Energi Sebagai Benteng Pertahanan Semesta: Jalan Menuju Kedaulatan

Feiral Rizky Batubara, CNBC Indonesia
06 October 2025 13:02
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan P.. Selengkapnya
Ilustrasi PLTS terapung Cirata 192 MWp di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Kehadiran PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara ini menjadi bukti bahwa PLN mampu menjadikan transisi energi menjadi sebuah kekuatan untuk meningkatkan ketahanan energi nasional. Dok. PT PLN (Persero)
Foto: Ilustrasi PLTS terapung Cirata 192 MW di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. (Dokumentasi PLN)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di tengah ketidakpastian global, energi bukan lagi sekadar urusan ekonomi atau sumber pembangunan. Ia telah menjadi urat nadi kekuasaan, alat diplomasi, bahkan senjata dalam perang modern.

Krisis gas di Eropa, lonjakan harga minyak akibat konflik di Timur Tengah, hingga perebutan rantai pasok mineral strategis menunjukkan satu hal: energi kini adalah pertahanan itu sendiri. Bagi Indonesia, negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, energi seharusnya menjadi instrumen kedaulatan nasional, bukan sebuah ketergantungan baru.

Konsep ini menemukan pijakan filosofisnya dalam doktrin Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Doktrin ini berakar pada kesadaran bahwa mempertahankan negara bukan hanya tugas militer, melainkan kewajiban seluruh rakyat, wilayah, dan sumber daya nasional.

Pertahanan Indonesia bersifat semesta, artinya melibatkan seluruh lapisan bangsa secara total, terpadu, dan berlapis. Dalam sistem semesta itu, energi memiliki posisi yang sangat strategis: ia adalah darah yang menghidupkan seluruh sistem pertahanan, baik militer maupun sipil. Tanpa energi yang stabil, kemandirian bangsa akan lumpuh.

Sishankamrata berpijak pada pandangan bahwa kekuatan negara tidak hanya ditentukan oleh senjata, tetapi oleh daya tahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Energi menjadi penopang utama dari seluruh aspek itu.

Listrik yang menggerakkan pabrik, bahan bakar yang menghidupkan kapal dan pesawat, hingga jaringan data yang menopang komunikasi strategis, yang semuanya membutuhkan energi. Maka, ketika negara gagal menjamin ketahanan energi, sesungguhnya ia kehilangan salah satu pilar pertahanan semestanya.

Ketahanan energi pada dasarnya adalah kemampuan bangsa menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi bagi seluruh rakyat. Dalam kerangka Sishankamrata, konsep ini sejalan dengan prinsip "pertahanan oleh seluruh rakyat dan untuk seluruh rakyat". Energi yang dikelola secara berdaulat akan menciptakan daya tahan nasional yang kuat, sedangkan ketergantungan energi pada impor menjadikan bangsa rentan terhadap tekanan global.

Sejarah memberi pelajaran berharga. Pada tahun 1973, embargo minyak oleh negara-negara Arab membuat banyak ekonomi dunia terguncang. Negara-negara Barat yang terbiasa dengan suplai minyak murah tiba-tiba lumpuh.

Krisis itu menunjukkan bahwa kemandirian energi adalah inti dari kedaulatan. Kini, di abad ke-21, bentuk ancaman serupa muncul dalam wajah baru: manipulasi pasar energi, kontrol atas mineral strategis, dan dominasi teknologi baterai serta panel surya.

Dalam situasi ini, Sishankamrata memberi arah bagaimana bangsa harus bersiap. Ia mengajarkan bahwa pertahanan dibangun dalam tiga lapisan: komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung.

Ketiganya dapat diterjemahkan dalam konteks energi. Komponen utama yakni TNI, memerlukan pasokan energi yang andal untuk operasionalnya. Pangkalan udara dan laut yang mandiri energi dengan sistem surya dan biofuel bukan hanya solusi efisiensi, melainkan wujud kemandirian pertahanan. Energi menjadi faktor penentu kesiapan tempur dan daya tangkal militer.

Komponen cadangan, seperti BUMN dan lembaga pemerintah, berperan menjaga ketersediaan dan distribusi energi nasional. Dalam konteks ini, Pertamina, PLN, dan PGN bukan sekadar entitas bisnis, tetapi juga "benteng pertahanan strategis".

Cadangan bahan bakar, jaringan kilang, dan sistem logistik energi merupakan aset pertahanan yang sama pentingnya dengan arsenal militer. Dalam situasi krisis atau perang, kemampuan mereka memastikan pasokan energi menjadi bagian dari upaya mempertahankan negara.

Sementara itu, komponen pendukung yakni rakyat dan dunia usaha, merupakan lapisan paling luas dari sistem pertahanan semesta. Di sinilah kekuatan sosial dan ekonomi rakyat berperan langsung dalam ketahanan energi.

