Menakar Urgensitas Pembentukan Badan Ekonomi Syariah

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Wakaf merupakan salah satu instrumen ekonomi Islam yang memiliki sejarah panjang dan kontribusi nyata dalam peradaban umat. Di masa lalu, wakaf tidak hanya sebatas pembangunan masjid atau madrasah, tetapi juga menopang layanan publik seperti rumah sakit, pasar, hingga saluran air. Dengan prinsip keabadian harta dan manfaat berkelanjutan, wakaf menjadi instrumen filantropi yang mampu mendukung pembangunan sosial-ekonomi secara luas.
Namun, di Indonesia, potensi wakaf yang besar masih belum termanfaatkan secara optimal. Data dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) menyebutkan bahwa nilai potensi wakaf uang di Indonesia mencapai lebih dari Rp 180 triliun per tahun, sementara nilai aset wakaf berupa tanah mencapai ratusan ribu hektare.
Sayangnya, pemanfaatannya sebagian besar masih bersifat konsumtif-tradisional, seperti pembangunan masjid, musala, atau makam, dan belum sepenuhnya digerakkan untuk kegiatan produktif yang menghasilkan manfaat ekonomi jangka panjang. Di sisi lain, instrumen keuangan syariah terus berkembang. Salah satunya adalah sukuk, surat berharga syariah negara yang telah menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional.
Seiring berkembangnya kebutuhan inovasi, lahirlah gagasan sukuk linked wakaf (SLW), yakni instrumen sukuk yang dikaitkan dengan aset wakaf. Instrumen ini diharapkan menjadi terobosan dalam mengoptimalkan aset wakaf produktif, menghubungkan dunia filantropi Islam dengan pasar keuangan modern.
Tulisan ini akan membahas secara komprehensif tentang konsep sukuk linked wakaf, potensi implementasinya di Indonesia, tantangan yang dihadapi, serta peluang besar yang bisa diambil untuk optimalisasi aset wakaf produktif.
Wakaf sebagai Instrumen Ekonomi Sosial
Dalam sejarah Islam, wakaf telah menjadi pilar utama pembangunan. Rasulullah SAW sendiri menganjurkan umat untuk mewakafkan sebagian hartanya sebagai amal jariyah. Khalifah Umar bin Khattab pernah mewakafkan kebunnya di Khaibar, sementara sahabat-sahabat lainnya mengikuti dengan mewakafkan tanah, sumur, atau kebun. Wakaf pada masa itu tidak hanya bersifat ibadah, tetapi juga menjadi fondasi ekonomi sosial umat.
Prinsip dasar wakaf adalah menahan pokok harta (al-habsu) dan mengalirkan manfaatnya (tasbil al-manfa'ah) untuk kepentingan umat. Dengan demikian, aset wakaf tidak boleh dijual atau diwariskan, tetapi hasil pengelolaannya bisa dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki potensi wakaf yang sangat besar. Menurut BWI, terdapat lebih dari 400 ribu hektare tanah wakaf yang tersebar di berbagai daerah, dengan jumlah titik mencapai lebih dari 430 ribu lokasi.
Namun, sekitar 70% dari aset tanah wakaf tersebut masih digunakan untuk fungsi konsumtif, seperti tempat ibadah atau makam. Hanya sebagian kecil yang dikelola secara produktif, misalnya untuk pertanian, rumah sakit, atau usaha komersial.
Selain wakaf tanah, wakaf uang juga menjadi peluang besar. Survei BWI bersama Bank Indonesia pada 2020 memperkirakan potensi wakaf uang mencapai Rp180 triliun per tahun. Namun, realisasinya baru menyentuh angka miliaran rupiah, jauh dari potensi yang ada. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa perlu adanya instrumen baru yang mampu menghubungkan filantropi Islam dengan sistem keuangan modern agar wakaf benar-benar optimal.
