensi tekanan harga segera setelah rights issue diumumkan.

Mayoritas pemegang saham mayoritas yakni PT Sapta Adhikari Investama pun juga memilih tidak menyerap rights issue mereka, menambah tekanan distribusi saham baru.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation