Seputar "Kartel Siluman"
Bagi RI, pertanyaannya bukan lagi apakah "kartel siluman" telah te...
Oleh Ukay Karyadi
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Bayangkan sebuah pasar di mana harga produk selalu stabil, tidak ada persaingan ketat, dan semua perusahaan tampak rukun. Di permukaan, kondisi ini terlihat ideal. Namun, di balik stabilitas harga ini tersembunyi sebuah paradoks: justru dalam kenyamanan inilah inovasi sering terhambat.
Baca:Seputar "Kartel Siluman" |
Fenomena ini--yang dalam tulisan ini disebut "behavioral cartel"--bukan selalu hasil konspirasi eksplisit, melainkan muncul dari bias kognitif kolektif, insentif jangka pendek, dan mekanisme koordinasi implisit yang secara sistematis meredam terobosan baru. Istilah ini digunakan bukan sebagai kategori hukum, melainkan sebagai kerangka analitis untuk menggambarkan bagaimana pasar bisa kehilangan dinamika kompetitif tanpa adanya kesepakatan formal.
Narasi konvensional sering menggambarkan kartel sebagai hasil konspirasi rasional segelintir pengusaha yang duduk bersama menyepakati harga dan membagi pasar. Namun, ekonomi perilaku (behavioral economics) menawarkan perspektif yang lebih mendalam: praktik non-kompetitif ini tak hanya lahir dari perhitungan dingin, melainkan juga dari bias kognitif manusiawi, insentif jangka pendek, dan kegagalan komitmen strategis dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Maurice Stucke (2010) menjelaskan bahwa pelaku usaha yang terlibat kartel sering dipengaruhi oleh bias overconfidence--keyakinan berlebih yang membuat mereka meremehkan risiko tertangkap oleh otoritas. Lebih menarik lagi, mereka cenderung melakukan reframing kognitif, mengubah narasi tindakan kolusi menjadi "perlindungan bisnis yang wajar" atau "menjaga stabilitas pasar". Inilah yang membuat kartel tetap stabil meskipun teori deterrence optimal memprediksi sebaliknya.
Sementara itu, Joseph Harrington (2011) mengembangkan teori tacit collusion yang menjelaskan fenomena koordinasi harga tanpa komunikasi eksplisit. Dalam model ini, perusahaan-perusahaan menggunakan strategi price leadership--satu perusahaan memimpin kenaikan harga dan yang lain mengikuti--dengan mengadopsi strategi price matching plus untuk menjaga harga di atas level kompetitif, meskipun tidak mencapai keuntungan kolusi optimal karena keterbatasan koordinasi.
Harrington (2006) bahkan menunjukkan bahwa deteksi kartel melalui behavioral screening--analisis pola harga, stabilitas pangsa pasar, dan variabilitas penawaran--lebih efektif daripada pendekatan struktural tradisional.
Kartel Membunuh Inovasi
Mengapa perusahaan dalam pasar oligopolistik cenderung enggan berinovasi? Jawabannya terletak pada dilema komitmen kolektif. Inovasi oleh satu perusahaan dapat memicu persaingan internal yang tidak terduga di antara anggota kartel, merusak kesepakatan harga, dan menggerus keuntungan bersama.
Ekonomi perilaku menjelaskan fenomena ini melalui dua bias utama. Pertama, status quo bias membuat pelaku usaha lebih memilih mempertahankan kondisi saat ini daripada mengambil risiko perubahan, meskipun perubahan tersebut berpotensi menguntungkan dalam jangka panjang. Kedua, bounded willpower--keterbatasan kemampuan menunda kepuasan--mendorong fokus pada keuntungan jangka pendek (Stucke, 2010).
Harrington (2011) menambahkan bahwa dalam tacit collusion, price leadership sering kali membatasi kenaikan harga hanya sampai level yang "aman", bukan optimal. Hal ini terjadi karena ketidakpastian strategis: perusahaan ragu apakah pesaing benar-benar akan mengikuti kenaikan harga, sehingga mereka memilih strategi konservatif untuk menghindari deviasi yang merugikan. Akibatnya, anggota kartel menghindari investasi inovasi yang mengganggu pangsa pasar, dan mempertahankan status quo secara kolektif.
Contoh nyata dapat kita lihat dalam sektor pengadaan barang dan jasa, khususnya konstruksi. Ketika pemain lama secara diam-diam membagi proyek melalui sistem giliran (rotation cartel), tidak ada lagi dorongan untuk mengembangkan teknologi konstruksi yang lebih efisien atau metode pembangunan yang lebih murah.
Untuk apa berinvestasi dalam inovasi, jika proyek sudah dijamin dapat diperoleh melalui sistem yang sudah mapan? Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menangani beberapa kasus bid rigging di sektor ini
Demikian pula dalam sektor jasa keuangan, terdapat indikasi kuat seperti itu. Meskipun tampak kompetitif, layanan inti seperti interchange fee dan jaringan pembayaran didominasi segelintir pemain yang secara implisit menjaga biaya pada level tertentu.
