Distrupsi Menuju Antisipasi Eksistensi Entitas

Suparjono, CNBC Indonesia
15 October 2025 14:21
Suparjono
Suparjono
Suparjono merupakan Praktisi Human Capital yang memiliki pengalaman selama 13 tahun. Ia sempat berkecimpung di Corporate Secretary & Legal selama empat tahun dan saat ini kembali ke dunia Human Capital dan stakeholder management di Pertamina Group. Lulus.. Selengkapnya
Suasana gedung bertingkat tertutup kabut polisi usai hujan di Jakarta, Kamis (16/6/2023). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Suasana gedung bertingkat tertutup kabut polisi usai hujan di Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Dunia dan alam semesta yang terikat oleh ruang dan waktu, ternyata mampu memberikan kesempitan bagi satu orang dan keluasan bagi yang lainnya. Ada ruang yang terukur, ada ruang yang berbatas oleh tahu. Ada waktu yang sebentar, ada waktu yang lama berbatas oleh persepsi. Beda dengan ruang, waktu punya konsensus batas selama dua puluh empat jam.

Ruang belum berbatas pada angka ketetapan, atau paling tidak belum familiar terdengar oleh orang awam. Ruang yang belum terdefinisi, seringkali menjadi area perebutan, pertentangan, pertempuran dan konflik yang berkepanjangan.

Kondisi perebutan ruang yang batasnya sangat subjektif seringkali dimonopoli oleh pemilik kuasa. Perebutan ruang tidak melihat kelas struktur dalam masyarakat. Kalaupun terdapat kelas struktur, diantara kelas struktur berpotensi terjadi perebutan ruang yang tak terelakkan, lumrah dan sangat alami.

Ruang yang merupakan tempat bernaungnya entitas akan selalu memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung kepada entitas lain untuk eksis. Eksistensi ini sesungguhnya hasil dari proses gerak dan berubah.

Gerak perubahan yang dilakukan oleh entitas dari satu titik menuju titik lainnya, dari rencana satu ke rencana lainnya dan dari harapan satu ke harapan lainnya. Oleh sebab itu, mempertahankan eksistensi merupakan gerak perubahan yang dilakukan secara terus menerus dengan menyesuaikan kondisi alam (konteks) untuk selalu menyempurna sebagai fitrah alam.

Gerak dan berubahnya entitas menandakan bahwa ada kehidupan (eksisten) entitas yang berada pada ruang. Pertanyaan mendasar adalah bagaimana ruang memberikan setiap entitas untuk eksis tanpa menegasikan entitas lain secara destruktif, mungkinkah perebutan dan pertentangan ruang menghasilkan entitas yang harmonis.

Sejarah pergerakan dan perubahan masa secara historis berawal dari manusia mulai berburu dan bercocok tanam sampai munculnya mesin uap oleh James Watt yang memantik munculnya Revolusi Industri. Fase tersebut secara umum dapat dibagi menjadi empat antara lain :

1. Revolusi Industri 1.0 (Akhir abad ke-18) yang berfokus pada Penggunaan tenaga uap dan mesin mekanik. Dampak yang terjadi pada produksi menjadi lebih cepat dan efisien, menggantikan tenaga manual, serta memicu urbanisasi dan pertumbuhan industri.
2. Revolusi Industri 2.0 (Akhir abad ke-19), yang berfokus pada penggunaan listrik, penemuan mesin dan konsep produksi massal. Dampak yang terjadi pada peningkatan efisiensi produksi secara drastis dengan adanya listrik, serta memungkinkan produksi barang dalam skala besar.
3. Revolusi Industri 3.0 (Akhir abad ke-20), yang berfokus pada munculnya komputer, elektronik, dan otomatisasi melalui robotika dan sistem otomatisasi. Dampak yang terjadi pada proses produksi menjadi lebih otomatis dan efisien berkat penggunaan komputer dan robot.
4. Revolusi Industri 4.0 (Dimulai awal abad ke-21), Fokus pada mengintegrasikan teknologi digital, seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), big data, dan komputasi awan (cloud computing). Dampak ditimbulkan menciptakan sistem produksi yang lebih cerdas, terhubung, dan otomatis, serta mengubah lanskap pekerjaan dengan fokus pada keterampilan digital dan analisis data.

Perubahan fase tersebut selain karena kebutuhan dalam melakukan simplikasi dan peningkatan taraf hidup, juga diakibatkan oleh distrupsi. Distrupsi yang oleh Govindarajan (2016) diartikan sebagai keadaan di mana sebuah proses yang tengah berjalan tiba-tiba saja harus terhenti, terganggu, mengalami interupsi, dan kekacauan karena beragam sebab.

Di antaranya, karena hadirnya produk atau jasa baru, inovasi atau teknologi baru atau perbaikan-perbaikan dalam proses bisnis dan tata kelola, dan lain sebagainya yang disruptif. Dengan demikian sesungguhnya distrupsi merupakan gejala yang normal dan niscaya dari hadirnya entitas dalam menjaga eksistensinya.

Respons dalam Setiap Perubahan
Batas ruang yang cenderung tidak terbatas mungkin bagi sebagian pihak menimbulkan kecemasan, namun bagi sebagian lainnya merupakan zona nyaman baru dalam menghadirkan ide dan gagasan. Ide dan gagasan biasanya hadir pada ruang-ruang yang membutuhkan perbaikan dan penyempurnaan.

Ide dan gagasan juga timbul dan tenggelam yang diakibatkan oleh faktor internal (konten) dan eksternal (konteks). Ide dan gagasan juga bisa timbul akibat respon atau pembacaan akan setiap realitas yang hadir dalam setiap entitas.

Oleh sebab itu ide dan gagasan perlu ditangkap, direnungkan dan dicatat secara konsisten hingga bisa mengaktual. Entitas tersebut bisa oleh manusia secara pribadi, kelompok maupun organisasi nirlaba maupun laba. Kondisi eksternal yang muncul seringkali tidak mampu ditangkap oleh entitas.

Kalaupun bisa ditangkap seringkali kurang disiplin dalam mencatat sehingga alternatif ide dan gagasan seringkali buram dan hilang. Pada akhirnya ide dan gagasan tidak mampu memberikan alternatif yang sesuai saat diaplikasikan.

Kondisi eksternal seringkali menciptakan respons yang variatif sehingga perlu diidentifikasi dan klasifikasi setiap tanda-tanda yang muncul di lingkungan sekitar. Hal tersebut dilakukan agar setiap momentum dapat kita potret sebagai data dan informasi serta menjadi bahan pertimbangan setiap entitas.

Data dan informasi merupakan modal bagi setiap entitas untuk mempelajari dan mengetahui lebih awal respons apa yang perlu diambil. Apakah dalam setiap perubahan dan gerak eksternal bisa langsung direspons atau tidak. Jika perlu respons bagaimana kadarnya atau bahkan tidak perlu dilakukan aksi lanjutan.

Sepertinya halnya entitas korporasi, banyak perusahaan besar yang hilang dan punah akibat respon yang kurang tepat. Sebut saja Kodak, Blackberry, Nokia, atau sempat berjaya juga Sony Ericsson. Bahkan sekelas Facebook juga tidak begitu mulus ketika shifting dengan metaverse-nya.

Produk-produk tersebut tentu tidak dilahirkan dari perusahaan yang biasa-biasa saja. Dengan latar belakang research and development (R&D) yang cukup mapan, proses shifting masih perlu effort yang besar meskipun gerak perubahan internal cepat telah dilakukan.

Perusahaan besar juga masih harus menjalani proses transisi yang cepat dan presisi dalam merespons gerak perubahan eksternal agar tidak ikut terdistrupsi. Oleh sebab itu, kecepatan bukanlah menjadi salah satu faktor utama dalam merespons setiap perubahan dan gerak eksternal. Perlu ada upaya dan sumber daya lainnya agar respons yang dihasilkan mampu tepat sasaran.

Menghubungkan Konten dan Konteks
Entitas manusia maupun organisasi tentu mempunyai atribut yang melekat. Bisa diperoleh dari lahir maupun hadir sebagai akibat proses pembelajaran secara konsisten dalam merangkai puzzle yang berserakan kemudian dihimpun.

Baik secara individu maupun kelompok himpunan puzzle tersebut membentuk entitas yang mempunyai karakter, ciri dan kelebihan serta kekurangan masing-masing. Ciri dan karakter inilah yang kemudian dijadikan modal utama dalam melintas ruang yang belum kita ketahui batasannya.

Dalam konteks individu tentu kita tumbuh dan menjadi besar seperti seorang Einstein, M. Yunus (peraih nobel), Ronaldo, Messi, atau mungkin seperti Elon musk. Dalam konteks korporasi masing-masing bisa tumbuh menjadi perusahaan seperti Kongo Gumi (perusahaan tertua di dunia yang berdiri di Osaka, Jepang pada 578 Masehi), Google, Microsoft, Amazon dan lainnya sebagainya.

Ciri dan karakter yang melekat pada individu maupun organisasi selain sebagai modal utama juga sebagai modal pertama dalam merespons setiap gerak perubahan. Ciri dan karakter inipun merupakan konten atau isi dari setiap entitas.

Konten yang dimiliki setiap entitas sewajarnya menjadi kekuatan dan kepercayaan untuk masuk dan mewarnai setiap gerak perubahan. Dalam proses mewarnai inilah kemampuan internal (konten) entitas harus mampu menjawab dan meletakkan warna pada posisinya agar kehadirannya memberikan warna yang selaras (konteks).

Karena jika tidak selaras dengan warna yang dibutuhkan maka lukisan yang akan tergambar tidak memiliki makna. Sepertinya seorang pelari yang mempunyai karakter sprinter maka tidak tepat jika masuk dalam arena marathon. Hiu pun tak akan berhasil jika dihadapkan dengan seekor singa, karena konteks (alam, situasi, kebutuhan dan cara gerak perubahannya) berbeda.

