Reorkestrasi Inovasi: Jalan Indonesia Menjadi Negara Industri Maju
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Visi Indonesia Emas 2045 sudah jelas: Indonesia ingin keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan naik kelas menjadi negara berpenghasilan tinggi, dengan ekonomi yang masuk jajaran lima besar dunia.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menghitung, untuk sampai ke sana, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 6%-7% persen per tahun, didukung transformasi struktural dari ekonomi berbasis komoditas menuju ekonomi industri dan jasa berbasis teknologi.
Presiden Prabowo Subianto sudah mencanangkan Indonesia harus mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 8% dalam periode pemerintahan sekarang ini. Di saat yang sama, panggung ekonomi dunia mengirim pesan yang sangat relevan.
Hadiah Nobel Ekonomi 2024 diberikan kepada Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James Robinson atas karya mereka tentang bagaimana institusi menentukan kemakmuran suatu negara. Tahun 2025, giliran Joel Mokyr, Philippe Aghion, dan Peter Howitt yang dianugerahi Nobel karena menjelaskan bagaimana inovasi dan "creative destruction" menjadi mesin pertumbuhan jangka panjang.
Gabungan dua pesan ini sederhana tapi tajam: tanpa inovasi, ekonomi mandek; tanpa institusi yang tepat, inovasi tidak akan melahirkan kemakmuran. Indonesia berada tepat di persimpangan kedua pelajaran besar ini.
Tantangan: Antara Ambisi Industrialisasi dan Kenyataan Lapangan
Secara makro, Indonesia punya banyak modal: pasar besar, bonus demografi, kekayaan sumber daya alam (minerba, energi, agro), dan posisi strategis di kawasan. Pemerintah mendorong hilirisasi nikel, ekosistem kendaraan listrik, pengembangan baterai, transisi energi, hingga bioekonomi. Kementerian PPN/Bappenas menyiapkan peta jalan Indonesia Emas, kementerian teknis menyusun berbagai strategi sektoral, dan BRIN sedang berbenah sebagai payung riset nasional.
Namun, jika kita jujur, ada sejumlah bottleneck yang harus diakui, antara lain sebagai berikut:
(i) Struktur ekonomi masih dangkal, di mana ekspor masih didominasi komoditas dan produk manufaktur berteknologi menengah. Nilai tambah di dalam negeri belum maksimal, terutama di mineral kritis, energi, dan agro;
(ii) Produktivitas industri dan kualitas pekerjaan perlu ditingkatkan, karena banyak pabrik masih mengandalkan teknologi usang, otomatisasi terbatas, dan rantai pasok yang belum terintegrasi. Di sisi lain, pekerjaan berkualitas tinggi yang memanfaatkan talenta terdidik belum tumbuh secepat jumlah lulusannya;
(iii) Ekosistem inovasi terfragmentasi, meskipun BRIN menghimpun lembaga-lembaga riset lama, namun agenda riset belum sepenuhnya terkunci ke misi industrialisasi jangka panjang. Di kampus, riset sering berhenti pada publikasi. Di BUMN dan swasta, inovasi lebih banyak bersifat inkremental dan operasional;
(iv) Lingkungan global makin keras, di mana konflik geopolitik, deglobalisasi parsial, tuntutan net zero emission, serta kebijakan seperti CBAM di Eropa memaksa Indonesia mempercepat dekarbonisasi sekaligus menaikkan tingkat teknologi. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan biaya tenaga kerja murah dan komoditas mentah.
Kalau situasi ini dibiarkan, Indonesia bisa tumbuh, tapi sulit melesat. Di sinilah urgensi reorkestrasi inovasi: mengubah cara kita mengelola ilmu, teknologi, dan bisnis agar benar-benar menjadi mesin industrialisasi dan pertumbuhan.
Mengubah "Daftar Riset" Menjadi "Misi Inovasi Nasional"
Selama ini, inovasi sering dibayangkan sebagai soal menambah anggaran riset dan memperbanyak laboratorium. Padahal, pelajaran dari para peraih Nobel dan negara-negara yang berhasil meloncat menunjukkan hal lain: inovasi harus diikat oleh misi yang jelas, di dalam kerangka institusi yang mendorong kompetisi sehat, perlindungan hak milik, dan keterbukaan terhadap ide baru.
Untuk Indonesia, reorkestrasi inovasi berarti bergeser dari "ratusan tema riset" menuju beberapa misi nasional yang konkret dengan prioritas yang jelas, misalnya:
1. Industri Energi Hijau dan Rendah Karbon
Menghasilkan listrik dan bahan bakar rendah karbon yang murah dan andal sebagai fondasi pertumbuhan industri: PLTS, PLTA, panas bumi, penyimpanan energi, biofuel lanjutan untuk pemenuhan kebutuhan dan ketahanan energi dalam negeri, hingga hidrogen untuk sektor yang sulit didekarbonisasi. Kilang, smelter, kawasan industri, dan kota-kota besar menjadi laboratorium hidup untuk teknologi dan model bisnis energi baru.
2. Hilirisasi Mineral dan Material Maju
Naik kelas dari eksportir bijih dan produk setengah jadi menjadi produsen material canggih: semikonduktor, prekursor baterai, magnet permanen berbasis rare earth, keramik dan kaca berteknologi tinggi untuk energi terbarukan, serta katalis untuk kilang, biorefinery dan industry farmasi. R&D difokuskan pada proses yang efisien energi, rendah emisi, dan memenuhi standar lingkungan global.
3. Bioekonomi dan Pangan-Energi-Iklim
Mengubah kekuatan agro Indonesia-sawit, kelapa, residu pertanian, dan ke depannya sorgum-menjadi basis bioindustri modern: bahan bakar hayati generasi baru, biokimia, pupuk hayati, hingga material maju dari biomassa. Klaster bioindustri kota-kota di luar Jawa menjadi sumber pertumbuhan baru sekaligus alat pengurangan emisi dan pemerataan kesejahteraan.
4. Digital & Platform Industri untuk Peningkatan Produktivitas
Menggunakan platform digital B2B, industrial IoT, dan kecerdasan buatan untuk menghubungkan pabrik, pemasok, logistik, dan jasa keuangan dalam satu ekosistem. Dengan data dan platform, UMKM manufaktur bisa masuk rantai pasok nasional dan global, bukan lagi pemain pinggiran.
Empat misi tersebut saling terhubung, dan semuanya bertumpu pada energi, teknologi, dan tata kelola yang baik.
Dirigen Orkestra, Peran Negara, BUMN, dan Danantara Indonesia
Dalam orkestra, partitur saja tidak cukup; dibutuhkan dirigen dan pemain yang paham peran masing-masing. Di tingkat nasional, Bappenas dan kemenko menyusun dan menjaga misi inovasi nasional, mengaitkannya dengan Indonesia Emas, Rencana Pembangunan Jangka Panjang, dan komitmen iklim.
Beberapa Pusat Riset di BRIN dan perguruan tinggi menjadi National Mission Lab: memfokuskan portofolio riset, infrastruktur bersama (lab, pilot plant, fasilitas uji), dan pengembangan SDM ilmiah pada misi yang disepakati, bukan hanya bidang ilmu.
Di sisi lain, kementerian teknis dan pemerintah daerah menyiapkan regulasi dan insentif praktis: standar teknis, tata ruang, insentif pajak, kemudahan lahan dan perizinan untuk klaster industri berbasis inovasi.
Namun, orkestrasi itu tidak akan hidup tanpa aktor implementasi di lapangan yang berani mengambil risiko, mengembangkan model bisnis, dan menghubungkan penemu teknologi dengan modal, pasar, dan mitra industri. Di sinilah inisiatif seperti Danantara menjadi sangat relevan.
Danantara, sebagai sebuah platform industrialisasi dan investasi yang berfokus pada teknologi energi, material maju, dan industri bernilai tambah di Indonesia, dapat memainkan peran sebagai katalis proyek, Jembatan antara Inovasi dan Modal, Platform Iptek dan Standard serta Model Konkret Ekosistem Inovasi Baru.
Sebagai katalis proyek, Danantara mengidentifikasi ide dan teknologi yang matang (baik dari peneliti lokal maupun mitra global), lalu menerjemahkannya menjadi paket proyek yang bankable-lengkap dengan kajian pasar, teknis, finansial, dan risiko.
Danantara menjembatani komunikasi antara peneliti, startup, BUMN, pemerintah daerah, dan sumber pembiayaan (bank, dana pensiun, dana hijau internasional). Banyak inovasi kandas bukan karena teknologinya buruk, tetapi karena tidak ada pihak yang mampu mengelola risiko dan menyusun skema komersial yang masuk akal.
Fungsi lainnya adalah Danatara memberikan Platform Iptek dan Standar bagi inovasi di Indonesia dengan menyusun playbook iptek dan standar praktik terbaik untuk proyek-proyek industrialisasi hijau: mobil listrik nasional, solar PV, biofuel lanjutan, hingga pabrik bahan baku baterai. Dengan demikian, proyek berikutnya bisa lebih cepat dan murah karena belajar dari pengalaman sebelumnya.
Sebagai institusi baru, Danantara memiliki kesempatan untuk menjadi model konkret ekosistem inovasi baru, karena memiliki struktur yang lincah dan orientasi pada hasil, Danantara dapat menjadi contoh bagaimana institusi baru-yang tidak sepenuhnya birokratis, tetapi juga tidak semata mengejar keuntungan jangka pendek-bisa menjadi "dirigen tambahan" yang membuat orkestra inovasi Indonesia terdengar lebih rapi dan bertenaga.
Peran semacam ini justru sejalan dengan pesan para peraih Nobel: inovasi hanya akan menghasilkan kemakmuran bila ditopang institusi yang mendukung kebebasan berkreasi, kompetisi sehat, dan peralihan sumber daya dari teknologi lama ke teknologi baru. Aktor seperti Danantara diharapkan dapat mempersingkat jarak antara laboratorium dan industri.
Momentum yang Tidak Boleh Terlewat
Kita hidup di zaman yang serba paradoks. Di satu sisi, konflik global, disrupsi rantai pasok, dan tekanan deglobalisasi menambah ketidakpastian. Di sisi lain, revolusi teknologi-dari energi terbarukan, kendaraan listrik, baterai, bioteknologi, hingga kecerdasan buatan-membuka peluang baru dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Indonesia punya pilihan: menjadi penonton yang hanya menambang nikel, menebang hutan, dan menjual tenaga kerja murah; atau menjadi pemain yang merancang dan mengeksekusi misi inovasi nasional sendiri, dengan orkestrasi yang rapi antara negara, BUMN, swasta, lembaga riset, dan platform katalis seperti Danantara.
Reorkestrasi inovasi bukan soal mengubah nama lembaga atau menambah anggaran belaka, tetapi soal menyelaraskan visi, instrumen, dan perilaku: dari ruang rapat kementerian hingga lantai pabrik, dari kampus hingga kantor startup, dari Balai Kota hingga desa-desa.
Jika pesan para peraih Nobel kita tarik ke konteks Indonesia, maka kesimpulannya jelas: tanpa inovasi, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju; tanpa institusi yang mendorong dan mengarahkan inovasi, Indonesia tidak akan pernah memanen buahnya.
Pertanyaannya sekarang: apakah kita berani menata ulang orkestra inovasi nasional, dan memberi ruang bagi aktor-aktor baru untuk memimpin bagian-bagian penting dari simfoni besar menuju Indonesia sebagai negara ekonomi maju?
(miq/miq)