Tidak ada insentif untuk benar-benar menurunkan biaya transaksi karena jika satu perusahaan memangkas biaya, pesaing akan segera mengikuti, memicu perang harga yang merugikan semua pihak. Akibatnya, inovasi radikal--seperti sistem pembayaran berbiaya sangat rendah atau layanan yang lebih inklusif bagi UMKM--tidak berkembang dengan optimal.
Kasus internasional memperkuat pemahaman ini. Kartel kabel daya di Jerman yang beroperasi dari 1958 hingga 1990 memperlihatkan bagaimana produsen besar diam-diam membagi pasar Eropa dan menetapkan harga. Studi oleh Normann dan Tan (2013) mengungkapkan kartel ini bertahan lama karena mekanisme hukuman implisit dan pengawasan timbal balik yang kuat, meskipun denda antitrust tidak cukup efektif menurunkan harga secara signifikan.
Di Amerika Serikat, kasus kolusi pasar peralatan listrik tahun 1950-an melibatkan lebih dari 30 produsen yang melakukan price-fixing pada power transformers dan turbine generators, meningkatkan profitabilitas hingga 2-12 poin persentase sebelum dibongkar oleh tindakan antitrust. Dalam kasus ini, fokus pada kolusi membuat inovasi mandek karena tidak ada insentif untuk mengembangkan teknologi yang lebih efisien.
Menuju Ekosistem Inovasi yang Sehat
Lalu, bagaimana kita keluar dari jebakan ini? Jawabannya terletak pada pendekatan yang lebih cerdas dan memahami akar permasalahan "behavioral cartel".
Pertama, otoritas seperti KPPU perlu mengembangkan sistem deteksi yang lebih sensitif. Alih-alih hanya berfokus pada harga, pemantauan harus diperluas hingga mencakup indikator-indikator stagnasi inovasi.
Misalnya, dengan membandingkan tingkat pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan di suatu sektor dengan profitabilitas perusahaan-perusahaan di dalamnya. Sektor yang sangat profitable namun minim inovasi patut diwaspadai sebagai potensi adanya "behavioral cartel".
Pendekatan behavioral screening yang diusulkan Harrington (2006) dapat diadopsi, dengan fokus pada pola harga dan kuantitas yang mencurigakan--seperti variasi harga yang terlalu rendah atau pangsa pasar yang stabil secara tidak wajar.
Kedua, kebijakan persaingan usaha harus aktif menciptakan ruang bagi para pemain inovatif baru. Ini dapat dilakukan dengan lebih ketat meninjau rencana akuisisi startup potensial oleh perusahaan-perusahaan besar, serta memastikan bahwa pelaku UMKM memiliki akses yang adil ke pasar. Di era digital, pemantauan terhadap algorithmic pricing juga menjadi penting, mengingat algoritma dapat memfasilitasi koordinasi harga tanpa komunikasi eksplisit.
Ketiga, Indonesia perlu mengembangkan sistem peringatan dini berbasis data untuk mendeteksi pola perilaku anomali di sektor strategis. Sistem ini harus mampu memantau indikator non-harga seperti fleksibilitas pembayaran, cakupan layanan, dan tingkat inovasi produk. Selain itu, penindakan terhadap penyalahgunaan posisi dominan sesuai UU No. 5 Tahun 1999 (UU Antimonopoli) perlu diperkuat, karena posisi dominan sering menjadi akar dari kolusi implisit.
Yang paling penting adalah menciptakan budaya yang menghargai inovasi. Tidak hanya melalui regulasi, tetapi juga dengan memberikan insentif positif bagi perusahaan-perusahaan yang membawa terobosan baru. Dengan cara ini, inovasi tidak lagi dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas pasar, melainkan sebagai kebutuhan yang tidak dapat dihindari dalam persaingan sehat.
Pada akhirnya, memahami "behavioral cartel" bukan sekadar tentang mencegah kenaikan harga, tetapi tentang membebaskan potensi inovasi yang terpasung. "Behavioral cartel" mengingatkan kita bahwa kurangnya kompetisi tak hanya soal harga tinggi, tetapi juga pilihan terbatas, inovasi mandek, dan eksklusi segmen rentan dari akses pasar.
Dalam jangka panjang, ekonomi yang inovatif adalah ekonomi yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih mampu membawa kemakmuran bagi semua pihak--dari produsen hingga konsumen. Kompetisi sejati adalah fondasi inklusi ekonomi, dan melindungi kompetisi berarti melindungi masa depan ekonomi yang lebih adil bagi semua.
Bagi RI, pertanyaannya bukan lagi apakah "kartel siluman" telah te...
Oleh Ukay Karyadi
Ekonomi platform telah menciptakan ketimpangan dalam pembagian nilai (value ...
Oleh Ukay Karyadi
"serakahnomics" mencerminkan simbiosis antara kekuasaan politik (p...
Oleh Ukay Karyadi
Dunia yang dulu ia bayangkan, dipenuhi oleh pengusaha saleh, birokrat modern...
Oleh Fakhrul Fulvian