Kegagalan Menarik Investasi NVIDIA

Kuntjoro Pinardi,  CNBC Indonesia
17 December 2025 16:40
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kebijakan Pembelajaran Individu untuk Generasi Emas Indonesia. Alumni Program Habibi.. Selengkapnya
NVIDIA. (REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo/File Photo)
Foto: NVIDIA. (REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo/File Photo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kegagalan menarik NVIDIA berinvestasi besar di Indonesia sering dibaca secara emosional: regulasi, keamanan, atau birokrasi. Namun pertanyaan yang lebih jujur dan produktif seharusnya adalah: apakah Indonesia memang sudah relevan bagi industri semikonduktor kelas dunia?



Industri chip bukan industri simbolik. Ia menuntut ekosistem yang sangat spesifik: ribuan insinyur chip design, verification, dan testing; rantai pasok presisi tinggi; perlindungan IP yang ketat; serta kepastian kebijakan jangka panjang 10-20 tahun. Dalam ukuran objektif itu, kegagalan menarik NVIDIA bukan kegagalan kepercayaan, melainkan cermin ketidaksiapan struktural.

Namun kegagalan ini justru membuka ruang refleksi yang lebih penting: jalur apa yang realistis untuk membawa Indonesia menuju PDB Rp60.000 triliun? Jawabannya bukan memaksakan diri masuk ke industri yang belum siap, tetapi membangun kekuatan dari apa yang memang kita miliki.

Indonesia unggul pada karbon, energi, lahan, dan pasar domestik besar. Dari sini, strategi rasional adalah membangun klaster industri hijau dan konsumsi global: energi terbarukan, waste-to-energy, biomassa, karbon premium, pangan, pakan, dan protein. Industri-industri ini bukan hanya feasible, tetapi dibutuhkan dunia sekarang.

Di saat yang sama, Indonesia perlu belajar serius menjadi ODM produk konsumsi, merancang, memproduksi, dan memasok barang yang dipakai miliaran orang: pangan olahan, protein alternatif, material karbon, produk energi, dan bio-based products. Inilah sekolah industri yang nyata: belajar desain, efisiensi, standar global, dan rantai pasok, tanpa harus langsung meloncat ke chip design.

Bayangkan provinsi-provinsi dengan PDRB ratusan hingga ribuan triliun rupiah, bukan dari satu pabrik raksasa, tetapi dari jaringan klaster industri yang terintegrasi dengan masyarakat. Jika ini berhasil, PDB nasional Rp60.000 triliun bukan fantasi, melainkan akumulasi rasional dari kekuatan daerah.

Ketika fondasi itu terbangun, investasi teknologi tinggi akan datang dengan sendirinya. Saat itu, kita tidak lagi bertanya mengapa NVIDIA tidak memilih Indonesia, tetapi apakah Indonesia masih perlu mengejar industri yang bukan kekuatan utamanya.


(miq/miq)