Sukuk sebagai Instrumen Keuangan Syariah
Sukuk sering disebut sebagai obligasi syariah. Namun, berbeda dengan obligasi konvensional yang berbasis bunga, sukuk menggunakan akad syariah seperti ijarah (sewa), musyarakah (kerjasama), atau mudharabah (bagi hasil). Sukuk merepresentasikan kepemilikan terhadap aset atau proyek yang dibiayai, bukan sekadar surat utang.
Di Indonesia, sukuk negara telah menjadi salah satu instrumen penting dalam pembiayaan pembangunan. Sejak pertama kali diterbitkan pada 2008, sukuk telah membiayai berbagai proyek infrastruktur, mulai dari jalan tol, jembatan, hingga pembangkit listrik. Menurut Kementerian Keuangan, outstanding sukuk negara per 2025 sudah mencapai ribuan triliun rupiah, menunjukkan kepercayaan pasar terhadap instrumen ini.
Seiring perkembangan, sukuk juga mengalami diversifikasi. Ada sukuk ritel untuk masyarakat umum, sukuk hijau (green sukuk) untuk proyek ramah lingkungan, hingga sukuk diaspora untuk warga negara Indonesia di luar negeri. Masing-masing jenis sukuk memiliki tujuan spesifik yang sesuai dengan kebutuhan pembiayaan.
Di tengah perkembangan ini, muncul gagasan sukuk linked wakaf (SLW), yaitu menghubungkan keuangan syariah dengan filantropi Islam. Instrumen ini menjadi jembatan antara wakaf sebagai aset sosial dan sukuk sebagai instrumen pasar.
Konsep Sukuk Linked Wakaf
Sukuk linked wakaf (SLW) adalah instrumen keuangan syariah yang mengintegrasikan wakaf ke dalam struktur sukuk. Dengan kata lain, penerbitan sukuk dikaitkan dengan aset wakaf sebagai underlying asset atau sebagai tujuan pemanfaatan. Skemanya dapat bervariasi, namun pada intinya, sukuk ini memungkinkan dana dari investor dipadukan dengan dana wakaf untuk membiayai proyek produktif.
Secara sederhana, skema SLW dapat berjalan sebagai berikut. Pertama, investor membeli sukuk linked wakaf. Kedua, dana hasil penerbitan sukuk digunakan untuk membiayai proyek produktif, misalnya pembangunan rumah sakit, sekolah, atau perumahan murah di atas tanah wakaf. Ketiga, nazhir wakaf (pengelola wakaf) bekerja sama dengan pemerintah atau lembaga keuangan dalam mengelola proyek.
Keempat, keuntungan proyek digunakan untuk membayar imbal hasil kepada investor sukuk sekaligus memberikan manfaat sosial dari aset wakaf. Kelima, setelah jatuh tempo, dana pokok sukuk dikembalikan kepada investor, sementara aset wakaf tetap menjadi milik umat. Dengan model ini, wakaf tidak hanya berfungsi sosial, tetapi juga dapat dikapitalisasi melalui instrumen pasar yang sah secara syariah.
Potensi Sukuk Linked Wakaf di Indonesia
Banyak aset wakaf di Indonesia yang belum termanfaatkan secara optimal. Misalnya, tanah wakaf di lokasi strategis sering hanya digunakan untuk bangunan kecil atau bahkan dibiarkan kosong. Dengan SLW, tanah tersebut bisa dijadikan underlying asset untuk proyek produktif, seperti pusat kesehatan, sekolah, atau properti komersial, yang hasilnya tetap digunakan untuk kepentingan umat.
SLW dapat diarahkan untuk pembiayaan proyek sosial, misalnya pembangunan rumah sakit berbasis wakaf yang memberikan layanan kesehatan murah atau gratis untuk fakir miskin. Dengan dukungan sukuk, pembiayaan proyek ini tidak lagi bergantung pada donasi semata, tetapi bisa memanfaatkan instrumen pasar yang lebih terukur.
Investor yang membeli SLW bukan hanya mendapatkan keuntungan finansial, tetapi juga pahala karena turut mendukung pengembangan wakaf. Hal ini bisa menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi masyarakat muslim kelas menengah yang semakin sadar pentingnya investasi halal sekaligus beramal.
