Thailand Chaos: Dihantui Resesi, Daya Beli Runtuh

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
30 June 2025 16:05
Unjuk rasa antipemerintah terhadap PM Thailand Shinawatra di Bangkok, Thailand, Sabtu (29/6/2025). (REUTERS/Athit Perawongmetha)
Foto: REUTERS/Athit Perawongmetha

Jakarta, CNBC Indonesia - Thailand sedang menghadapi guncangan politik dalam negeri. Ratusan warga Thailand menggelar demonstrasi di pusat kota Bangkok pada Sabtu (28/6/2025), pengunjukrasa menuntun PM Paetongtarn untuk mundur dari jabatannya akibat dari sengketa perbatasan dengan Kamboja.

Di tengah ketidakpastian politik dan sosial yang meningkat, ekonomi Thailand masih menunjukkan performa yang beragam. Beberapa indikator utama seperti  pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tetap positif, namun tekanan terhadap konsumsi, investasi, dan pasar keuangan menjadi sinyal bahwa tantangan struktural belum mereda.

Ekonomi Thailand yang dilihat berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB)nya di kuartal I-2025, yang hanya tumbuh 3,1% (year on year/yoy) atau lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal IV-2024 yang tumbuh 3,3%.

Indeks Harga Konsumen (IHK) Thailand turun atau mengalami deflasi dalam 0,57% (yoy) pada Mei 2025. Deflasi ini adalah yang terjadi dalam dua bulan beruntun.

Deflasi ini memunculkan banyak pertanyaan, apakah lemahnya inflasi ini hanya sementara atau justru menjadi tren permanen yang bisa menyeret Thailand ke lingkungan deflasi?

Pipat Leungnaruemitchai, Kepala Ekonom Kiatnakin Phatra Financial Group, menjelaskan bahwa tren inflasi negatif di Thailand bukan sekadar akibat penurunan harga komoditas, melainkan cerminan dari lemahnya tekanan inflasi dalam jangka panjang.

Ia menegaskan bahwa inflasi rendah bukanlah hal baru bagi Thailand. Dalam dekade terakhir, inflasi inti terus berada di bawah target bank sentral, mencerminkan permasalahan struktural yang lebih dalam dalam perekonomian.

"Kita tidak punya inflasi yang berasal dari sisi permintaan. Tidak ada tekanan harga, karena pelaku usaha tidak mampu membebankan biaya tambahan ke konsumen. Singkatnya, tidak ada yang berani menaikkan harga karena daya beli masyarakat terlalu lemah," ujar Pipat, dikutip dari The Nation Thailand.

Dari sisi tingkat pengangguran di Thailand, terjadi peningkatan menjadi 0,89% pada kuartal pertama 2025 dari 0,88% pada kuartal keempat 2024. Rata-rata tingkat pengangguran di Thailand tercatat sebesar 2,13% sejak tahun 1977 hingga 2025, dengan level tertinggi sepanjang masa sebesar 7,75% pada kuartal pertama 1986 dan rekor terendah sebesar 0,47% pada kuartal keempat 2012.

Jika dilihat dari jumlah utang pemerintah Thailand terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Thailand memiliki rasio utang sebesar 63,70%.

Sementara PDB per kapita Thailand pada tahun 2023 tercatat sebesar US$6.393 per tahun atau sekitar Rp103,7 juta per tahun (US$1=Rp16.220).

Sebagai catatan, PDB per kapita menjadi salah satu tolak ukur untuk kemakmuran sebuah negara karena mencerminkan pendapatan masing-masing penduduk.

Ukuran PDB per kapita negara kaya umumnya lebih dari US$30.000 per tahun (nominal), bahkan banyak yang di atas US$40.000-50.000, tergantung negara dan tahun perhitungan.

Sebagai catatan, Bank Dunia membagi klasifikasi pendapatan sebagai berikut:

- Pendapatan Rendah ≤ US$ 1.135

- Menengah Bawah US$ 1.136 - 4.465

- Menengah Atas US$ 14.466 - 13.845

- Pendapatan Tinggi ≥ US$ 13.846

Thailand Berada di Jurang Resesi Menurut Ekonom

Direktur Pelaksana dan Kepala Ekonom Kasikorn Research Center Burin Adulwattana, mengatakan bahwa ekonomi Thailand dapat memasuki resesi teknikal di semester kedua 2025.

"Faktor utama yang akan menyeret ekonomi ke bawah pada semester kedua meliputi penurunan ekspor yang signifikan, pariwisata yang gagal memberikan dukungan yang memadai, dan pengurangan substansial dalam anggaran stimulus ekonomi, dengan hanya 25 miliar baht yang dialokasikan tahun ini dibandingkan dengan 140 miliar baht tahun lalu, terutama karena fase pertama program Dompet Digital," ucapnya.

Sementara itu,Pusat Intelijen Ekonomi Siam Commercial Bank (SCB EIC) telah menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Thailand untuk tahun 2025 menjadi hanya 1,5%, dengan alasan tantangan global dan struktural.

Dalam prospek kuartal dua 2025 juga terdapat risiko penurunan pertumbuhan ekonomi karena ketegangan perdagangan, pergeseran kebijakan AS, kerapuhan ekonomi domestik, dan terbatasnya ruang fiskal.

SCBEIC memperingatkan, "Adanya risiko yang dapat menyeret ekonomi Thailand ke dalam resesi teknis pada paruh kedua tahun ini."

"Sektor pariwisata, yang dulunya merupakan pendorong utama pertumbuhan, mulai kehilangan momentum, sementara ekspor dan investasi swasta tetap lesu karena ketidakpastian yang terus berlanjut dalam kebijakan perdagangan global," menurut SCBEIC yang dikutip pada Minggu (29/6/2025).

Selain itu, SCBEIC menilai konsumsi swasta juga melambat tajam, yang mencerminkan kerapuhan dalam lapangan kerja dan pendapatan di bawah kondisi keuangan yang ketat. Pertumbuhan kredit rumah tangga tetap lemah, dan kualitas utang tetap menjadi perhatian, yang melemahkan kepercayaan konsumen dan bisnis.

CNBC RESEARCH INDONESIA 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation