Perang Thailand Vs Kamboja dan Efek terhadap Budaya ASEAN

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Perang tidak adil (unjust war) yang brutal di Palestina telah berlangsung nyaris dua tahun dengan prospek perdamaian yang masih berkabut.
Sejak gelar operasi militer Israel ke Palestina pada 31 Oktober 2023 untuk membalas serangan dan penculikan Hamas atas warga Israel, hingga September 2025 ini, 64.871 warga sipil Palestina tewas dan ratusan ribu luka-luka di Jalur Gaza. Angka ini belum termasuk 1.000 tewas akibat aksi kekerasan para pemukim dan tentara Israel di Tepi Barat, warga Palestina yang hilang, serta tentara Hamas yang tewas.
Sudah beberapa kali Komisi HAM PBB telah menyatakan apa yang dilakukan militer Israel (IDF) sebagai praktik genosida yang dilakukan atas perintah resmi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, sehingga Mahkamah Kriminal Internasional (ICJ) telah memvonisnya sebagai penjahat perang yang harus ditangkap.
Laporan-laporan terkini dari PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya telah dengan keras menyimpulkan terjadinya kelaparan di Gaza akibat blokade logistik oleh Israel. Strategi ini jelas bertentangan dengan hukum humaniter internasional, sebab warga sipil Palestina tidak semuanya bisa menjadi kombatan yang sewaktu-waktu mudah berubah menjadi gerilyawan Hamas.
Aksi genosida kini terang-terangan dilancarkan Netanyahu sebagai agenda jangka panjang untuk mendukung politik zionismenya, tanpa peduli pada kritik dan tekanan masyarakat internasional. Sidang-sidang PBB kini tidak sungkan untuk menyatakan kepada dunia bahwa langkah Israel sebagai genosida bangsa Palestina.
Bagaimanakah Indonesia, sebagai bagian dari komunitas internasional aktif, bersikap dan merefleksikan dua tahun pendudukan Israel atas Gaza?
Gerakan yang pasif
Indonesia menempuh cara yang berbeda dalam merespons situasi genting ini. Di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, demonstrasi beruntun dan masif muncul di kampus-kampus dan jalan-jalan utama dalam menentang sikap Israel.
Demonstrasi di kampus-kampus tua dan utama seperti Universitas Harvard dan Universitas Columbia di AS atau kampus Science Politique Sorbonne di Prancis, berkembang amat luas memengaruhi masyarakat akademik internasional. Di Inggris dan AS, demonstrasi ini seringkali berujung kekerasan dan direpresi oleh pemerintah.
Dalam konteks dalam negeri kita, reaksi pemerintah RI dan masyarakat sipilnya dalam mendukung Palestina justru menunjukkan tanda-tanda melemah. Sikap ini sebagiannya berhubungan dengan langkah negara-negara Arab yang juga mengendur setelah menandatangani kesepakatan Abraham Accord, yang diinisiasi oleh AS untuk mengendalikan Timur Tengah dari konflik.
Sementara ormas Islam besar seperti Nahdlatul Ulama justru tampak kehilangan fokus tanpa kerangka programatik dukungan yang sistematis atas Palestina. Kelompok politik formal berhaluan Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera juga belum tampak menginisiasi gerakan besar dukungan Palestina.
Aksi-aksi demonstrasi dan protes menurun dalam frekuensi dan jumlah massa yang hadir, sehingga tidak berhasil menyumbang tekanan politik dan eksposur internasional. Padahal, tekanan massa ini sangat penting untuk menunjukkan kuat dan luasnya perlawanan terhadap zionisme Israel.
Gerakan Kaukus Parlemen Indonesia untuk Palestina pun hampir tidak terdengar lagi gaungnya, sejak terakhir menggaungkan semangat anti-zionisme satu dekade lalu. Di tataran masyarakat sipil, kampanye boikot bisnis pro-Israel yang ditengarai telah digunakan untuk membiayai agresi IDF, dilakukan secara tidak solid dan konsisten. Gerai-gerai toko dan kafe mereka ramai kembali dikunjungi seolah tidak ada persoalan dengan penderitaan rakyat Palestina.
Meski pemerintah tak tinggal diam dengan mengirim bantuan kemanusiaan sebagaimana yang dilakukan TNI, secara formal kita masih memerlukan deklarasi yang lebih tegas secara langsung dari pemerintahan Prabowo Subianto kepada rezim Netanyahu. Seruan kepada Israel agar tidak menutup akses bantuan kemanusiaan seharusnya juga disampaikan Presiden Prabowo sebelum bencana kelaparan dan malnutrisi melanda warga Palestina.
Ketika ketegangan geopolitik justru meningkat akibat serangan agresif Israel yang melebar ke Iran dan Qatar, Indonesia gagal memanfaatkan momentum dengan lebih terlibat dalam menekan pemerintah Israel.
Kita memerlukan referensi gerakan serupa yang secara serius mulai dikerjakan oleh masyarakat dan para pemimpin dunia di negara-negara Barat. Setelah Prancis yang semakin kukuh dengan dukungannya, Inggris dan Jerman-dua negara yang dikenal suportif atas Israel-kini mulai sering mengeluarkan kecaman anti-Israel dalam pelbagai pertemuan internasional.
Meski perlahan, ketiga negara utama Uni Eropa tersebut sekarang bergabung dengan Spanyol, Portugal, Swedia, Belgia dan Norwegia, yang telah lebih dulu mengakui negara Palestina. Desakan ini juga bermaksud menantang dominasi AS sebagai pendukung utama Israel, apalagi setelah Donald Trump berencana membangun ulang Jalur Gaza sebagai pariwisata Riviera baru yang eksklusif dan menguntungkan, alih-alih menyelesaikan akar konflik di sana.
Keterlibatan Indonesia yang pasif ini harus diubah, terutama setelah rencana pemerintah Israel untuk segera melakukan aneksasi dan okupasi wilayah Palestina sebagai tahap akhir agresi militer. Invasi maksimum telah dilancarkan pada tahap aneksasi terakhir di Kota Gaza, dengan pengerahan tank dan arsenal mekanik berat, setelah invasi militer masif yang meluluhlantakan Rafah dan Khan Younis dan menghancurkan warga mereka.
Rencana dan aksi pencaplokan wilayah untuk mencegah kemerdekaan Palestina ini harus segera direspons secara internasional. Indonesia, yang menentang penjajahan sebagai satu prinsip absolut dan konstitusi, berkewajiban untuk terlibat aktif dalam upaya perlawanan anti-kolonial sebagaimana dipraktikkan oleh Israel.