Bencana Alam Aceh-Sumut-Sumbar dan Jejak Kelam Para Pemburu Rente

Dr. Handi Risza, SE., M.Ec,  CNBC Indonesia
04 December 2025 03:53
Dr. Handi Risza, SE.,  M.Ec
Dr. Handi Risza, SE., M.Ec
Setelah menyelesaikan program doktor bidang ekonomi dan keuangan Islam pada tahun 2012, Handi mulai aktif mengajar di Program Studi Magister Manajemen Universitas Paramadina. Ia juga pernah mengikuti sejumlah short course, salah satunya Executive Program S.. Selengkapnya
Upaya pencarian korban hilang dan pembukaan akses jalan menggunakan alat berat di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Minggu (30/11). (Dok. BNPB)
Foto: Upaya pencarian korban hilang dan pembukaan akses jalan menggunakan alat berat di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, Minggu (30/11/2025). (Dokumentasi BNPB)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pemandangan tragis yang tidak biasa terlihat, sungai-sungai dan pantai dipenuhi oleh material batang pohon, potongan kayu besar, ranting, seperti sudah terpotong dengan rapi, bercampur dengan sampah plastik, serta limbah rumah tangga. Wilayah Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat, dipenuhi tumpukan kayu gelondongan dalam jumlah besar, setelah terjadinya banjir besar dan tanah longsor di tiga provinsi paling barat wilayah Indonesia tersebut.

Timbul pertanyaan melihat kondisi tersebut, dari mana kayu-kayu gelondongan dalam ukuran besar dan kecil yang sudah terpotong rapi tersebut berasal? Jika kita menganggapnya fenomena alam biasa yang terjadi secara alamiah, tentunya jumlah kayu gelondongan tersebut tidak akan datang dalam jumlah ribuan kubik yang sudah siap diolah tersebut.

Tetapi jika kita melihat ini adalah perbuatan tangan-tangan jahat manusia, maka inilah praktek pembalakan liar yang dilakukan oleh para pemburu rente (rent-seeking) dengan sangat rakus, tamak dan culas yang pernah terjadi.

Pada mulanya pendekatan rent-seeking merupakan transformasi dari konsep pendapatan (income) ke konsep perburuan rente atau bunga yang jamak terjadi pada saat itu. Ekonom klasik memandang Individu dan kelompok bisa memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang legal atau sah, seperti menyewakan tanah, mesin, dll.

Sehingga pendapatan yang diperoleh seseorang melalui penyewaan tersebut setara dengan pendapatan yang diperoleh individu ketika menanamkan modalnya ataupun menjual jasa dan tenaganya. Oleh sebab itu, konsep rent-seeking dalam ekonomi klasik dimaknai sebagai aktivitas ekonomi normal dan lazim dilakukan.

Transformasi terjadi ketika para ekonom modern, terutama Gordon Tullock (1967) dan Anne Krueger (1974), memperluas definisi rent-seeking tersebut. Mereka mentransformasi konsep pendapatan pasif ini menjadi konsep perilaku aktif, menjadi perburuan rente oleh para pengusaha, politisi dan aparat, sebagai pencarian keuntungan ekonomi melalui manipulasi lingkungan politik, birokrasi dan hukum, daripada melalui penciptaan nilai tambah produktif.

Bahkan Gordon Tullock dalam publikasinya yang berjudul The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft, menjelaskan bahwa pemberian hak monopoli kepada pengusaha banyak disalahgunakan oleh pejabat yang sedang berkuasa.

Praktik perburuan rente telah merusak sendi-sendi perekonomian sebuah negara menjadi perhatian para ekonom. Josept Stiglizt, ekonom peraih nobel tahun 2001, mengungkapkan dalam bukunya The Price of Inequality (2012), bahwa rent-seeking merupakan praktik di mana individu atau kelompok tertentu berupaya memperoleh pendapatan atau keuntungan ekonomi yang besar melalui pemanfaatan atau manipulasi lingkungan politik, lemahnya kebijakan dan regulasi pemerintah, tanpa menciptakan kekayaan atau nilai produktif baru bagi masyarakat secara keseluruhan.

Jejak rent-seeking di Indonesia sudah sampai pada tahapan merusak lingkungan hidup, melalui serangkaian manipulasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, lemahnya pengawasan serta perlindungan dari oknum aparat keamanan.

