Teka-Teki Rencana Pengadaan 200 Helikopter
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kerusakan dahsyat yang disebabkan oleh bencana ekologis di Provinsi Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat yang menelan korban jiwa lebih dari 1.000 orang pada akhir November 2025 memperlihatkan pula bagaimana tingkat kesiapan pemerintah merespons musibah tersebut.
Terdapat beragam kritik terhadap kinerja pemerintah dalam memberikan tanggapan terhadap bencana itu pada hari-hari pertama. Bencana ekologis melahirkan juga fenomena unik, yaitu para warganet yang tidak memiliki lisensi mengoperasikan helikopter tiba-tiba menjadi ahli dalam operasi burung besi tersebut.
Entah bagaimana pihak-pihak yang tidak pernah mengikuti sekolah penerbang, apalagi memegang lisensi yang diterbitkan oleh Ditjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan untuk menerbangkan pesawat sayap putar, dalam sekejap menjadi pakar dalam memberikan komentar terhadap kinerja para penerbang rotorcraft yang melaksanakan operasi kemanusiaan di tiga provinsi di Pulau Sumatra.
Merupakan fakta bahwa upaya memindahkan helikopter dari pulau-pulau di luar Pulau Sumatra ke Pulau Sumatra tidak mudah, sebab dipengaruhi oleh cuaca, jarak dan limitasi jam terbang pilot dalam satu hari. Pesawat sayap putar yang dimobilisasi bukan saja berasal dari Pulau Jawa, namun juga datang dari beberapa wilayah di Indonesia timur.
Sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia, penerbangan rotorcraft menganut rezim Visual Flight Rule (VFR) di mana implementasi VFR sangat tergantung pada kondisi cuaca. Tidak aneh jika penerbangan feri helikopter dari kawasan Indonesia timur ke Pulau Sumatra bisa memakan masa tiga hari.
Mengingat bahwa banyak daerah yang terisolasi akibat bencana dahsyat tersebut, pesawat sayap putar menjadi andalan utama guna menyalurkan bantuan kemanusiaan maupun melaksanakan evakuasi medis ke dan dari wilayah-wilayah yang tidak dapat dicapai lewat jalur darat.
Saat menghadiri perayaan HUT Partai Golkar pada 5 Desember 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan telah memerintahkan pengadaan 200 rotorcraft mulai tahun depan. Ketika rencana pembelian 200 helikopter masih memunculkan banyak pertanyaan, Prabowo dalam rapat terbatas di Aceh pada 7 Desember 2025 mengumumkan rencana membeli helikopter Mi-26 yang membuat kalangan yang paham kembali mengernyitkan dahi.
Apalagi muncul kesan bahwa rancangan demikian merupakan reaksi terhadap kritik kinerja pemerintah dalam menanggapi bencana yang terjadi tiga provinsi di Pulau Sumatra. Bagaimanapun, upaya mengimpor 200 helikopter merupakan hal yang luar biasa bagi negara yang memiliki keterbatasan kemampuan finansial, industri dan sumberdaya manusia.
Helikopter merupakan wahana terbang paling fleksibel dengan kemampuan menjangkau daerah yang tidak bisa didarati oleh pesawat sayap tetap. Tentang daya muat, pesawat sayap putar mempunyai beberapa penggolongan seperti helikopter ringan, helikopter sedang dan helikopter berat.
Populasi helikopter ringan dan helikopter sedang di dunia cukup banyak, namun jumlah helikopter berat terhitung sedikit mengingat tidak semua pabrikan rotorcraft memproduksi helikopter jenis tersebut. Semakin besar ukuran sebuah helikopter, maka semakin rumit pula proses produksi, begitu pula dengan kompleksitas flying control seperti yang tercermin pada CH-47 buatan Boeing.
Terkait rencana pemerintah mendatangkan 200 pesawat sayap putar mulai tahun depan, terdapat beberapa hal yang patut untuk dijelaskan oleh pemerintah kepada masyarakat.
Pertama, program akuisisi. Sampai saat ini tidak tersedia informasi apakah rencana mengimpor 200 helikopter merupakan program Kementerian Pertahanan atau Basarnas atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ataukah rencana kegiatan pembelian 200 rotorcraft adalah aktivitas pengadaan ketiga kementerian/lembaga dengan anggaran masing-masing?
Dari ketiga kementerian/lembaga, hanya Kementerian Pertahanan dan Basarnas yang memiliki rotorcraft sendiri, di mana biaya pembelian dan pengoperasian helikopter TNI berasal dari anggaran pertahanan. Sementara itu, walaupun Basarnas mempunyai armada pesawat sayap putar, akan tetapi operasional wahana tersebut masih tergantung pada para penerbang TNI.
Sedangkan BNPB selama ini melakukan wet-lease helikopter guna menghadapi kebakaran hutan dan bencana lainnya. Apakah rencana mendatangkan 200 helikopter akan membuat BNPB memiliki helikopter sendiri sehingga tidak perlu wet-lease lagi?
Kedua, pembiayaan program. Mengingat 200 pesawat sayap putar ialah jumlah yang sangat besar, skema pembiayaan apa yang akan dipakai untuk mewujudkan hal tersebut? Apakah mengadopsi skema Pinjaman Luar Negeri (PLN), Pinjaman Dalam Negeri (PDN) ataukah Rupiah Murni (RM)? Andaikata mempertimbangkan kapasitas fiskal pemerintah, opsi yang paling mungkin adalah PLN mengingat kegiatan itu bersifat tahun jamak dan semua pabrikan helikopter berada di luar wilayah Indonesia.
Jika PLN menjadi pilihan pembiayaan program, apakah pemerintah akan menggunakan skema Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE) atau Kreditur Swasta Asing (KSA)? Sebagai ilustrasi, dalam tambahan anggaran PLN 2020-2024 untuk Kementerian Pertahanan senilai US$9,7 milyar, pemerintah lebih suka memilih skema KSA bagi akuisisi helikopter bekas sebesar US$550 juta.
Tentu saja muncul syakwasangka ketika skema KSA menjadi pilihan saat sesungguhnya Kementerian Keuangan lebih menyukai pemakaian skema LPKE berdasarkan pertimbangan resiko dan suku bunga. Terlepas dari skema LPKE atau KSA, apakah 200 helikopter yang akan diimpor merupakan helikopter baru atau bekas?
Ketiga, kandidat pemasok rotorcraft. Pertanyaan tentang status pesawat sayap putar yang akan dibeli oleh Indonesia, apakah helikopter baru atau bekas, akan berimplikasi pada pihak mana yang akan menjadi pemasok wahana terbang tersebut.
Bila pemerintah meneken kontrak langsung dengan Original Equipment Manufacturer (OEM), besar kemungkinan rotorcraft yang akan dikirim ke Indonesia merupakan produk baru. Sebagai konsekuensi, terdapat masa tunggu antara kontrak efektif dengan waktu di mana helikopter itu diserahkan kepada Indonesia, di mana masa tunggu tergantung pada backlog di pabrikan dan situasi rantai pasok global.
Seandainya Indonesia mengincar pesawat sayap putar bekas, maka besar kemungkinan kontrak diberikan kepada pihak bukan OEM. Dalam sektor pertahanan, saat ini terdapat kecenderungan kuat untuk melaksanakan pengadaan helikopter bekas dengan alasan subyektif yaitu waktu penyerahan yang lebih cepat dibandingkan dengan pengadaan rotorcraft baru.
Andaikata helikopter bekas yang menjadi pilihan, bukan tidak mungkin akan timbul syakwasangka bila pemasok yang ditunjuk tidak mempunyai rekam jejak yang meyakinkan dan kredibel. Menyangkut aspirasi mengimpor 200 helikopter, terbuka peluang bahwa pesawat sayap putar yang dipilih ialah paduan wahana baru dan bekas.
Mempertimbangkan kuantitas pesawat sayap putar yang akan dibeli oleh Indonesia, lalu bagaimana penyiapan calon penerbang? Kalau satu helikopter minimal memerlukan dua set penerbang, maka dibutuhkan 800 pilot dan kopilot. Apakah pemerintah akan membuka crash program untuk menghasilkan 800 penerbang helikopter, termasuk membiayai kegiatan tersebut?
(miq/miq)