Memperkuat Ketangguhan Sistem Mutu Udang Indonesia

Doni Darwin,  CNBC Indonesia
06 November 2025 12:27
Doni Darwin
Doni Darwin
Doni Ismanto Darwin merupakan Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Komunikasi Publik. Sebelumnya, Doni menjabat sebagai Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sejak 1 januari 2021 dan Asisten Khusus Wakil Menteri Pertahanan sejak 30 Okt.. Selengkapnya
Usaha Tambak Udang. (Tangkapan Layar Youtube/bbpbap jepara)
Foto: Ilustrasi udang. (Tangkapan Layar Youtube/bbpbap jepara)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pada Juli 2025, kabar mengejutkan datang dari otoritas Amerika Serikat (AS) yang menemukan jejak radionuklida Cesium-137 di satu kontainer udang beku asal Serang, Banten. Meski tingkatnya berada di bawah ambang batas bahaya, regulasi AS tidak memberi ruang abu-abu untuk isu seperti ini. Kontainer ditahan, verifikasi penuh diterapkan, dan kredibilitas negara asal dipertanyakan.



Pemerintah Indonesia merespons cepat. Bukannya berkelit, negara justru membuka diri untuk audit dan investigasi komprehensif. Hasilnya membuktikan kontaminasi bukan berasal dari tambak, air budidaya, atau proses produksi udang, tetapi bersifat lokal dan berasal dari paparan lingkungan kawasan industri Modern Cikande, Serang. Temuan ini disampaikan dengan jujur kepada publik dalam negeri maupun otoritas pangan AS.

Bukan itu saja, langkah pemerintah berikutnya justru mengubah krisis ini menjadi momentum melenting. Pada 3 Oktober 2025, FDA AS menerbitkan Import Alert 99-52 yang menempatkan udang Indonesia dalam skema Yellow List untuk wilayah Jawa dan Lampung. Artinya, ekspor masih bisa masuk ke AS, namun harus melalui sertifikasi bebas Cs-137.

Dalam konteks itulah, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang diberi mandat FDA sebagai Certifying Entity (CE) - otoritas resmi penerbit sertifikasi radiasi untuk produk perikanan. Status ini memberi Indonesia legitimasi penuh menerbitkan sertifikat teknis yang diakui FDA.

Untuk menjawab mandat tersebut, pemerintah menyiapkan protokol sertifikasi berbasis data dan sains. Sistem SIAPMUTU disinkronkan dengan FDA-ITACS. Laboratorium pengujian diperkuat. Unit Radiological Portal Monitoring (RPM) dipasang di pelabuhan untuk mendeteksi radiasi di titik akhir distribusi. Semua dalam tempo kurang dari tiga bulan.

Hasilnya terlihat nyata. Pada 31 Oktober, ekspor perdana dua shipment udang bersertifikat bebas Cesium ke Amerika Serikat berjalan lancar. Di awal November, lima kontainer tambahan menyusul, sehingga sudah tujuh kontainer dengan volume 106 ton udang senilai lebih dari Rp20 miliar telah dikirim ke pasar AS melalui pelabuhan New York dan Los Angeles.

Proses ini menunjukkan bahwa ketika negara hadir dengan sistem yang transparan dan terukur, kepercayaan internasional tetap bisa diraih. KKP menargetkan lebih dari 200 kontainer yang akan dikirim hanya dalam bulan ini.

Hal yang justru menarik, di balik gangguan teknis sementara itu, kinerja ekspor udang Indonesia ke AS tidak surut. Hingga September 2025, ekspor udang naik 16,3 persen secara tahunan (YoY). Amerika Serikat masih menyerap 63,1 persen dari total ekspor udang nasional. Bahkan pada bulan September sendiri, ekspor tumbuh 16,6 persen dibanding Agustus, menunjukkan daya tahan pasar yang masih kuat dan respons positif terhadap sistem kendali baru yang diterapkan Indonesia.

Namun pekerjaan belum selesai. Tantangan ke depan adalah mengembalikan status ekspor dari Yellow List menjadi akses penuh tanpa persyaratan sertifikasi, khususnya bagi wilayah Jawa dan Lampung.

Untuk itu, langkah-langkah lanjutan kini masuk dalam peta jalan bersama FDA, yakni perbaikan sistem lingkungan industri, peningkatan Critical Control Point (CCP) di seluruh unit pengolahan ikan pantura, penguatan laboratorium uji berbasis digital traceability, serta pemasangan alat deteksi Cs-137 di berbagai wilayah seperti Surabaya, Makassar, dan Jakarta.

Di sisi hulu, upaya penguatan mutu tak kalah serius. Kementerian Kelautan dan Perikanan mempercepat penerapan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) di sentra tambak, memperluas pembinaan, dan menaikkan standar keamanan pangan yang berbasis lingkungan. Dengan demikian, persoalan hilir seperti kontaminasi lokal di Serang tidak menutupi kenyataan bahwa mayoritas produksi udang Indonesia berasal dari rantai hulu yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.

Pelajaran terbesar dari semua ini adalah kemampuan pemerintah dalam merespons krisis bukan sekadar dalam bentuk regulasi, tetapi dalam membangun sistem yang tangguh, transparan, dan berbasis bukti ilmiah. Keterbukaan data, audit lintas lembaga, diplomasi teknis yang terbuka, hingga langkah konkrit di pelabuhan dan tambak menjadi fondasi baru sistem mutu nasional.

Kisah udang Indonesia ini menunjukkan sesuatu yang lebih besar bahwa ketahanan komoditas Indonesia tidak ditentukan oleh absennya masalah, tetapi oleh cara negara menghadapi dan mengatasinya secara tangguh. Dari insiden radiasi hingga kembalinya kontainer-kontainer udang ke pelabuhan AS, negara hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai penjamin kredibilitas global.

Dan hari ini, udang Indonesia bukan sekadar berhasil masuk kembali ke pasar Amerika Serikat. Melainkan membawa serta standar baru keamanan pangan, menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya menyesuaikan diri dengan aturan global, tetapi juga menjadi bagian dari yang menetapkan standar tersebut.


(miq/miq)