Sukuk linked wakaf juga relevan dengan agenda pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Misalnya, proyek kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur sosial yang dibiayai dengan SLW dapat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, peningkatan kesehatan, dan pendidikan berkualitas.
Perbedaan dengan Cash Waqf Linked Sukuk
Meskipun sama-sama menghubungkan wakaf dengan instrumen sukuk, Sukuk Linked Wakaf (SLW) dan Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) memiliki perbedaan penting, baik dari sisi struktur maupun mekanisme pemanfaatannya.
Perbedaan pertama dari sumber dana. Sumber dana CWLS berasal dari wakaf uang (cash waqf) yang disalurkan oleh wakif melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Dana wakaf ini kemudian digunakan pemerintah untuk membeli sukuk negara. Sedangkan SLW, sumber dana berasal dari investor sukuk pada umumnya, tetapi penerbitannya dikaitkan dengan aset wakaf (misalnya tanah wakaf) sebagai underlying asset atau tujuan proyek yang dibiayai.
Perbedaan kedua dari posisi wakaf. Pada CWLS, wakaf uang menjadi sumber pembiayaan untuk membeli sukuk. Imbal hasil dari sukuk kemudian disalurkan untuk program sosial sesuai peruntukan wakaf. Sedangkan pada SLW, aset wakaf (tanah atau aset lain) menjadi bagian dari struktur proyek yang dibiayai oleh sukuk, sehingga manfaat sosial berasal dari proyek di atas aset wakaf tersebut.
Perbedaan ketiga dari orientasi pemanfaatannya. CWLS lebih menekankan pada pemanfaatan imbal hasil sukuk untuk program sosial, sehingga fokusnya ada di aliran manfaat ke umat. Sedangkan, SLW lebih menekankan pada optimalisasi aset wakaf produktif melalui skema investasi pasar modal, sehingga manfaatnya berupa proyek nyata sekaligus keberlanjutan ekonomi.
Dengan kata lain, CWLS berfokus pada pemanfaatan dana wakaf uang untuk membeli sukuk negara, sedangkan SLW berfokus pada pemanfaatan aset wakaf sebagai basis proyek yang dibiayai melalui sukuk. Keduanya saling melengkapi dalam ekosistem pengembangan wakaf produktif di Indonesia.
Tantangan Implementasi Sukuk Linked Wakaf
Meski potensinya besar, implementasi SLW tidak lepas dari tantangan. Tantangan pertama ialah regulasi yang kompleks. Sukuk berada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan dan OJK, sementara wakaf diatur oleh BWI dan Kementerian Agama.
Integrasi regulasi antara keduanya tidak sederhana. Diperlukan payung hukum yang jelas agar SLW dapat berjalan tanpa menimbulkan sengketa. Langkah alternatif dapat dilakukan dengan menggandeng pihak swasta sebagai penerbit sukuk.
Tantangan kedua ialah kapasitas nazhir wakaf. Banyak nazhir di Indonesia masih dikelola secara tradisional dengan kapasitas manajerial terbatas. Untuk mengelola proyek berskala besar melalui SLW, dibutuhkan nazhir profesional yang memahami manajemen aset, keuangan syariah, dan investasi.
Tantangan ketiga ialah kepercayaan publik. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa dana yang disalurkan melalui SLW benar-benar aman dan bermanfaat. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik.
Tantangan terakhir terkait dengan infrastruktur pasar. Pengembangan SLW membutuhkan infrastruktur pasar keuangan syariah yang matang, termasuk lembaga pemeringkat syariah, auditor independen, dan sistem distribusi yang efisien.
Belajar dari Praktik Global
Salah satu negara yang berhasil mengimplementasikan konsep ini adalah Singapura, yang dikenal memiliki aset wakaf yang dikelola secara megah sekaligus produktif. Contoh nyata adalah Apartemen Somerset yang berlokasi di 51 Bencoolen Street, kawasan bisnis strategis di jantung Singapura.
Awalnya, lahan wakaf di lokasi tersebut hanya dimanfaatkan untuk pembangunan sebuah masjid bersejarah. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid itu direnovasi, sementara lahan yang tersisa dikembangkan menjadi aset wakaf produktif.
Pada tahun 2001, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) - lembaga yang berfungsi mirip dengan MUI di Indonesia - menjalin kerja sama dengan Warees Investment. Melalui kemitraan ini, MUIS menerbitkan sukuk guna membiayai pembangunan masjid sekaligus fasilitas komersial lainnya.
Bangunan yang berdiri di atas lahan tersebut kemudian disewakan kepada Ascott International untuk dikelola secara profesional. Hasil pendapatan sewa dibagikan kepada para investor, dan setelah masa sewa berakhir, pengelolaan aset kembali ke tangan Warees.
Keuntungan yang diperoleh dari skema ini selanjutnya digunakan untuk mendanai berbagai kepentingan umat, antara lain membantu fakir miskin, mendukung operasional madrasah, memelihara masjid, serta membiayai kebutuhan sosial lainnya.
Apartemen Somerset sendiri memiliki 107 unit kamar dan telah memberikan kontribusi signifikan bagi kesejahteraan masyarakat Muslim di Singapura. Selain proyek ini, Warees Investment juga mengelola sejumlah aset wakaf produktif lain, seperti gedung perkantoran dan klaster perumahan.
Pengalaman Singapura ini memperlihatkan bahwa integrasi antara instrumen pasar keuangan dan pengelolaan wakaf sangat mungkin dilakukan, asalkan ditopang oleh regulasi yang kuat serta lembaga profesional yang mampu mengelolanya dengan baik.
Strategi Optimalisasi Sukuk Linked Wakaf di Indonesia
Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan agar SLW benar-benar optimal dalam mendukung aset wakaf produktif. Pertama, pemerintah perlu memperkuat regulasi. Pemerintah perlu membuat kerangka hukum yang jelas untuk SLW, termasuk peran masing-masing lembaga (Kemenkeu, OJK, BWI, Kemenag) agar tidak tumpang tindih.
Strategi kedua ialah meningkatkan kualitas dan profesionalitas nazhir. Program pelatihan dan sertifikasi nazhir sangat penting agar mereka mampu mengelola aset wakaf berskala besar dan bersifat komersial. Strategi ketiga ialah kolaborasi multi pihak. Implementasi SLW memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan syariah, BWI, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil. Kolaborasi ini bisa memperkuat ekosistem SLW.
Keempat ialah edukasi dan sosialisasi publik. Sosialisasi mengenai manfaat SLW harus gencar dilakukan, baik melalui media massa maupun lembaga keuangan syariah, agar masyarakat memahami sekaligus tertarik berinvestasi.
Prospek Masa Depan
Ke depan, SLW berpotensi menjadi salah satu inovasi keuangan syariah unggulan Indonesia. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar, kesadaran berwakaf yang meningkat, serta ekosistem keuangan syariah yang berkembang, Indonesia bisa menjadi pionir dalam pengembangan SLW di dunia.
Jika dikelola dengan baik, SLW bisa menjadi solusi win-win yaitu investor mendapatkan imbal hasil halal, aset wakaf menjadi produktif, masyarakat memperoleh manfaat sosial, dan negara mendapat dukungan pembiayaan pembangunan.
Wakaf dan sukuk sejatinya memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan manfaat berkelanjutan untuk masyarakat. Wakaf menekankan aspek filantropi dan spiritual, sementara sukuk menghadirkan aspek profesionalisme dan keteraturan pasar. Integrasi keduanya melalui sukuk linked wakaf membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengoptimalkan aset wakaf produktif.
Namun, potensi ini hanya bisa diwujudkan jika ada sinergi kuat antara regulasi, lembaga pengelola, investor, dan masyarakat. Dengan pengelolaan profesional dan transparan, SLW dapat menjadi instrumen strategis dalam mendorong pembangunan sosial-ekonomi, sekaligus menghidupkan kembali tradisi wakaf sebagai pilar peradaban umat.