Koperasi energi desa, pembangkit listrik tenaga surya komunitas, dan inisiatif bioenergi lokal bukan hanya proyek ekonomi hijau, melainkan ekspresi nyata dari bela negara. Masyarakat yang mandiri energi tidak hanya bebas dari ketergantungan, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam menjaga daya tahan bangsa terhadap krisis.

Dalam konteks geografis, Sishankamrata menekankan bahwa seluruh wilayah nusantara harus menjadi bagian dari sistem pertahanan. Prinsip yang sama berlaku dalam kebijakan energi nasional: setiap daerah seharusnya memiliki kapasitas energi lokal yang kuat dan beragam.

Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke memiliki potensi energi yang berbeda di tiap wilayah seperti panas bumi di Sumatra, hidro di Sulawesi, bioenergi di Kalimantan, surya dan angin di Nusa Tenggara. Dengan mendorong desentralisasi energi, setiap wilayah dapat menjadi benteng pertahanan ekonomi sekaligus sosial. Dalam kondisi darurat, daerah yang mandiri energi tetap mampu menopang kehidupan dan pemerintahan, bahkan ketika pusat mengalami gangguan.

Hubungan antara pertahanan dan energi juga tampak nyata dalam upaya melindungi infrastruktur vital nasional. Dalam perang modern, serangan terhadap sistem energi sering menjadi strategi utama untuk melumpuhkan musuh.

Jaringan listrik, terminal BBM, pipa gas, bahkan pusat data menjadi target yang lebih efektif dibanding serangan konvensional. Karena itu, perlindungan terhadap infrastruktur energi memerlukan sinergi militer, pemerintah, dan masyarakat. Sishankamrata menyediakan kerangka itu, sebuah sistem berlapis di mana militer melindungi fisik, pemerintah menjaga sistem, dan masyarakat ikut mendeteksi serta memitigasi ancaman.

Namun, ancaman terhadap energi kini tak selalu bersifat konvensional. Di era digital, perang energi bisa terjadi di ruang siber. Serangan terhadap sistem kelistrikan, sabotase rantai pasok, atau manipulasi algoritma pasar energi global dapat melemahkan ekonomi tanpa satu pun peluru ditembakkan.

Dalam situasi ini, konsep pertahanan semesta menuntut kemampuan adaptif: sinergi lintas sektor antara pertahanan, energi, teknologi, dan pendidikan. Bela negara tidak lagi hanya berarti mengangkat senjata, tetapi juga menjaga kedaulatan energi melalui inovasi, riset, dan kebijakan yang berpihak pada kemandirian nasional.

Dalam geopolitik kontemporer, energi bahkan menjadi alat diplomasi pertahanan. Negara-negara besar menggunakan energi untuk memperluas pengaruhnya. Rusia memanfaatkan gas, Tiongkok menguasai rantai pasok baterai dan panel surya, sementara Amerika Serikat menanamkan kekuatan melalui minyak dan teknologi shale.

Indonesia, dengan kekayaan nikel, batu bara, dan potensi energi terbarukan yang besar, sesungguhnya memiliki modal geopolitik yang setara, asal mampu mengelola sumber daya itu dengan strategi yang berpihak pada kepentingan nasional. Penguasaan rantai pasok mineral strategis bukan hanya langkah ekonomi, melainkan bentuk baru dari pertahanan semesta di ranah diplomasi global.

Kedaulatan energi tidak dapat dibangun dalam semalam. Ia memerlukan kesadaran kolektif, kebijakan jangka panjang, serta partisipasi aktif seluruh warga negara. Pendidikan bela negara perlu diperluas maknanya, mencakup pemahaman tentang pentingnya energi bersih, efisiensi penggunaan, dan kemandirian teknologi.

Menghemat listrik, memilih kendaraan listrik buatan lokal, atau mendukung energi terbarukan adalah bentuk bela negara dalam arti modern. Ketika rakyat memahami bahwa energi adalah bagian dari pertahanan, lahirlah kekuatan nasional yang sejati, kekuatan yang tidak bergantung pada bangsa lain.

Sishankamrata dan ketahanan energi sesungguhnya dua sisi dari satu mata uang. Energi memberi daya pada pertahanan, sementara pertahanan semesta menjaga keberlanjutan energi. Keduanya saling menghidupi dalam membentuk daya tahan nasional. Dalam situasi dunia yang semakin terpolarisasi, Indonesia membutuhkan paradigma baru: menjaga energi berarti menjaga negara.

Pertahanan bukan hanya soal senjata dan pasukan, melainkan soal kemampuan bangsa memastikan bahwa listrik di rumah-rumah tetap menyala, pabrik terus beroperasi, dan roda ekonomi berputar meski dunia berguncang.

Ketika seluruh rakyat menjadi bagian dari penjagaan itu, ketika energi dikelola dengan kedaulatan dan semangat semesta, maka sesungguhnya pertahanan Indonesia telah hidup, bukan di medan tempur, tetapi di setiap tetes bahan bakar, setiap sinar matahari yang diserap panel surya, dan setiap keputusan rakyatnya untuk berdiri di atas kekuatan sendiri.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation