Menjaga Stabilitas Fiskal Bukan Mengejar Angka
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dalam diskursus fiskal modern, angka kerap menjadi pusat perhatian. Defisit dijaga sekian persen, rasio utang dipatok pada ambang tertentu, penerimaan pajak ditargetkan tumbuh setiap tahun.
Angka-angka tersebut penting. Namun pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa fiskal yang sehat tidak ditentukan oleh seberapa rapi targetnya, melainkan oleh seberapa stabil sistem yang menghasilkan angka tersebut.
Di dunia teknik dan telekomunikasi, stabilitas tidak dicapai dengan memaksa laju data setinggi mungkin. Sistem yang baik justru menjaga throughput tetap konsisten meskipun kanal menghadapi gangguan berupa noise, delay, dan error.
Kanal dinilai bukan dari kapasitas maksimalnya, tetapi dari kemampuannya mentransmisikan sinyal secara andal dalam kondisi nyata. Intuisi ini relevan untuk membaca tantangan fiskal.
Penerimaan pajak dapat dipahami sebagai laju sinyal yang masuk ke sistem ekonomi negara. Insentif fiskal adalah ruang pita agar aktivitas ekonomi tetap mengalir. Perlambatan ekonomi, fluktuasi harga komoditas, hingga krisis iklim bertindak sebagai noise yang tidak dapat dihilangkan.
Ketika kebijakan hanya berfokus menaikkan angka penerimaan tanpa menyesuaikan konfigurasi sistem, hasilnya sering kali bukan stabilitas, melainkan distorsi: kepatuhan melemah, investasi tertahan, dan basis pajak tergerus.
Pengalaman Chile memberi pelajaran penting. Pada masa lalu, belanja negara sangat mengikuti naik-turunnya harga tembaga. Ketika harga naik, belanja melonjak; ketika turun, fiskal tertekan.
Masalahnya bukan besarnya penerimaan, melainkan reaksi sistem yang terlalu sensitif terhadap fluktuasi jangka pendek. Reformasi dilakukan dengan menerapkan structural balance rule: belanja didasarkan pada estimasi harga jangka panjang, bukan harga pasar sesaat.
Secara sistemik, ini setara dengan menambahkan filter pada kanal, noise disaring, sinyal jangka panjang dipertahankan. Hasilnya, fiskal Chile menjadi lebih stabil dan tahan guncangan.
Swedia memberikan contoh lain. Pascakrisis awal 1990-an, negara ini membangun kerangka kendali jangka menengah: batas belanja, target surplus struktural, dan mekanisme koreksi otomatis.
Dalam analogi sistem, Swedia membangun closed-loop control: output dipantau dan parameter disesuaikan secara disiplin. Stabilitas yang dihasilkan memungkinkan fleksibilitas saat krisis berikutnya, termasuk pandemi Covid-19.
Sebaliknya, Yunani menunjukkan kegagalan sistemik. Masalahnya bukan hanya defisit besar, melainkan rusaknya umpan balik dan kredibilitas data. Dalam istilah sistem, kanal kehilangan informasi kondisi dirinya sendiri.
Koreksi menjadi terlambat dan mahal. Ini mengingatkan bahwa kegagalan fiskal sering kali adalah kegagalan desain sistem, bukan sekadar kegagalan mencapai target.
Contoh mutakhir juga terlihat pada Norwegia dan sejumlah negara Teluk. Norwegia membatasi penggunaan pendapatan minyak melalui dana abadi dan aturan fiskal ketat sehingga lonjakan harga energi tidak langsung diterjemahkan menjadi lonjakan belanja.
Negara-negara Teluk melakukan reformasi pajak dan penyesuaian insentif secara bertahap untuk mengurangi ketergantungan pada satu sumber penerimaan. Dalam kedua kasus, kebijakan diarahkan untuk menstabilkan aliran, bukan memaksimalkan angka jangka pendek.
Pelajaran utamanya jelas: perubahan kebijakan yang berhasil adalah perubahan konfigurasi sistem, bukan sekadar perubahan target angka. Negara yang sukses tidak sibuk "mengatur angka", melainkan mengatur bagaimana angka merespons gangguan dan ketidakpastian.
Dalam konteks shortfall penerimaan pajak akibat perlambatan ekonomi, pendekatan sistem memberi arah yang konstruktif. Alih-alih menyalahkan siklus, perbaikan dapat difokuskan pada:
(1) target dinamis berbentuk koridor, bukan angka tunggal;
(2) penyaringan sinyal ekonomi agar kebijakan tidak bereaksi pada fluktuasi jangka pendek;
(3) optimalisasi kepatuhan berbasis risiko, bukan pengetatan umum;
(4) sinkronisasi kebijakan pajak dengan fase siklus ekonomi; dan
(5) komunikasi kebijakan sebagai bagian dari mekanisme kendali untuk menjaga kepercayaan publik.
Di dunia yang semakin bergejolak, menjaga fiskal negeri berarti menjaga akal sehat kebijakan. Angka tetap penting, tetapi harus dibaca sebagai sinyal, bukan tujuan.
Stabilitas lahir bukan dari obsesi pada performa sesaat, melainkan dari sistem yang dirancang untuk bertahan, menyaring gangguan, dan menyesuaikan diri secara tepat waktu.
(miq/miq)