Diaspora 2045: Tak Perlu Pulang untuk Membangun Negara

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi: Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan. Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik.
Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi. Di sini, kami ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman.
Adapun episode ke-9 ini kami beri judul: "Rendang Globalis: Sebuah Khutbah Kuliner". Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.
---
Saudara-saudara sekalian, mari kita merenung sejenak tentang sesuatu yang tampak sederhana, namun menyimpan rahasia dunia: rendang. Rendang lahir di tungku kayu rumah gadang, tapi ia segera melampaui dapur. Ia adalah anak sulung globalisasi.
Di saat zaman berbicara tentang beratnya tantangan globalisasi bagi negara berkembang sering berarti pasar bebas tanpa jiwa, utang lintas negara, tenaga kerja yang terjebak kontrak murah. Globalisasi hari ini terasa dingin, tanpa aroma, Rendang bercerita hal lain.
"Untuk memahami bagaimana rendang menjadi simbol globalisasi yang bermakna, kita perlu menelusuri jejak rempah-rempah yang membentuknya, jejak yang melintasi samudra dan menyatukan dunia dalam satu piring."
Rendang menerima dunia: Dari Amerika Latin, Portugis membawa cabe merah, api kecil yang kini membakar lidah kita. Dari India datang jintan, ketumbar, dan kapulaga, menambah harum setiap suapan. Dari Sri Lanka datang kayu manis dan dari Maluku ada cengkih, menambahkan wangi perdagangan dan doa. Dari Eropa datang kapal, membawa bumbu lintas samudra.
Rendang mengolah dunia: Ia dimasak perlahan, tidah bisa cepat-cepat, disatukan dengan santan dan falsafah Minang. Dan rendang menaklukkan dunia dan kini ia disebut sebagai makanan terenak di dunia, tapi tetap berakar pada nagari.
Pasti tak pernah terpikirkan oleh nenek moyang kita dahulu bahwa rendang akan seperti ini, yang teringat hanya wajah anak yang mungkin menahan lapar di rantau, dan rindu dengan wajah Bundonya ketika makan rendang. Rendang adalah globalisasi yang bermakna, bukan globalisasi yang menghapus makna.
"Di balik kelezatannya, rendang bukan hanya hasil dari perpaduan rempah dan teknik memasak. Ia adalah cerminan nilai-nilai hidup yang diam-diam mengajarkan kita tentang bagaimana menghadapi dunia yang serba cepat dan tak menentu."
Saudara-saudaraku, merendang, mengajarkan kita tiga hal, yakni: Kesabaran. Ia dimasak perlahan, berjam-jam, hingga bumbu meresap dan warna berubah pekat.
Begitulah hidup: kelezatan lahir dari kesabaran menanggung panas api. Hal yang cepat didapatkan akan cepat dilupakan, tapi rendang tak bisa begitu, kita harus menunggu. Ekonomi modern memuja efisiensi, rendang memuja perlambatan: semakin lama, semakin nikmat.
Yang kedua adalah Ketahanan. Rendang bisa dibawa jauh: dari Bukittinggi ke Malaka, dari rantau ke Mekah. Ia adalah bekal perantau. Seperti pesan kehidupan: bahwa iman, adat, dan makna harus dibawa, kemanapun kaki melangkah. Inilah arti ekonomi sejati: bukan sekadar tumbuh cepat, tapi bertahan lama.
Yang ketiga, Rendang mengajari kita globalisasi yang berakar. Rendang menerima dunia, tapi tidak kehilangan jiwanya. Ia menyerap cabe Portugis, Rempah India, Wangi Arab, lalu menjadikannya Minang sejati. Beginilah seharusnya kita menyambut dunia: bukan dengan menyerah, tapi dengan mengolah.
Maka, saudara-saudaraku, jika hari ini dunia modern membawa kita pada arus globalisasi tanpa jiwa, belajarlah dari rendang: terima dunia, tapi masaklah ia dengan akar budaya, dengan kesabaran, dan dengan doa.
Awas Pecah Santan
Di dalam dapur, ada pantangan untuk rendang, api tidak boleh terlalu besar. Nenek berkata, "awas Buyung, kalau kau biarkan api itu besar, kita akan pecah santan". Kalau api terlalu besar, santan pecah: minyak keluar terlalu cepat, daging jadi terendam minyak, bukan berselimut bumbu. Hasilnya bukan rendang, tapi daging berminyak yang tak tahan lama. Maka orang Minang selalu sabar: api kecil, aduk perlahan, biar santan berubah pelan jadi rendang.
Begitu juga dengan dunia. Globalisasi yang dipaksakan cepat, pasar dibuka mendadak, modal asing masuk deras, hutang digelontorkan tanpa persiapan, hasilnya bukan rendang globalis, melainkan "minyak santan", banyak tumpahan, sedikit makna, rendah nilainya. Yang terjadi justru krisis, ketimpangan, masyarakat kehilangan akar.
Padahal globalisasi sejati, seperti rendang, harus slow-cook dengan api kecil: kebijakan sabar, gradual, sesuai konteks local. Aduk perlahan, di mana partisipasi masyarakat terjadi dan semua tercampur rata, dan elakkan pecah santan dengan jangan terburu-buru dan jangan terjebak euforia modernisasi.
Ironi Anak Sulung Globalisasi
Tapi, saudara-saudaraku, inilah ironi zaman. Rendang yang dulu lahir sebagai anak sulung globalisasi, kini justru jadi yatim piatu oleh globalisasi itu sendiri. Kelapa, yang dulu tumbuh berlimpah di halaman rumah, kini tiba-tiba jadi barang mewah.
Santan yang seharusnya menetes di tungku dapur, sekarang dikapalkan ke negeri jauh demi devisa karena mulai tinggi nilainya. Terpantau industri olahan mulai kekurangan bahan baku dan beberapa rumah makan berkurang jumlah dedag rendangnya, ketika ditanya, dijawabnya: "karambia sarik uda" (kelapa susah uda).
Globalisasi yang dulu membawa cabai Portugis, jintan India, cengkih Maluku, kini membawa kabar: kelapa kita raib di pelabuhan ekspor. Maka apa yang tersisa untuk Rendang? Ia adalah hasil globalisasi, diminta menjadi simbol kebanggaan dunia, tapi bahan dasarnya makin hilang dari tanah bundonya sendiri.
Tentunya bukan ini yang kita inginkan. Janganlah globalisasi mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Semoga para pemangku kebijakan peduli pada kami para penggemar rendang.
Akhir kata, rendang bukan hanya makanan. Ia adalah khutbah dari dapur, nyanyian dari tungku kayu, dan kitab yang dibacakan lewat rasa. Dan siapa yang memakannya dengan sadar, sesungguhnya ia sedang menyantap sejarah dunia, sekaligus doa dari nenek moyang.