Elegi Hamas, Gaza Plan, dan "Kematian" Solusi Dua Negara

Ronny P. Sasmita, CNBC Indonesia
05 October 2025 18:24
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita merupakan analis senior di Indonesia Strategic and Economics Action Institution... Selengkapnya
Pasukan Israel dan kelompok Hamas melakukan pertempuran jarak dekat di kota Gaza. (via REUTERS/ISRAELI ARMY HANDOUT)
Foto: Peperangan antara militer Israel dan pasukan Hamas di Gaza, beberapa waktu lalu. (via REUTERS/ISRAELI ARMY HANDOUT)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kisah Hamas bukan sekadar tentang sebuah gerakan Islam yang lahir dari perlawanan dan keputusasaan. Hamas adalah cermin dari perjalanan panjang perjuangan Palestina yang dulu menjadi simbol perlawanan antikolonial, tapi kini berubah menjadi kisah pilu akibat korupsi, perpecahan, dan kemunafikan tatanan internasional.

Dari kelahirannya di tengah Intifada pertama hingga berujung pada Gaza Plan tahun 2025 ini, perjalanan Hamas mencerminkan bagaimana agensi politik di Palestina tumbuh, lalu perlahan babak-belur.

Hamas lahir pada Desember 1987, di tengah gelombang Intifada pertama (pemberontakan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel yang sudah berlangsung dua dekade). Gerakan ini merupakan turunan langsung dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang sejak lama berfokus pada pendidikan agama dan kegiatan sosial.

Awalnya, Hamas tidak dikenal sebagai organisasi militer, melainkan jaringan sosial keagamaan yang aktif mengelola sekolah, rumah sakit, lembaga zakat, dan bantuan bagi keluarga korban konflik.

Ironisnya, di awal kemunculannya, Israel justru menoleransi kehadiran Hamas, bahkan dalam batas tertentu mendukung aktivitas Hamas. Motifnya pragmatis, melemahkan pengaruh Fatah dan PLO yang sekuler dan nasionalis.

Dengan menumbuhkan kekuatan Islamis di masyarakat, Israel berharap perlawanan Palestina terpecah dan menjadi lebih mudah dikendalikan. Perhitungan Israel kala itu mungkin berhasil untuk jangka pendek, tapi justru melahirkan kekuatan yang di kemudian hari menjadi mimpi buruk bagi Israel sendiri.
Selama dekade 1990-an, Hamas menolak arah politik yang diambil Fatah dan Yasser Arafat. Saat Fatah menandatangani Perjanjian Oslo pada 1993 dan membentuk Otoritas Palestina, Hamas menilainya sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan. Bagi Hamas, perundingan dengan Israel hanyalah penundaan bentuk baru dari penjajahan.

Namun di lapangan, Hamas tidak hanya berteriak menentang, mereka membangun, dari lembaga sosial hingga sistem bantuan bagi warga miskin di Gaza dan kamp pengungsi. Reputasi ini membuat mereka dipandang sebagai kekuatan politik yang bersih dan tulus, sementara Fatah semakin dicap korup dan elitis.

Kekecewaan rakyat terhadap Fatah makin menumpuk pada awal 2000-an. Intifada Kedua meletus, Israel menggempur kota-kota Palestina, dan kepemimpinan Fatah tampak semakin lemah dan kelelahan. Setelah kematian Yasser Arafat pada 2004, Mahmoud Abbas mencoba menghidupkan kembali diplomasi, tapi hasilnya nihil.

Permukiman Yahudi terus meluas, tembok pemisah dibangun, dan kebebasan bergerak rakyat Palestina semakin terkekang. Di tengah stagnasi tersebut, Hamas menawarkan citra baru, yakni perlawanan, kesederhanaan, dan ketegasan moral.

Pada pemilu legislatif 25 Januari 2006, Hamas maju lewat "Daftar Perubahan dan Reformasi" dan menang telak, 74 dari 132 kursi. Fatah, yang selama ini menjadi simbol perjuangan nasional Palestina, untuk pertama kalinya tumbang secara demokratis. Kemenangan tersebut adalah akumulasi dari dua hal, yakni keputusasaan rakyat terhadap elite lama, dan keyakinan bahwa Hamas bisa membawa arah baru.

Namun kemenangan tersebut justru menjadi titik balik. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Israel menolak hasil pemilu dengan alasan Hamas adalah organisasi teroris yang menolak mengakui Israel. Bantuan internasional dihentikan, dana pajak dibekukan, dan kontak diplomatik diputus. Dunia yang selama ini mengajarkan demokrasi menolak ketika demokrasi tidak menghasilkan pemenang yang mereka sukai.

Ketegangan antara Hamas dan Fatah pun pecah. Pada 2007, perang saudara singkat terjadi di Gaza. Dalam hitungan hari, Hamas berhasil mengambil alih kekuasaan, sementara Fatah melarikan diri ke Tepi Barat.

Sejak saat itu, Palestina terbelah, Gaza di bawah kendali Hamas, dan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina yang dikuasai Fatah. Perpecahan ini menjadi luka permanen yang tak kunjung sembuh, dan sejak itu pula, negara Palestina hanya ada di atas kertas.

Terisolasi secara politik dan ekonomi, Hamas mulai mencari jalan keluar melalui poros lain. Iran melihat kesempatan strategis tersebut dan menjadikan Hamas bagian dari jaringan perlawanan anti-Israel bersama Hizbullah di Lebanon. Dukungan dana, pelatihan militer, dan teknologi roket mulai mengalir.

Qatar kemudian muncul sebagai penyokong finansial dan tuan rumah politik bagi para pemimpin Hamas, sementara Turki di bawah Recep Tayyip ErdoÄŸan memberikan dukungan diplomatik secara terbuka. Perlahan tapi pasti, Hamas berpindah dari gerakan lokal menjadi bagian dari sumbu geopolitik Iran-Qatar-Turki yang menantang blok pro-Barat di Timur Tengah.

Namun aliansi ini tidak gratis. Bergantung pada dana dan logistik dari luar membuat Hamas kehilangan ruang gerak politiknya sendiri. Di Gaza, mereka menghadapi realitas berupa blokade total Israel, krisis listrik, ekonomi yang lumpuh, dan pengangguran yang tinggi. Banyak warga mulai melihat Hamas bukan lagi sebagai simbol harapan, tetapi sebagai kekuasaan yang menindas dan nyaris gagal. Sementara di Tepi Barat, Fatah pun tak lebih baik, korup, pasif, dan terlalu dekat dengan Israel.

Di tengah keputusasaan tersebut, pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan besar yang mengejutkan dunia. Ribuan roket ditembakkan ke Israel, pasukan Hamas menembus pagar perbatasan Gaza, menewaskan dan menyandera ratusan warga Israel. Serangan tersebut dianggap kegagalan intelijen terbesar dalam sejarah Israel. Untuk sesaat, Hamas tampak seperti telah membalikkan keadaan. Tapi euforia itu tidak lama. Israel membalas dengan kekuatan penuh.

Gaza berubah menjadi puing. Serangan udara dan darat selama berbulan-bulan menewaskan puluhan ribu warga sipil, menghancurkan rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi. Hamas memang masih bertahan di bawah tanah, tapi kota di atasnya lenyap.

Dunia mengutuk kekerasan, tapi tak berbuat apa-apa. Amerika Serikat memberi Israel dukungan penuh. Eropa diam. Negara-negara Arab menyesali, tapi tak bertindak. Iran dan sekutunya hanya bicara lantang tanpa turun tangan. Sekali lagi, Palestina sendirian.

Dua tahun kemudian, pada 2025, Israel bersama Amerika Serikat dan beberapa negara Arab meluncurkan Gaza Plan, sebuah proyek politik dan rekonstruksi yang diklaim sebagai solusi pascaperang. Di bawah rencana ini, Gaza akan dikelola oleh konsorsium internasional yang mencakup Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.

Hamas dikeluarkan sepenuhnya dari struktur kekuasaan. Fatah diberi peran simbolik di Tepi Barat, tapi tanpa kendali nyata. Gaza Plan dengan kata lain menandai akhir dari pemerintahan Palestina yang otonom.

Dengan hadirnya Gaza Plan, solusi dua negara resmi mati. Tidak ada lagi entitas Palestina yang benar-benar berdaulat. Gaza kini adalah wilayah administrasi internasional di bawah pengawasan Israel, sementara Tepi Barat tetap terfragmentasi dan dikontrol ketat oleh militer Israel serta Otoritas Palestina yang kehilangan legitimasi. Kedua faksi, Hamas dan Fatah, sama-sama hancur.

Tragedi ini menyingkap kemunafikan dunia. Ketika Hamas menang pemilu 2006, dunia menolak. Ketika Gaza dibom habis pada 2023, dunia kembali diam. Demokrasi hanya dihormati jika hasilnya sesuai kepentingan mereka. Hak asasi manusia hanya berlaku jika pelanggarnya bukan sekutu mereka.

Kini yang tersisa dari Palestina adalah ruang kosong tanpa arah, Gaza yang hancur dan dikendalikan dari luar, Tepi Barat yang kehilangan harapan, dan jutaan pengungsi yang hidup dalam ketidakpastian. Kebangkitan Hamas dulu pernah melambangkan harapan atas perlawanan dan keadilan. Tapi kejatuhannya menandai berakhirnya satu era, era keyakinan bahwa Palestina masih punya masa depan politik.

Dengan Gaza Plan, Palestina tak lagi menjadi subjek, melainkan objek dari kompromi geopolitik regional. Fatah tak punya pengaruh, Hamas tak punya kekuatan, dan rakyat Palestina kehilangan representasi. Bersama dua kekuatan yang lumpuh tersebut, mati pula gagasan two state solution, yang selama tiga dekade hanya menjadi jargon kosong diplomasi internasional dan disuarakan secara lantang di PBB oleh Prabowo baru-baru ini.

Pada akhirnya, kisah Hamas adalah kisah tentang dunia yang mengkhianati Palestina, bukan hanya lewat peluru dan sanksi, tetapi lewat pembiaran dan kemunafikan. Hamas adalah kisah tentang bagaimana sebuah gerakan yang lahir dari penderitaan rakyat akhirnya menjadi korban dari permainan kekuasaan global. Dan di balik reruntuhan Gaza yang sunyi, mungkin hanya tersisa satu kebenaran pahit bahwa perjuangan tanpa dunia yang peduli hanyalah jalan panjang menuju kekalahan.


(miq/miq)