Putusan MK Mengadang: Rangkap Jabatan Wakil Menteri Melenggang?

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan 128/PUU-XXIII/2025 telah memutuskan larangan bagi menteri/wakil menteri untuk rangkap jabatan baik dalam hal kapasitas sebagai: pejabat negara lainnya, komisaris dan direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, dan himpunan organisasi yang dibiayai oleh anggaran pendapatan belanja negara atau/dan daerah.
Sejatinya, dalam putusan tersebut selain adanya larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri, diatur pula mengenai adanya jangka waktu dua tahun bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian dan harmonisasi putusan yang berkaitan dengan aturan rangkap jabatan.
Oleh karenanya, satu spirit penting dari putusan tersebut berupa perintah konstitusional (constitutional order) dari MK kepada pemerintah untuk membuat aturan mengenai rangkap jabatan setidaknya dua tahun pascaputusan tersebut diucapkan.
Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disusun berkolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), Ombudsman RI, Lembaga Aparatur Sipil Negara (LAN), dan Kementerian BUMN.
Mengapa Rangkap Jabatan Berbahaya?
Data KPK bersama Ombudsman pada 2020 mencatat 397 komisaris BUMN dan 167 komisaris perusahaan terindikasi merangkap jabatan. Dari jumlah tersebut, 49 persen di antaranya tidak sesuai kompetensi teknis dan 32 persen berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Sementara itu, sebagaimana Putusan MK dan rekomendasi kebijakan yang disusun oleh KPK menemukan bahwa awal terjadinya korupsi adalah terjadinya benturan kepentingan akibat terjadinya rangkap jabatan publik. Hal demikian pada akhirnya bermuara pada dua kemungkinan di antaranya: konflik kepentingan antara pejabat dengan jabatan yang diembannya dan banyak di antara pejabat yang tidak sesuai dengan portofolio yang dimiliki.
Pertama, soal konflik kepentingan antara pejabat dengan jabatan yang diembannya adalah terjadinya benturan antara regulator dan operator. Bagaimana mungkin, pejabat yang mengemban sebagai regulator dan di lain sisi bisa berperan pula sebagai operator ataupun pengawas dalam beberapa kasus?
Tentu kemungkinan yang terjadi ialah tercederainya independensi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi (tusi) dari jabatan tersebut. Dalam beberapa kasus, hal ini memungkinkan dapat terjadinya penyalahgunaan jabatan akibat tidak adanya independensi tersebut.
Lebih jauh, hal demikian dapat tergolong sebagai delik tindak pidana korupsi apabila di kemudian waktu terbukti adanya kerugian negara akibat terjadinya penyalahgunaan wewenang tersebut atau terjadinya benturan kepentingan dalam proses suatu pengadaan yang melibatkan anggaran negara.
Apa Langkah Selanjutnya?
Bagi saya, kita perlu memaknai semangat dari putusan MK ini sebagai ikhtiar menciptakan pemerintahan yang bersih dan profesional. Tentu, kita perlu juga membaca putusan MK ini dilihat dengan sudut pandang yang objektif dan koheren.
Pertama, dalam amar putusan dijelaskan bahwa yang dilarang dalam adresat putusan ini ialah rangkap jabatan yang dilakukan oleh menteri dan wakil menteri bersamaan dengan jabatan lainnya seperti: komisaris/direksi BUMN, BUMD, ataupun BUMS yang terdapat penyertaan langsung dari APBN.
Tentu pemerintah perlu untuk membuat aturan sekaligus mengharmonisasikan aturan yang berkenaan tentang rangkap jabatan terhadap aturan yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga lain. Jangan sampai, aturan yang ada menimbulkan celah hukum sehingga terdapat penyimpangan hukum di kemudian waktu.
Kedua, selain mengatur jabatan menteri dan wakil menteri, dalam bagian pertimbangan hukum yang merupakan menjadi satu bagian dengan amar putusan, disebutkan pula jabatan lain selagi dengan jabatannya menimbulkan konflik kepentingan.
Artinya, apabila pemerintah ke depannya ingin membuat peraturan presiden yang berkenaan tentang rangkap jabatan, hal demikian juga berlaku terhadap jabatan yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan baik dalam perannya sebagai regulator, operator, pengawas, ataupun benturan kepentingan dalam hal pengadaan selagi berkenaan dengan APBN. Jadi, subjek dari peraturan tersebut perlu diatur secara tegas seperti menggunakan istilah 'penyelenggara negara'.
Ketiga, dalam jangka waktu dua tahun sebagaimana jangka waktu yang diminta oleh MK, menjadi penting bagi pemerintah untuk melakukan penataan ulang jabatan. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat sistem meritokrasi dan pemberian afirmasi tertentu yang diatur melalui peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi penting supaya menempatkan orang di posisi yang sebenarnya, 'the right man in the right place'.
Keempat, penting kiranya agar pengawasan dari aturan ini benar-benar dilakukan. Tentu, kita tidak ingin aturan ini menjadi seperti, 'Bagus di atas kertas, namun tidak berarti secara keberlakuan'. Artinya, perlu kiranya aturan ini dalam pelaksanaannya mendapatkan pengawasan dari lembaga yang berwenang seperti dengan memperkuat fungsi dan kelembagaan terkait seperti Ombudsman, KPK, dan BPK.
Di akhir, kita perlu memberikan apresiasi kepada MK yang telah mengeluarkan putusan yang cukup progresif. Apresiasi pula perlu kita sampaikan kepada KPK yang telah menindaklanjuti putusan MK ini dengan cermat dan tepat.
Tentu, harapan kita Putusan MK dan Rancangan Perpres nantinya tidak hanya 'bagus di atas kertas, namun tidak bermakna di lapangan'. Keterlibatan kementerian/lembaga terkait, akademisi, dan masyarakat sipil pun diperlukan guna menjamin koherensi, rasionalisasi, dan keharmonisan perihal rancangan perpres yang akan dibentuk nantinya.