Mata Elang, Banalitas Aparat, dan Kemiskinan Struktural
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Tragedi pengeroyokan dua debt collector atau "mata elang" (matel) hingga tewas di Kalibata, Jakarta Selatan, pada 11 Desember 2025, adalah luka terbuka yang menyakitkan. Peristiwa yang melibatkan oknum aparat kepolisian sebagai terduga pelaku ini bukan sekadar insiden kriminal biasa.
Melainkan manifestasi akut dari kegagalan sistemik yang melibatkan regulasi yang ompong, praktik bisnis yang serampangan, dan kondisi ekonomi yang menjepit. Dua nyawa melayang-bukan karena kejahatan murni, melainkan di ujung mata rantai bisnis manajemen risiko yang buruk.
Matel adalah skip tracer modern, sebuah profesi yang sah secara hukum (diatur dalam POJK Nomor 35 Tahun 2018) dan merupakan bagian integral dari sistem pembiayaan. Ironisnya, legalitas mereka tidak diiringi dengan perlindungan dan dukungan profesional yang memadai.
Faktor utama yang mendorong seseorang, terutama mereka yang berwatak keras, memilih profesi berisiko tinggi ini adalah kemiskinan struktural. Tidak ada pria waras di dunia ini yang bersedia mempertaruhkan nyawa dan reputasinya di jalan hanya untuk dapur tetap ngepul, kecuali mereka berada di posisi terdesak. Para matel adalah korban dari minimnya lapangan kerja formal dan ketatnya likuiditas yang membuat perusahaan pembiayaan mendesak penagihan aset.
Mereka adalah gejala, bukan akar masalah. Akar masalahnya terletak pada analisa kredit yang kendur, edukasi debitur yang minim, dan pengawasan OJK yang lamban. Perusahaan pembiayaan dan perbankan telah menjadikan matel sebagai tameng risiko mereka, mengalihkan tanggung jawab moral dan hukum kepada kolektor di lapangan.
Banalitas Aparat
Kasus Kalibata menghadirkan dimensi yang paling mengerikan karena melibatkan oknum penegak hukum. Konflik yang seharusnya diselesaikan secara prosedural malah berujung pada pengeroyokan brutal.
Dalam pandangan kriminolog Havina Hasna, tragedi ini menyoroti gagalnya aparat kepolisian dalam mengendalikan emosi dan memisahkan peran profesional. Namun, jauh di balik kegagalan emosi, kita menyaksikan sebuah fenomena yang oleh filsuf Hannah Arendt disebut sebagai Banalitas Kejahatan (The Banality of Evil).
Kekejaman yang dilakukan oknum polisi yang turun dari mobil untuk mengeroyok dua pria yang hendak menarik motor rekan mereka bukanlah tindakan yang lahir dari ideologi iblis atau kegilaan psikopat.
Sebaliknya, tindakan tersebut dilakukan dengan banal, seolah-olah itu adalah hal yang sepele, mudah, dan lumrah dalam solidaritas sesama aparat. Tindakan membunuh yang dilakukan secara kolektif ini menunjukkan hilangnya kemampuan berpikir kritis dan moralitas individu di bawah tekanan kelompok atau sistem.
Oknum polisi tersebut, yang seharusnya menjadi representasi hukum, justru bertindak tanpa refleksi moral, menempatkan solidaritas buta dan emosi pribadi di atas identitas profesionalnya.
Ini adalah cerminan kegagalan institusi yang telah lama membiarkan praktik backing atau chaos di jalanan tumbuh subur, hingga kekejaman menjadi bagian dari rutinitas yang tidak lagi dipertanyakan.
Ketika aparat yang diikat oleh sumpah dan etika berani melanggar hukum secara terang-terangan dan brutal, maka hukum rimba telah resmi beroperasi, menggasak supremasi hukum yang sah.
Penegasan Hukuman
Mengingat tragedi ini melibatkan dua korban meninggal dan terduga pelaku adalah anggota Polri, hukuman yang tegas, transparan, dan tanpa kompromi adalah suatu keharusan mutlak.
Para terduga pelaku telah dikenai Pasal 170 ayat 3 KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan kematian. Selain pidana umum, mereka harus diproses secara maksimal melalui Kode Etik Profesi Polri hingga tingkat Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH).'
Kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa, apalagi dilakukan oleh aparat yang seharusnya menjadi pelindung, adalah pelanggaran HAM berat yang tidak bisa dimaafkan. Banalitas kejahatan yang mereka tunjukkan harus dibalas dengan ketegasan hukuman agar tidak menjadi preseden dan kebiasaan dalam institusi penegak hukum.
Reformasi Total dan Amnesti Utang
Untuk mencegah tragedi serupa terulang, langkah-langkah drastis harus diambil, menyentuh baik hulu maupun hilir masalah. OJK dan BI harus memperketat syarat pemberian pinjaman, kembali fokus pada prinsip kehati-hatian (prudent), dan bukan semata-mata pertumbuhan kredit.
Selain itu, kualitas uji lisensi sertifikasi DC/Matel harus ditingkatkan, dan perusahaan pembiayaan wajib memberikan pelatihan intensif mengenai SOP dan hukum kepada pihak ketiga.
Pemerintah juga harus mempertimbangkan mekanisme penghapusan buku (write-off) utang macet tertentu. Daripada membiarkan matel dan debitur bentrok di jalan, menghapus utang macet yang tidak mungkin tertagih akan membersihkan angka DLQ (Delinquency Rate) atau NPL (Non-Performing Loan), melancarkan cash flow perbankan/finance, dan memungkinkan debitur memulai kembali tanpa ancaman.
Negara juga berutang dan mere-strukturisasi utangnya, kenapa debitur kelas bawah tidak bisa mendapat perlakuan serupa untuk utang macet?
Mata Elang adalah bagian dari roda ekonomi, tetapi mereka telah ditempatkan di posisi yang paling berbahaya dalam ekosistem keuangan yang cacat. Tragedi Kalibata harus menjadi momentum untuk mengakui bahwa matel adalah korban kebijakan ekonomi dan bisnis yang tidak manusiawi. Negara harus hadir, menindak tegas pelaku, dan mereformasi sistem agar tidak ada lagi yang harus "setor nyawa" demi sesuap nasi di tengah ketidakpastian ekonomi.
(miq/miq)