Pelajaran Bandara Kertajati & Urgensi Keberhasilan PSN di Era Prabowo

Nicholas Martua Siagian,  CNBC Indonesia
14 November 2025 13:35
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian mendalami keilmuan di bidang Hukum Administrasi Negara, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, Inovasi, dan Perbaikan Sistem. Nicholas merupakan salah seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghar.. Selengkapnya
Kertajati International Airport. (Dok. bijb.co.id)
Foto: Kertajati International Airport. (Dok. bijb.co.id)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

"Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu fokus utama pemerintah. Selama satu dekade terakhir, Indonesia berhasil membangun 366 ribu kilometer jalan desa, 1,9 juta meter jembatan desa, 2.700 kilometer jalan tol baru, 6.000 kilometer jalan nasional, 50 pelabuhan dan bandara baru, serta 43 bendungan baru, dan 1,1 juta hektare jaringan irigasi baru...."

Pernyataan tersebut merupakan penggalan pidato Presiden ke-7 Republik Indonesia dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Gedung Nusantara, 16 Agustus 2024, dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan RI.

Kita harus akui bahwa selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur dilakukan secara besar-besaran (kuantitatif). Di berbagai daerah di Indonesia, pembangunan infrastruktur benar-benar digalakkan oleh pemerintah. Bahkan, ratusan Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebar di seluruh Indonesia.

Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melaporkan bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) era Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencapai 233 dengan total nilai investasi mencapai Rp 6.246 triliun (Kompas, 19/7/2024).

Menurut saya pribadi, ketika negara membangun infrastruktur secara besar-besaran tanpa 'ugal-ugalan,' artinya akan selaras dengan potensi kemajuan ekonomi nasional, dan pastinya berbanding lurus juga dengan pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah. Meski demikian, euforia kita akan suatu kemajuan ekonomi "sedikit di tampar oleh kenyataan pahit."

Kebocoran
"36,67 persen diduga digunakan untuk pembangunan yang tidak digunakan untuk pembangunan proyek tersebut. Artinya ini digunakan untuk kepentingan pribadi," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam Refleksi Kerja PPATK Tahun 2023 di Jakarta, 10 Januari 2024.

Ivan lebih lanjut menjelaskan bahwa dari analisis transaksi keuangan yang dilakukan sepanjang 2023, PPATK menemukan adanya aliran dana proyek strategis nasional (PSN) yang justru masuk ke kantong aparatur sipil negara (ASN) hingga politikus.

Ketika membaca bersamaan dua kutipan kalimat di atas, maka yang tadinya ada harapan 'emas' berubah menjadi 'agak cemas'. Pernyataan terakhir tadi menjadi ironi pahit dari kondisi pembangunan infrastruktur kita. Bayangkan, mendekati setengah dari anggaran Proyek Strategis Nasional (PSN) masuk ke dalam kantong-kantor mereka yang menyandang status sebagai "penyelenggara layanan publik."

Lantas, yang menjadi pertanyaan: mengapa tidak ada reaksi konkret dari Aparat Penegak Hukum (APH) atas temuan tersebut? Bukankah temuan PPATK tersebut sebenarnya jadi jalan terang untuk masuk ke tahap penyelidikan hingga penyidikan adanya tindak pidana korupsi?

Di berbagai forum ilmiah/akademik kalimat bahwa perencanaan harus dilakukan benar-benar eviden, terukur, dan kredibel secara keilmuan. Maka, sama halnya dengan pembangunan infrastruktur, seharusnya dilakukan dengan perencanaan yang terukur, "tidak ugal-ugalan," serta kredibel secara keilmuan.

Karena jika tidak, maka potensi korupsi akan semakin besar. Apalagi pada sektor infrastruktur yang sangat berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa, jika perencanaan hanya dijadikan sekadar justifikasi "dijalankannya sebuah proyek," maka Proyek Strategis Nasional akan kehilangan esensinya, dan berubah menjadi "Proyek Nasional (tanpa) Strategis."

Paradoks PSN
Kita perlu belajar dari PSN Bandara Kertajati yang dibangun sejak 2015-2018 dengan menelan biaya Rp2,6 triliun. Bandara ini diproyeksikan dapat melayani sebanyak 5,6 hingga 12 juta penumpang per tahun hingga 2024, dan diproyeksikan mencapai 29,3 juta penumpang per tahun pada 2032 (Kemenhub, 2023). Namun, kenyataan berkata pahit, bandara ini justru masih sepi, bahkan tidak mencapai target penumpang.

Beberapa faktor yang mengakibatkan tidak tercapainya jumlah penumpang adalah aksesibilitas ke Bandara Kertajati. Belum lagi, jika kita melihat respon publik di media sosial, jika diberikan pilihan antara Bandara Soekarno-Hatta atau Bandara Kertajati, publik lebih memilih terbang melalui Bandara Soekarno-Hatta karena secara jumlah dan frekuensi penerbangan lebih banyak, aksesibel terhadap transportasi publik, bahkan menawarkan banyak opsi yang menjadi pertimbangan masyarakat.

Dari contoh PSN ini, akhirnya semakin jelas bahwa pemerintah saat itu membangun tanpa perencanaan yang matang, tanpa memperhatikan segala aspek, artinya hanya ingin mengejar capaian kuantitatif saja, tanpa memperhatikan efek domino jangka panjang.

Alih-alih mengejar proyek infrastruktur penunjang ke Bandara Kertajati, pemerintah justru akan mengalihfungsikan bandara tersebut menjadi pusat perawatan dan perbaikan pesawat atau Maintenance, Repair and Overhaul (MRO).

Bukan mengejar penyelamatan bandara tersebut agar dapat beraktivitas produktif, pemerintah justru menurunkan target proyeksi. Lantas, pertanyaan selanjutnya: apakah logis pernah menyandang status PSN, bahkan memakan biaya Rp2,6 triliun ternyata hanya berujung hanya menjadi bengkel pesawat?

Bandara Kertajati memberi pelajaran pahit, bahwa proyek sebesar apapun, kalau pengelolaannya tidak transparan dan akuntabel, hanya akan meninggalkan bangunan tanpa 'fungsi' yang jelas dan uang rakyat terbuang percuma. Dari hasil temuan PPATK tadi, maka lebih jauh lagi, kita didorong bertanya:

Apakah pembangunan infrastruktur besar-besaran ini benar-benar untuk publik? ataukah, ada niat terselubung yang menggunakan pembangunan sebagai kedok untuk memperkaya diri? Ironi ini tidak boleh dianggap angin lalu. Jika pola-pola korupsi seperti ini dibiarkan berlanjut, maka pembangunan bukan lagi menjadi sarana kemajuan, melainkan alat perampokan yang dilegalkan.

PSN dan Executive Heavy
Lebih dalam, persoalan Bandara Kertajati ini juga membuka tabir tentang bagaimana Proyek Strategis Nasional (PSN) dikurasi, ditentukan, dan diputuskan secara absolut oleh Presiden. Mekanisme ini membuat partisipasi publik dalam menentukan kebutuhan infrastruktur menjadi sangat kecil, bahkan nyaris hanya formalitas belaka.

Tidak ada diskusi publik yang bermakna, tidak ada penilaian kritis yang dilembagakan sejak tahap perencanaan. Ironis lagi, absolutnya kewenangan eksekutif dalam menentukan PSN ini didukung oleh mekanisme regulasi yang memperkuat dominasi pemerintah. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 7 Tahun 2023, yang telah merevisi berkali-kali daftar PSN.

Maka, sejalan dengan penelitian dari Agung Wardana dan Dzaki Aribawa Darmawardana, bahwa regulasi PSN menunjukkan karakter yang eksekutif sentris (executive heavy) karena ia tidak dihasilkan dari peraturan delegasi ataupun peraturan pelaksana yang didasari oleh UU dan melalui proses deliberatif bersama dengan parlemen, lebih-lebih partisipasi publik yang lebih luas (Jurnal Hukum Pembangunan FHUI Vol.54 No.2).

Fenomena ini menunjukkan betapa fluid-nya daftar proyek strategis sesuai kemauan politik pemerintah. Akibatnya, publik seringkali hanya mengetahui fakta-fakta pembangunan setelah proyek sudah berjalan atau setelah peraturan tersebut terbit.

Menjaga PSN di Era Prabowo
Hari ini, Proyek Strategis Nasional (PSN) di era pemerintahan Prabowo Subianto tidak lagi sekadar berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik, melainkan juga mencakup pembangunan infrastruktur sosial. Hal ini tercermin dari berbagai program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Program Digitalisasi Pendidikan, Kartu Kesejahteraan, serta sejumlah PSN lainnya.

Di sisi lain, proyek infrastruktur besar yang telah berjalan sejak awal masa kepemimpinan Presiden Jokowi seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), perluasan Whoosh, pembangunan jalan tol, dan megaproyek lain tetap menyedot biaya publik yang sangat besar.

Perlu dicatat, arah kebijakan PSN tersebut ditegaskan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketujuh atas Permenko Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Daftar Proyek Strategis Nasional.

Regulasi ini menunjukkan bahwa mekanisme PSN masih bersifat eksekutif-sentris (executive heavy) dan sangat fluid, karena mudah disesuaikan dengan kebijakan dan kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Pertanyaannya, apakah revisi tersebut benar-benar didasarkan pada perencanaan yang teknokratik serta memperhatikan kebutuhan masyarakat, atau justru dipengaruhi oleh pertimbangan politis dan kepentingan jangka pendek?

Ke depan, PSN di era Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka perlu diarahkan agar lebih transparan, akuntabel, dan kredibel. Mekanisme check and balance harus diperkuat, baik melalui pengawasan DPR maupun partisipasi aktif masyarakat sipil.

Pembangunan tidak boleh hanya menjadi keputusan sepihak dari ruang-ruang eksekutif tanpa adanya konsultasi publik yang terbuka dan substantif. Setiap rencana pembangunan seharusnya dapat diperdebatkan, diuji rasionalitasnya, dan dikritisi dengan data, analisis, serta perspektif alternatif.

Pada akhirnya, pembangunan infrastruktur harus dipahami sebagai alat untuk mewujudkan keadilan sosial, bukan sekadar instrumen politik atau sarana bagi segelintir pihak untuk mengeruk keuntungan. Kasus Bandara Kertajati seharusnya menjadi pelajaran kolektif: tanpa partisipasi yang bermakna, tanpa pengawasan ketat, dan tanpa keberanian membongkar tabir kuasa, proyek-proyek raksasa hanya akan menjadi monumen ironi yang kelak disesali.


(miq/miq)