Seperti yang lazim terjadi pada kasus pembalakan kayu ilegal, perkebunan sawit tidak berizin serta pertambangan liar. Pelaku rent-seeking dapat berupa individu, korporasi, pejabat pemerintah, atau pihak lain yang mengabaikan dampak negatif terhadap lingkungan dan menimbulkan kerusakan ekologis. Kerusakan tersebut baru terasa ketika terjadi bencana yang menimbulkan banjir besar, tanah longsor dan korban jiwa.

Jejak Pemburu Rente dan Perusakan Hutan
Kementerian Kehutanan merilis hasil pemantauan tahunan mengenai kondisi hutan dan angka deforestasi di Indonesia. Angka deforestasi netto tahun 2024 tercatat sebesar 175,4 ribu hektare. Angka ini didapat dari deforestasi bruto sebesar 216,2 ribu hektare dikurangi hasil reforestasi seluas 40,8 ribu hektare.

Mayoritas deforestasi bruto terjadi di hutan sekunder dengan luas 200,6 ribu hektare atau 92,8 persen. Sebanyak 69,3 persen dari luasan deforestasi itu terjadi di dalam hutan dan sisanya di luar.

Pulau Sumatra menjadi salah satu wilayah dengan kehilangan hutan terbesar di Indonesia pada tahun 2024. Berdasarkan laporan Kementerian Kehutanan, luas deforestasi Sumatra 2024 mencapai 78.03 ribu hektare. Angka itu 44,48 persen dari total deforestasi netto nasional yang sebesar 175,4 ribu hektare.

Angka ini juga menunjukkan tekanan terhadap kawasan hutan Sumatra masih cukup tinggi. Aceh memiliki deforestasi mencapai 11,21 ribu hektare, Sumatra Utara mencapai 7,03 ribu hektare, dan Sumatra Barat sebesar 6,63 ribu hektare. Tiga provinsi dengan kehilangan hutan terbesar tercatat sebagai wilayah yang mengalami banjir bandang besar dan longsor akhir November lalu.

Masifnya deforestasi atau hilangnya tutupan hutang secara permanen tidak bisa dilepaskan dari aktivitas penebangan pohon secara ilegal (illegal logging), pengangkutan, dan penjualan kayu yang dilakukan secara terorganisir oleh perusahaan yang bergerak dalam industri kehutanan atau sektor lainnya, seperti perkebunan dan pertambangan.

Praktik pemburu rente ini ditengarai sudah dilakukan bertahun-tahun sehingga menyebabkan kerusakan hutan dalam skala besar, hilangnya fungsi ekologis hutan secara menyeluruh, sehingga lahan tersebut tidak lagi dapat disebut sebagai hutan secara biologis maupun fungsional.

Hutan lebat Sumatra yang mulai botak menjadi saksi bisu bagaimana para pemburu rente ini bekerja dengan rakus, tamak dan culas. Memperoleh keuntungan finansial besar dengan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memberikan kontribusi produktif bagi masyarakat sekitarnya.

Mereka sering kali beroperasi melalui jaringan kompleks yang melibatkan oknum aparat. Pemburu rente memengaruhi pejabat atau institusi pemerintah melalui lobi, suap, atau cara tidak etis lainnya untuk mendapatkan izin penebangan, konversi lahan hutan, atau konsesi pertambangan dengan biaya rendah.

Aksi para pemburu rente ini, tidak hanya menimbulkan kerusakan hutan yang masif, tetapi juga kerugian negara yang besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, negara mengalami kerugian Rp 35 triliun per tahun akibat pembalakan liar.

Analisis KPK juga menemukan ada kelemahan pengawasan dalam izin pinjam di mana terdapat 1.052 usaha pertambangan di kawasan hutan di wilayah Kalimantan, Sumatra, dan Papua yang tak melalui prosedur pinjam pakai. Hal tersebut menciptakan potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 15,9 triliun per tahun.

Kebijakan Presiden Prabowo untuk memangkas habis praktik rent seeking perlu mendapat apresiasi dan dukungan yang kuat dari publik. Aksi Presiden Prabowo membongkar 1.000 tambang ilegal dan lima juta hektare lahan sawit ilegal selama periode satu tahun kepemimpinannya, merupakan langkah besar pemerintah dalam memulihkan kerugian negara akibat praktik-praktik ilegal yang sudah berlangsung selama ini.

Sudah saatnya, kebocoran keuangan negara ditutup dan tindakan mencuri kekayaan negara harus segera dihentikan dengan penegakan hukum. Banjir besar dan tanah longsor di tiga provinsi ujung barat pulau Sumatra seolah-olah menjadi peringatan buat kita semua.

Sebagaimana lirik lagu lawasnya Ebiet G. Ade. "Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita. Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang".


(miq/miq)