Kalau kita telusuri ruang tentang bagaimana entitas bisa bertahan dan memadu padankan antara konten dan konteks, maka kita bisa menggunakan berbagai tools. Tools digunakan untuk memastikan bagaimana cara bertahan, berkreasi dan berinovasi serta memberikan solusi (needs) bagi gerak perubahan.

Salah satunya adalah design thinking. Kerangka design thinking dipopulerkan oleh David Kelley dan Tim Brown dari IDEO (International Design Expertise and Organization) mengemukakan bahwa langka pertama adalah bagaimana kita memahami konteks.

Konteks ini bisa kita artikan sebagai upaya untuk memahami pengguna secara mendalam melalui observasi dan wawancara untuk mengidentifikasi kebutuhan dan masalah mereka, serta melepaskan asumsi diri. Memahami konteks menjadi penting untuk setiap entitas terus bertahan dalam setiap gerak perubahan (needs) atau dalam pendekatan design thinking disebut sebagai emphatize.

Konten (kemampuan yang melekat) dalam setiap entitas seyogianya mampu dihubungkan dengan konteks (needs) yang sesuai, tidak kurang dan tidak lebih. Kelebihan dan kekurangan dalam menghubungkan konten dan konteks berpotensi mengarah kepada tindakan yang kontrakproduktif dan kepunahan. Artinya ada proses yang perlu dilalui dalam hukum gerak perubahan jika tidak ingin terjadi benturan yang destruktif.

Entitas Berkedasaran
Gerak perubahan yang hadir merupakan sebagai konsekuensi logis hadirnya entitas dalam ruang dan waktu. Gerak perubahan perlu kita tempatkan pada porsi yang proporsional agar setiap perjalanannya menghadirkan kebaruan yang harmonis.

Meskipun dalam realitas sosial tidak bisa dihindari adanya benturan kepentingan, benturan keinginan, benturan harapan antara entitas yang satu dengan entitas lainnya. Benturan tersebut hadir dari konten setiap entitas yang mungkin saja belum tercerahkan atau terinformasikan dengan baik.

Dalam kondisi tersebut maka latar belakang para pemilik konten, perlu menjadi perhatian dalam membangun keberlangsungan proses gerak perubahan yang harmonis. Setiap entitas harus mampu memahami kondisi masing-masing dalam upayanya untuk tetap bertahan dalam gerak perubahan agar tidak terdistrupsi.

Kesadaran setiap entitas menjadi penting dalam rangka menjaga keberlangsungan setiap gerak perubahan agar tetap seimbang. Keseimbangan gerak perubahan ini menjadi issue yang perlu diamplifikasikan agar setiap entitas sadar akan peran dan posisinya masing-masing.

Secara individu kita mengenal adanya revolusi kesadaran yang cukup detail dibangun pada pendekatan trasendental. Secara korporasi kita mengenal adanya kapitalisme berkesadaran (conscious capitalism) yang dipopulerkan oleh John Mackey dan Raj Sisodia (2022).

Dalam kapitalisme berkesadaran memiliki pendekatan dan filosofi bisnis yang menganjurkan perusahaan untuk beroperasi secara etis dan bertanggung jawab. Korporasi tidak hanya mengejar keuntungan tetapi juga memiliki tujuan yang lebih tinggi.

Pendekatan ini mempertimbangkan kesejahteraan semua pemangku kepentingan, seperti karyawan, pelanggan, pemasok, masyarakat, dan lingkungan, serta berfokus pada penciptaan nilai jangka panjang melalui empat prinsip utama: tujuan yang lebih tinggi, integrasi pemangku kepentingan, kepemimpinan yang sadar, dan budaya yang sadar.

Meskipun masih banyak lagi dikenal dengan pendekatan seperti Triple bottom line (People, Profit, Planet) atau Penta Helix yang meliputi pemerintah (government), akademisi (academic), dunia usaha (business), masyarakat/komunitas (community), dan media (Media).

Pendekatan tersebut merupakan upaya bagaimana menyadarkan setiap entitas agar kebelangsungan dan keberlanjutan gerak perubahan tidak terdistrupsi secara sia-sia. Membangun komunikasi dan penyadaran kepada setiap entitas pada akhirnya menjadi kewajiban yang melekat agar gerak perubahan akibat distrupsi menjadi harmonis dan eksisten.

Sehingga gerak perubahan akibat distrupsi yang terjadi menyadarkan bahwa setiap entitas yang terdistrupsi merupakan bagian dari proses penyempurnaan untuk memperoleh kebermanfaatan bagi eksistensi setiap entitas. Seperti halnya siklus benih pagi yang siap ditanam, tumbuh, berbuah, dipanen, diproses, dimakan oleh manusia, dan menghasilkan energi baik bagi keberlanjutan alam dan seisinya. Semoga kita menyadarinya!


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation