Terang untuk Negeri: Urgensi Program Listrik Desa Mandiri Era Prabowo

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Peluncuran proyek 'Ekosistem Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi' di Karawang, Jawa Barat, pada 29 Juni 2025, merefleksikan komitmen nyata Indonesia dalam mempercepat pembangunan ekosistem EV nasional.
Diresmikan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, proyek ini bukan hanya soal investasi semata, tetapi adalah simbol pergeseran paradigma dari ekonomi berbasis komoditas mentah (bijih nikel) menuju ekonomi berbasis hilir, atau dalam hal ini adalah industri teknologi tinggi, yakni electric vehicle (EV).
Selama berpuluh-puluh tahun, Indonesia sangat bergantung terhadap ekspor komoditas mentah. Akibat perilaku ekonomi tersebut, Indonesia tidak merasakan apa yang disebut sebagai "added value" atau nilai tambah.
Sehingga, benefit dari nilai tambah tersebut justru dinikmati oleh negara industri yang mampu mengolah dan menjadikan komoditas mentah menjadi produk hilir seperti baterai kendaraan listrik atau bahkan komponen energi baru dan terbarukan. Dengan demikian ekosistem ini diharapkan mampu menjadi jawaban atas kerugian hilangnya potensi ekonomi nasional selama ini.
Lebih dari jawaban, ekosistem ini juga menjadi simbol percepatan Industri nasional. Proyek ini secara historis menjadi ekosistem industri baterai berbasis nikel terintegrasi pertama di dunia, melibatkan kerja sama multi-stakeholders strategis berbentuk konsorsium yang dipimpin badan usaha milik negara, yakni PT Aneka Tambang (ANTAM) dan Indonesia Battery Corporation (IBC) bekerja sama dengan perusahaan joint venture CATL, Brunp, dan Lygend.
David Ricardo, akademisi ekonom dan politik klasik Inggris mengatakan, keunggulan komparatif adalah kondisi suatu negara dapat memproduksi suatu barang dengan biaya peluang yang lebih menguntungkan. Selain itu, menurut Mantan Menteri Keuangan yang juga ekonom Chatib Basri mengatakan, integrasi global yang berhasil bagi Indonesia bergantung pada kemampuan negara untuk memanfaatkan keunggulan domestiknya, bukan sekedar membuka pasar.
Hal ini, didukung infrastruktur yang memadai dan rantai pasok nikel yang berlimpah di Indonesia. Badan Geologi Kementerian ESDM mencatat cadangan bijih nikel di tanah air mencapai 5,913 miliar ton pada 2024. Menurut Kementerian ESDM (2024), cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 40% dari total cadangan nikel dunia dan menguasai 60% total produksi nikel dunia. Proyek ini dapat memberikan kontribusi US$ 42 miliar kepada Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.
Anatomi Keunggulan Komparatif Nikel Indonesia melalui Kacamata Faktor Produksi Strategis
Keunggulan komparatif Indonesia dalam ekosistem baterai EV tidak semata-mata terletak pada abundansi Indonesia terhadap sumber daya nikelnya, melainkan pada konvergensi tiga faktor produksi strategis yang menciptakan apa yang disebut sebagai competitive advantage yang berkelanjutan.
Pertama, dari faktor letak geografisnya yang tidak dapat direplikasi. Berpacu pada temuan USGS, pada 2023 Indonesia setidaknya memiliki 15% cadangan nikel laterit dunia dengan kadar rata-rata <1.5%.
Posisi Indonesia sebagai pemegang cadangan laterit terbesar memberikan keunggulan strategis jangka panjang karena laterit diperkirakan akan menjadi sumber nikel yang dominan di masa depan, sekitar 65% dari sumber daya nikel dunia adalah laterit sementara deposit sulfida berkualitas tinggi semakin menipis.
Indonesia pada dasarnya "betting on the right horse" dengan mengembangkan kemampuan processing laterit yang efektif dan efisien ketika kompetitor global masih bergantung pada sulfida yang semakin langka dan mahal.
Kedua, optimalisasi struktur biaya berdasarkan tiga faktor utama. Keunggulan bauran input energi produksi melalui akses terhadap harga energi yang relatif terjangkau untuk operasi HPAL. Kombinasi dengan biaya tenaga kerja yang rata-rata 30%-40% lebih efisien dibandingkan negara produsen nikel lain.
Lebih dari itu, Indonesia juga menawarkan keuntungan logistik yang efisien, jarak yang pendek antara lokasi pertambangan dan smelter, serta proximity ke pasar Asia yang mengurangi biaya logistik dan degradasi kualitas secara substansial.
Ketiga, vertical integration capability di mana pengembangan smelter nikel dalam dekade menunjukkan akselerasi yang luar biasa dalam dekade terakhir. Menurut data Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), produksi nikel Indonesia melonjak dari 853.000 ton pada 2019 menjadi 2,2 juta metrik ton pada 2024, tumbuh 158% dalam lima tahun.
Sejak 2016, jumlah smelter di Indonesia telah meningkat dari 2 menjadi lebih dari 60 smelter, menjadikan Indonesia supplier dominan dengan market share 61,6% dari produksi global pada 2024, yang diproyeksikan oleh Shanghai Metal Market meningkat menjadi 63,4% pada 2025.
Nilai ekspor produk turunan nikel Indonesia juga mencapai US$ 38-40 miliar pada 2024, bullish dari US$ 11,9 miliar pada 2020. Produksi nickel pig iron (NPI) Indonesia mencapai 1,75 juta MT pada 2023, naik menjadi sekitar 1,85 juta MT pada 2024, dengan proyeksi mencapai 2 juta MT pada 2025.
Multiplier Effect dan Proyeksi Dampak Ekonomi Short-Mid Term
Analisis ekonomi terhadap proyek ekosistem baterai EV menunjukkan multiplier effect yang signifikan terhadap struktur ekonomi nasional. Melalui jumlah investasi yang mencapai US$ 5,9 miliar, proyek ini diproyeksikan menghasilkan dampak ekonomi berganda melalui backward dan forward linkages yang cukup substansial, menciptakan ripple effect ekonomi yang mencakup pengembangan industri pendukung (seperti UMKM), transfer teknologi, dan pembentukan klaster industri.
Dampak jangka pendek melalui fase konstruksi dan commissioning dari proyek ekosistem industri baterai terintegrasi akan menyerap 8.000 tenaga kerja langsung dan 35 ribu tenaga kerja tidak langsung. Proyek yang mencakup 3.023 hektare ini juga diharapkan akan bermanfaat bagi kesejahteraan penduduk lokal melalui lapangan pekerjaan baru yang diciptakan.
Subtitusi impor dari precursor materials dan komponen baterai juga diproyeksikan mampu mengurangi defisit neraca perdagangan, mengingat Indonesia saat ini masih mengimpor sebagian besar komponen baterai untuk kebutuhan domestik.
Sementara untuk dampak jangka menengahnya, operasional penuh ekosistem ini dengan kapasitas produksi 6,9 GWh yang akan ditingkatkan menjadi 15 GWh per tahun ditargetkan akan menghasilkan nilai ekspor yang substansial.
Sebagaimana Menteri Bahlil mengumpamakan untuk 15 GWh kurang lebih setara dengan 250 ribu unit baterai mobil hingga 300 ribu unit baterai mobil, pengembangan industri hilir termasuk battery recycling, energy storage systems, dan EV assembly akan menciptakan klaster industri yang memberikan nilai tambah signifikan.
"Strategic Economic Rationale" Pentingnya Positioning dalam Global Value Chain
Transformasi Indonesia dari price taker menjadi price maker dalam komoditas nikel memberikan leverage strategis dalam negosiasi rantai pasok global. Memposisikan diri dalam mengontrol 60% produksi nikel dunia, memungkinkan Indonesia untuk menerapkan strategic pricing dan larangan ekspor yang mendorong FDI ke sektor hilir domestik.
Implementasi peraturan larangan ekspor raw ore sejak 2020 telah terbukti efektif meningkatkan FDI di sektor processing terkhususnya PMA China.
Mereka telah menginvestasikan dan berkomitmen sekitar US$ 30 miliar dalam rantai pasokan nikel Indonesia, menghasilkan peningkatan produksi produk turunan nikel dari 24 ribu mt pada 2014 menjadi 636 ribu mt pada 2020. Jumlah smelter nikel operasional meningkat dari dua sebelum peraturan larangan ekspor 2014 menjadi 13 pada 2020, dengan target 30 smelter pada 2023.
Comparative advantage sustainability ini dapat dijamin oleh tiga faktor yakni:
(1) resource endowment yang tidak dapat dipindahkan,
(2) accumulated learning curve dalam teknologi processing nikel, dan
(3) kemampuan ekosistem industri yang mampu menciptakan barrier to entry bagi kompetitor potensial
Mid-long Term Economic Projection via Transformasi Struktural (Spill Over Effect Phenomenon)
Analisis kami menunjukkan bahwa pengembangan ekosistem baterai EV akan menghasilkan transformasi struktural yang signifikan terhadap komposisi ekonomi Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur diproyeksikan akan meningkat, dengan sub-sektor electrical equipment and machinery mengalami pertumbuhan yang substansial seiring dengan pengembangan industri hilir berbasis teknologi tinggi.
Fenomena spillover effects teknologi melalui transfer teknologi dari kerja sama internasional akan mengakselerasi kapabilitas inovasi domestik melalui investasi R&D yang signifikan, memperkuat kedaulatan teknologi nasional dalam teknologi baterai dan industri processing-nya. Pembentukan konsorsium dalam proyek ekosistem ini tentu akan membuka akses terhadap teknologi terdepan yang sebelumnya sulit atau terlalu mahal untuk diakses.
Lebih dari pada itu, percepatan pembangunan regional melalui klaster industri di Karawang dan Halmahera akan menciptakan aglomerasi ekonomi dengan peningkatan produktivitas yang signifikan. Pengembangan supporting industries termasuk logistik, penyediaan jasa, dan edukasi teknis akan menghasilkan multiplier pekerjaan tidak langsung yang cukup substansial, mengingat sektor baterai EV memerlukan ekosistem industri pendukung yang kompleks dan terintegrasi.
Ekosistem baterai EV ini bukan sekadar proyek industrialisasi, melainkan reorientasi strategi ekonomi nasionalis yang memposisikan bangsa Indonesia sebagai global leader dalam industri teknologi tinggi yang berkelanjutan. Konvergensi antara abundansi sumber daya, cost competitiveness, dan koordinasi kebijakan strategis menciptakan keunggulan komparatif yang berkelanjutan sehingga diharapkan mampu menjadi fondasi bagi transisi Indonesia menuju ekonomi berbasis hilir.
Momentum ini harus dimanfaatkan secara optimal untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi manufacturing hub, tetapi juga pusat inovasi yang mengontrol teknologi dan intellectual property dalam rantai pasok global. Saatnya Indonesia memanfaatkan keunggulan komparatifnya untuk mencapai transformasi struktural menuju regional economic powerhouse yang berkelanjutan.
Hilirisasi nikel melalui ekosistem baterai EV harus dipahami sebagai langkah awal dari agenda besar Indonesia dalam membangun ekonomi berbasis nilai tambah. Dari proyek ini, Indonesia telah membuktikan bahwa kekayaan sumber daya alam tidak boleh berhenti pada ekspor bahan mentah, melainkan harus dikelola untuk memperkuat posisi dalam rantai pasok global.
Ke depan, upaya yang sama pemerintah optimis mampu memperluas dan mengembangkan ke komoditas strategis lain seperti tembaga, batu bara, hingga mineral tanah. Dengan demikian, transformasi dari price taker menjadi price maker bukan hanya slogan, tetapi strategi jangka panjang untuk memastikan sumber daya alam benar-benar menghadirkan kemandirian ekonomi, daya saing, dan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.