Target Pertumbuhan Ekonomi 8% dan Penurunan Pengangguran Sarjana
Pertumbuhan ekonomi memang menciptakan lapangan kerja, tetapi tidak otomatis...
Oleh Kuntjoro Pinardi
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan prioritas nasional yang di antaranya meliputi pelaksanaan program hilirisasi dan transisi energi. Terkait dengan kedua kebijakan tersebut, posisi dan keberadaan wilayah kerja (WK) gas nasional sangat strategis. Dengan keberadaan WK gas domestik, manfaat ekonomi dari pelaksanaan kebijakan hilirisasi dan transisi energi dapat menjadi lebih optimal.
Sampai saat ini industri hulu gas memberikan kontribusi signifikan dalam ketahanan ekonomi dan ketahanan energi nasional. Kontribusi industri hulu gas nasional berpotensi meningkat sejalan dengan implementasi kebijakan hilirisasi dan transisi energi.
Tidak hanya terkait dengan aspek ketersediaan cadangan yang lebih baik dibandingkan minyak bumi, industri hulu gas berpotensi menjadi tulang punggung dalam upaya menyeimbangkan antara pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca dengan daya beli masyarakat.
Peran Penting WK Gas Nasional
Dalam perkembangannya WK gas nasional memiliki peran dan kontribusi yang terus meningkat. Peningkatan kontribusi tercermin dari nilai investasi dan multiplier industri hulu gas yang terus meningkat. Investasi hulu migas tercatat meningkat dari 10,47 miliar USD pada tahun 2020 menjadi 15,33 miliar USD pada 2024.
Nilai indeks multiplier industri hulu gas juga tercatat meningkat dari 4,98 menjadi 6,56. Manfaat ekonomi dari kegiatan investasi pada kegiatan usaha hulu gas yang sebelumnya sekitar 4,98 kali dari nilai investasi meningkat menjadi 6,56 kali dari nilai investasi yang dilakukan.
Peningkatan investasi hulu migas tersebut berdampak positif terhadap penemuan cadangan gas nasional dalam beberapa tahun terakhir. Data SKK Migas (2025) menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir aktivitas eksplorasi migas nasional semakin didominasi oleh penemuan cadangan gas bumi.
Sejumlah temuan besar meliputi Layaran-1 di Blok South Andaman (6 TCF), Timpan-1 di Blok Andaman II (5-6 TCF), Geng North-1 di Blok North Ganal (5 TCF), serta South CPP (87,09 BCF). Hingga Juni 2025, total cadangan gas (proven + potential) Indonesia tercatat sebesar 51,98 TCF.
Peningkatan investasi hulu migas yang disertai dengan penemuan cadangan gas nasional memberikan dampak positif terhadap pelaksanaan kebijakan hilirisasi migas. Dalam kebijakan hilirisasi yang akan melibatkan 8 sektor dan 28 komoditas, gas menjadi salah satu komoditas yang akan menjadi bagian dari program hilirisasi.
Berdasarkan data, kebutuhan gas untuk mendukung berbagai proyek hilirisasi seperti Pupuk Iskandar Muda (PIM) III, Pupuk Sriwijaya (Pusri) III, GRR Tuban, Amurea PKG, Pabrik Methanol Bojonegoro, Petrokimia Masela, Ammonia Banggai, serta pengembangan Ammonia dan Urea termasuk Blue Ammonia di Papua Barat diperkirakan mencapai sekitar 1.078 MMSCFD.
Kebijakan hilirisasi diproyeksikan akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan sampai dengan tahun 2040 mendatang. Manfaat ekonomi yang diproyeksikan akan tercipta dari kebijakan hilirisasi diantaranya adalah meningkatkan nilai investasi sekitar 618 miliar USD, meningkatkan ekspor sekitar 858 miliar USD, meningkatkan PDB sekitar 236 miliar USD, dan menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja.
Kebijakan hilirisasi akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar jika mendapat dukungan atau terintegrasi dengan kegiatan di sektor hulu. Studi ReforMiner (2025), menemukan manfaat ekonomi dari kebijakan hilirisasi gas akan menjadi lebih optimal jika bahan baku gas bumi yang digunakan berasal dari produksi di dalam negeri.
Sebagai contoh, pada industri petrokimia, penggunaan gas bumi melalui produksi domestik berpotensi meningkatkan indeks multiplier effect hingga 5,28 kali jika dibandingkan dengan menggunakan gas impor. Artinya, potensi manfaat ekonomi yang tercipta dari kebijakan hilirisasi gas yang menggunakan gas hasil produksi dalam negeri sekitar 5,28 kali lebih besar dibandingkan dengan menggunakan gas impor.
Selain memiliki peran penting dalam pelaksanaan program hilirisasi, gas juga memiliki peran penting dalam implementasi kebijakan transisi energi di Indonesia. Pemanfaatan gas menjadi penting dalam membantu menyeimbangkan antara pencapaian target NZE 2060, kesehatan fiskal, dan daya beli masyarakat. Dalam hal ini gas dapat disebut sebagai jembatan untuk menuju transisi energi.
Kebijakan transisi energi yang mengganti secara langsung energi fosil dengan EBT berpotensi dapat menekan daya beli pengguna energi. Hal itu karena sampai dengan terpenuhinya break even point (BEP), rata-rata harga EBT akan relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan energi fosil.
Karena itu, keberadaan dan penggunaan gas menjadi penting agar daya beli pengguna energi masih dapat dijaga tetapi dengan tetap menjalankan esensi dari kebijakan transisi energi yaitu tetap berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca.
Peningkatan pemanfaatan gas bumi dapat membantu merealisasikan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 31,89% atau setara dengan 915 juta ton CO2e pada tahun 2030 dari kondisi Business as Usual (BaU). Dari target tersebut, sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi sebesar 358 juta ton CO2e.
Berdasarkan simulasi ReforMiner, jika 50% volume konsumsi minyak bumi dan batubara Indonesia dikonversi dengan menggunakan gas bumi, kebijakan tersebut sudah dapat menurunkan emisi sekitar 159,51 juta ton CO2e atau setara dengan sekitar 50,8% dari total target penurunan emisi sektor energi Indonesia.
Pemanfaatan gas bumi akan memiliki dampak yang lebih positif karena dapat menyeimbangkan antara daya beli masyarakat dan pencapaian target penurunan emisi. Penurunan emisi tetap dapat dicapai dengan tetap menjaga daya beli masyarakat dalam tingkatan tertentu.
Sejumlah data dan informasi yang telah disampaikan tersebut menegaskan bahwa industri hulu gas bumi nasional memiliki posisi strategis dan akan menjadi tulang punggung dalam implementasi kebijakan hilirisasi dan transisi energi.
Karena itu, menjadi penting agar sejumlah permasalahan pada industri gas nasional seperti keterbatasan ketersediaan infrastruktur, kepastian investasi yang masih relatif terbatas, keterbatasan akses pasar, dan kebijakan harga gas yang belum proporsional untuk para pihak, untuk dapat segera diselesaikan.
Pertumbuhan ekonomi memang menciptakan lapangan kerja, tetapi tidak otomatis...
Oleh Kuntjoro Pinardi
80 tahun lalu, kemerdekaan lahir dari keberanian untuk memulai. 80 tahun ke ...
Oleh Fakhrul Fulvian
Negara yang mampu memproduksi chip sendiri tidak hanya memperoleh keuntungan...
Oleh Kuntjoro Pinardi
Fakta bahwa Indonesia masih harus bergantung pada metanol impor menunjukkan ...
Oleh Feiral Rizky Batubara