Masa Depan Gig Economy di Era Gen Z

Rahardian Satya Mandala Putra, CNBC Indonesia
10 October 2025 18:07
Rahardian Satya Mandala Putra
Rahardian Satya Mandala Putra
Rahardian Satya Mandala Putra atau biasa dikenal dengan sapaan Mandala adalah seorang peminat isu Hukum dan Kebijakan Publik. Ia meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan memiliki pengalaman di sektor pemerintahan. Opini yang.. Selengkapnya
gen z
Foto: Ilustrasi Gen Z. (CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Alih-alih bermacet-macetan ke kantor setiap pagi, Gen Z kini lebih menyukai memulai hari dengan membuka laptop dari rumah atau coffeeshop. Mereka mengerjakan proyek untuk klien di belahan dunia lain dari balik meja belajar atau diselingi dengan menikmati segelas matcha di salah satu coffeshop viral. Pemandangan anak muda yang bekerja secara remote sebagai pekerja lepas kian jamak ditemui.



Bagi Gen Z, jalur karier freelance jauh lebih menarik ketimbang mengejar pekerjaan tetap di korporat. Bagi generasi yang akrab dengan dunia digital ini, bekerja di kantor secara fisik dan 9 to 5 bukan satu-satunya jalan menuju kesuksesan, platform online membuka peluang mencari nafkah dengan jalan yang lebih fleksibel. Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah gig economy, sebuah kondisi pasar tenaga kerja yang identik dengan tenaga kerja jangka pendek atau pekerja lepas.

Gen Z dan Pilihan Karier di Luar Pakem
Perubahan dunia yang begitu cepat mendorong Gen Z berbondong-bondong terjun ke dunia freelance. Bagi sebagian besar generasi baby boomers, kerja ideal berarti gaji bulanan, kantor tetap, dan jenjang karier yang pasti.

Namun bagi Gen Z, aturan tersebut sudah bergeser dan tidak berlaku. Fleksibilitas waktu dan lokasi serta keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan (work life balance) lebih utama bagi mereka. Kerja lepas memberi mereka ruang untuk bernapas yang tak tersedia di sektor kerja konvensional, mereka bisa mengatur ritme sendiri tanpa diawasi oleh atasan ketika bekerja.

Selain itu, otonomi dalam bekerja menjadi magnet tersendiri bagi Gen Z. Sebagai freelancer, mereka bebas memilih pekerjaan sesuai passion dan menolak pekerjaan yang tidak sejalan dengan prinsip yang mereka yakini.

Sebagai generasi yang lahir di tengah tumbuh pesatnya dunia digital, Gen Z aktif memanfaatkan teknologi untuk mendukung kariernya. Platform pekerjaan freelance dan media sosial membantu mereka untuk membangun personal branding, sekaligus membuka peluang kerja lintas kota bahkan negara.

Namun, daya tarik dari freelance bukanlah tanpa kendala. Ketidakpastian pendapatan adalah harga yang harus dibayar atas fleksibilitas yang mereka milikil. Kadangkala, proyek yang mereka kerjakan bisa berlimpah, namun bisa juga sepi dan cenderung tidak ada.

Hal ini menimbulkan kecemasan finansial. Selain itu, mereka juga rawan mengalami perasaan kesepian karena bekerja secara remote dan sendiri, dalam kata lain: mereka tidak memiliki rekan kerja yang hadir secara fisik untuk dapat berbagi cerita suka dan duka.

Keterbatasan Lapangan Kerja dan Tekanan Struktural
Realitas pasar kerja Indonesia menghadapi kenyataan yang pahit, lapangan kerja formal yang terbatas membuat banyak lulusan baru kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024 jumlah pekerja Informal mencapai 84 juta orang. Naik 7 juta sejak tahun 2021. Gen Z juga kerap dilabeli sebagai generasi yang gemar "pilih-pilih kerja", padahal masalah utamanya adalah minimnya kesempatan kerja yang layak.

Banyak pekerjaan menawarkan gaji pas-pasan dengan tuntutan yang tinggi: jam kerja panjang, target menumpuk, kontrak pendek tanpa kepastian menjadi karyawan tetap, hingga minim jaminan. Kondisi ini memaksa Gen Z berpikir dua kali untuk menerima pekerjaan itu.

Situasi ekonomi belakangan juga melahirkan fenomena "Job Hugging", sebuah kecenderungan untuk bertahan di satu pekerjaan meskipun tidak merasa nyaman atau puas dengan kondisi lingkungan kerjanya karena khawatir tidak mendapat peluang lain yang lebih baik di tengah ketidakpastian perekonomian.

Di sisi lain, terdapat mismatch antara dunia pendidikan dan industri. Terlalu banyak sarjana yang lulus tiap tahunnya, namun tidak terserap dengan baik di dunia kerja karena tidak sesuai dengan kebutuhan. Alhasil, kondisi ini turut mendukung terciptanya pengangguran ataupun sarjana yang bekerja di luar bidang studinya.

Semua faktor di atas mendorong wirausaha dan kerja gig sebagai sebuah solusi yang konkrit. Bagi Gen Z, mengambil sektor pekerjaan gig adalah sebuah strategi bertahan hidup di tengah sengitnya situasi ekonomi.

Langkah Pemerintah dan Pemangku Kepentingan
Perlindungan hukum dan sosial bagi pekerja gig adalah salah satu langkah yang wajib dirumuskan. Pekerja gig sudah semestinya mendapatkan akses terhadap jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan layaknya pekerja formal.

Platform digital juga musti memiliki pemahaman yang baik mengenai aspek eksploitasi, misalnya memastikan pembayaran dilakukan tepat waktu dan batas jam kerja yang wajar. Indonesia dapat belajar dari negeri tetangga, misalnya Malaysia yang sudah memiliki undang undang khusus tentang pekerja gig.

Peningkatan kompetensi terhadap Gen Z musti menjadi prioritas. Kurikulum pendidikan dan program vokasi sudah selayaknya lebih selaras dengan kebutuhan industri. Dengan skill yang tepat, Gen Z dapat dicetak menjadi generasi berdaya saing tinggi yang mandiri.

Langkah pemerintah dengan menciptakan program Pemagangan Nasional yang bertujuan memperluas kesempatan kerja bagi 20 ribu fresh graduate memang bagus, namun hal ini perlu diiringi dengan pengawasan yang memadai agar tidak terjadi eksploitasi.

Terakhir, penyediaan ruang kolaborasi bagi pekerja gig di tiap kota menjadi hal yang kiranya musti dipertimbangkan. Selama ini memang sudah banyak bertebaran co-working space yang bisa dimanfaatkan untuk berkarya, namun masih banyak yang belum memaksimalkannya.

Pemerintah pusat melalui kementerian terkait dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah, kampus dan komunitas untuk melakukan pemaksimalan ruang kolaboratif yang tidak hanya digunakan sebagai wadah bekerja, namun juga ruang belajar bersama agar pekerja gig tidak berjalan sendiri.

Menatap Masa Depan
Masa depan Indonesia ditentukan oleh Gen Z hari ini. Mereka telah menjadi pelopor dalam budaya kerja baru yang lebih fleksibel, kreatif, dan digital based. Potensi ini dapat menjadi peluru yang jitu terhadap tumbuhnya perekonomian nasional apabila diimbangi dengan kebijakan dan adaptasi sosial yang tepat.

Semua pihak baik pemerintah, dunia usaha, dan pendidikan musti bergandengan menciptakan kolaborasi yang sistematis agar gig economy tidak hanya berjalan sebagai bentuk keterpaksaan atas situasi yang terjadi, melainkan juga sebagai pilihan yang bermartabat dan memadai. Fondasi masa depan Indonesia ditentukan dari sini.


(miq/miq)