Regulatory Capture dalam Kebijakan Kredit UMKM
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Baru-baru ini, Bank Indonesia (BI) mempublikasikan bahwa kredit perbankan secara keseluruhan tumbuh lumayan baik (sekitar 7,36% year-on-year pada Oktober 2025) dengan kredit korporasi tumbuh agresif hampir 10%. Tapi, ironisnya kredit UMKM malah melempem, kontraksi minus 0,1%.
Angka-angka tersebut adalah gambaran getir nasib UMKM dalam hal mengakses kredit perbankan. Padahal, UMKM menyumbang sekitar 60% dari produk domestik bruto (PDB) dan menyerap 97% tenaga kerja.
Pertanyannya, mengapa perbankan lebih suka menyalurkan kredit ke korporasi, ketimbang ke UMKM? Terdapat seribu satu jawaban, tapi yang hampir jarang dibahas adalah kemungkinan karena regulatory capture.
Regulatory capture adalah situasi di mana regulasi yang seharusnya melindungi kepentingan publik justru lebih mengakomodasi preferensi industri yang diatur (Stigler, 1971). Kebijakan kredit UMKM tampaknya lebih disesuaikan dengan kenyamanan perbankan ketimbang kebutuhan mendesak sektor UMKM.
Dilema Kebijakan
Sejak 2021, BI meluncurkan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) melalui PBI No. 23/13/PBI/2021 yang kemudian disempurnakan dengan PBI No. 24/3/PBI/2022. Idenya bagus, mewajibkan bank mengalokasikan sebagian kreditnya untuk sektor inklusif--terutama UMKM dan individu berpenghasilan rendah. Target alokasi pun dibuat bertahap, yaitu tahun 2022 minimal 20%, minimal 25% tahun 2023, dan minimal 30% pada tahun 2024 (hingga saat ini).
Secara formal, bank-bank berhasil memenuhi target RPIM. Tapi tunggu dulu, jika targetnya tercapai, kenapa kredit UMKM justru menyusut? Di sinilah masalahnya.
Pertama, target 30% itu sendiri sudah tidak proporsional. UMKM berkontribusi 60% terhadap PDB, tapi hanya "dijatah" 30% dari total kredit perbankan. Sementara korporasi yang menyumbang 40% PDB malah mendapat 70% jatah kredit. Karena realitas seperti inilah, Joseph Stiglitz (2001) menekankan bahwa regulasi efektif harus mengoreksi kegagalan pasar, bukan malah mempertahankannya.
Kedua, cara bank memenuhi target RPIM sangat selektif. Bank cenderung fokus pada segmen usaha kecil yang dianggap lebih "aman" dan bankable. Karena relatif memiliki sistem administrasi yang rapi. Sementara untuk segmen ultra-mikro dan mikro menghadapi kesulitan mengakses pembiayaan perbankan. Data OJK September 2025 menunjukkan NPL UMKM mencapai 4,46%, membuat bank semakin selektif.
Ketiga, pengawasan lebih fokus pada compliance formal ketimbang substansi. Selama secara administratif alokasi kredit UMKM mencapai angka 30%, apakah kredit itu benar-benar sampai ke pedagang sayur di pasar atau nelayan kecil di pesisir bukanlah prioritas. Bank bisa saja memenuhi target lewat kredit konsumtif yang disamarkan sebagai produktif, atau melalui pembelian surat berharga.
Keempat, belum ada mekanisme alokasi khusus untuk segmen ultra-mikro dan mikro. RPIM menetapkan target agregat 30% tanpa memastikan distribusi yang adil antar segmen. Akibatnya, bank cenderung mengalokasikan ke segmen kecil dan menengah yang lebih mudah dikelola, sementara ultra-mikro dan mikro (yang jumlahnya paling banyak) tetap terpinggirkan.
Mancur Olson (1965) dalam teorinya tentang collective action menjelaskan kenapa ini terjadi. Asosiasi perbankan adalah kelompok terorganisir dengan sumber daya dan akses ke pembuat kebijakan. Mereka bisa dengan efektif menyuarakan kepentingannya dibandingkan UMKM yang jumlahnya jutaan, tersebar, dan tidak terorganisir.
Struktur Industri yang Memperkuat Bias
Untuk memahami kenapa UMKM terus terabaikan, kita perlu melihat struktur industri perbankan. Di pasar deposito, beberapa bank besar (terutama bank BUMN) menguasai pangsa pasar dana pihak ketiga (DPK).
Data BI per September 2025 menunjukkan Bank BUMN menguasai 40,90% total DPK, sementara Laporan OJK triwulan I 2025 mencatat pangsa BUMN mencapai 44,30%. Ini menciptakan struktur oligopsoni, yaitu sedikit pembeli (bank) menghadapi banyak penjual (penabung). Bank memiliki posisi tawar lebih kuat dibanding penabung yang punya pilihan terbatas.
Di sisi kredit, kondisinya terbalik menjadi oligopoli ketat. Empat bank BUMN (BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTN) saja sudah mendominasi industri perbankan nasional. Struktur ini memungkinkan bank menetapkan bunga yang tinggi, rata-rata 9-10% per tahun untuk kredit UMKM.
Hal tersebut dipicu bank kesulitan menilai kelayakan UMKM yang tidak punya laporan keuangan formal, track record terbatas, dan agunan yang memadai. Inilah yang pernah dijelaskan George Akerlof (1970) bagaimana asimetri informasi menyebabkan market failure.
Di sisi lain, biaya untuk mengevaluasi satu proposal kredit UMKM bisa jadi sama dengan mengevaluasi kredit korporasi yang nilainya sepuluh kali lipat. Hal seperti ini yang disoroti Ronald Coase (1960) bahwa agar pasar berfungsi lebih efisien, maka penting menurunkan transaction costs. Akan tetapi, berbagai kebijakan, termasuk RPIM belum menyentuh isu fundamental sepert ini.
Di samping itu, tentunya faktor eksternal juga berperan. Tekanan geopolitik, disrupsi rantai pasok, inflasi, dan pengetatan moneter global membuat kondisi semakin sulit. Kebijakan BI-Rate yang dipertahankan di 4,75% juga membuat cost of fund tetap tinggi.
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) memang membantu dengan penyaluran Rp240,09 triliun hingga Oktober 2025, tapi ini hanya menambal lubang, bukan menyelesaikan masalah struktural.
Yang paling mengkhawatirkan, adalah ketidakseimbangan ini terjadi di tengah pemulihan pasca-pandemi, ketika UMKM seharusnya menjadi motor pertumbuhan. Padahal, likuiditas perbankan sangat memadai--Alat Likuiditas terhadap DPK mencapai 29,47%, Loan to Deposit Ratio sehat, Liquidity Coverage Ratio dan Net Stable Funding Ratio jauh di atas ambang batas (BI, Oktober 2025). Intinya, bank tidak kekurangan dana, hanya tidak tertarik menyalurkannya ke UMKM.
Agenda Reformasi Struktural
Reformasi yang dibutuhkan tidak sederhana, namun sangat mendesak. Target RPIM perlu dinaikkan bertahap menuju 50% dengan alokasi wajib minimal 15% untuk segmen mikro dan ultra-mikro.
Langkah OJK menerbitkan POJK No. 29/2024 tentang Pemeringkat Kredit Alternatif adalah game changer yang harus dioptimalkan untuk menilai kelayakan kredit di luar laporan keuangan formal. Selain itu, POJK No. 19/2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan Kepada UMKM juga merupakan langkah progresif yang harus dikawal ketat implementasinya.
Digitalisasi dan masuknya bank digital serta fintech harus didorong untuk memecah konsentrasi pasar dan melayani segmen underbanked. Di sisi lain, kebijakan pemerintah menaikkan plafon KUR menjadi Rp320 triliun dengan bunga 6% mulai Januari 2026 memberi harapan baru, asalkan pelaksanaannya diawasi agar tepat sasaran.
Pada akhirnya, regulatory capture adalah pilihan kebijakan yang bisa dikoreksi. Tanpa political will untuk melakukan reformasi substansial, UMKM akan semakin terpinggirkan.
(miq/miq)