Alarm Berbunyi: Kebijakan Harus Menyentuh Dapur Rumah Tangga Rakyat

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Saat oposisi tak lagi bisa diandalkan di parlemen; saat ormas keagamaan memilih mendekat ke penguasa; saat beberapa organisasi mahasiswa rentan diintervensi senior mereka di partai; saat banyak rektor dan sivitas kampus tak lagi independen digembosi kekuasaan; saat para hero aktivis 1998 tak lagi lantang bersuara, mungkin satu-satunya pilihan penyalur aspirasi kita hanya ada pada pundak anak-anak STM, SMK, kaum pelajar SMA, dan beberapa mahasiswa yang masih mempertahankan idealismenya. Juga para kaum marjinal kota: tukang ojek, guru honorer, buruh pabrik, dan kaum rentan lainnya.
Utamanya anak STM, terlepas dari stigma tawuran yang melekat di diri mereka, kemunculan anak-anak muda itu di garda terdepan di beberapa momen aksi harus kita apresiasi. Kesadaran politik dan pendidikan politik mereka, mau tidak mau terbentuk di ruang aspirasi jalanan seperti itu.
Tentu ini akan menjadi modal berharga bagi tumbuh kembang pendidikan politik mereka di masa yang akan datang. Juga perjalanan demokrasi kita agar semakin matang. Anak-anak muda itu akan belajar banyak bahwa sistem demokrasi yang kita adopsi perlu penyeimbang. Dan mereka sadar, merekalah salah satu aktor yang diharapkan sebagai penyeimbang di masa yang akan datang. Di kala semua bungkam, anak-anak muda itu tampil paling depan.
Kaum muda terpelajar yang terlibat dalam massa aksi, secara implisit memang telah mendobrak praktek feodal yang masih bertahan dalam budaya kita. Feodalisme yang menuntut kepatuhan rakyat pada yang berkuasa, serta feodalisme yang memelihara tradisi kolot bahwa penyampaian kritik dan perlawanan anak-anak muda pada orang-orang yang berumur di atasnya sebagai sebuah anomali.
Kita selalu diajarkan sopan santun dan tidak melawan orang yang lebih tua di antara kita, bagaimana pun bobroknya mereka. Makanya kritisisme publik tidak berkembang sebab kita selalu dituntut diam dan tak bicara.
Ketakutan untuk bersuara telah diinstalasi sejak kita kecil. Sialnya, kita juga dihadapkan pada budaya "tak enakan" untuk bersuara ketika ketidakberesan terjadi tepat di depan mata kita. Inferioritas selalu membayang-bayangi cara kita berinteraksi dengan aktor yang lebih tinggi di atas kita, baik karena jabatan, status, maupun usia.
Makanya di banyak tempat dan institusi, kita banyak menemukan kondisi di mana bawahan tak berani bersuara saat atasan mereka bertindak di luar batas hukum. Dan kita sering segan mengingatkan, saat para tetua kita, melakukan pelanggaran. Kita hanya terbiasa diam. Sejak kecil memang kita tidak dilatih untuk mengucap, kita tidak terbiasa untuk melawan.
Budaya kritik dan keterbukaan mengekspresikan suara terhalang oleh sekat-sekat feodal dalam pola asuh dan alam pendidikan kita. Imbasnya, demokrasi kita tak pernah berkembang. Demokrasi kita lebih menghargai sopan santun atau diam. Termasuk diam saat melihat kesewenang-wenangan dan pelanggaran.
Hierarki dalam struktur masyarakat feodal telah menjadikan kita budak-budak yang terbiasa penurut. Wajar, demokrasi kita tak pernah beranjak dan tak berjalan maksimal. Bersuara segan, mengkritik tak mampu.
Namun, sekali lagi, kemunculan kaum muda terpelajar di banyak gelombang aksi, sedikit demi sedikit telah memberikan kita harapan segar bahwa generasi muda baru pemberani telah lahir dan akan lebih mewarnai ruang demokrasi di masa depan. Nyali untuk bersuara dan keberanian untuk menyatakan yang benar itu benar dan salah itu salah dipastikan akan terus bergema di masa mendatang.
Anak-anak muda tersebut kini akan menjadi tumpuan terakhir agar simpul demokrasi kita terus bergairah dan tak malah berhenti berfungsi dan impoten, yang membeku mewujud dalam demokrasi semu tiada arti. Demokrasi yang hanya melaksanakan ritual pemilu lima tahun sekali tapi kerap melahirkan nol-oposisi. Yang imbasnya amat tidak main-main: sistem perwakilan dan tugas pengawasan tidak berjalan maksimal.
Dalam beberapa dinamika politik di beberapa periode ke belakang, memang itu realita yang terjadi. Riuh debat tak lagi terdengar di ruang-ruang rapat parlemen. Komposisi parlemen diisi oleh mereka-mereka yang bertarung sengit dalam pemilu namun mesra menyusun undang-undang sesuai selera bersama.
Selera yang faktanya jauh dari kebutuhan publik. Eksistensi oposisi sering dihindari, partai lebih suka koalisi. Dalihnya selalu sama, "membangun bangsa bersama-sama". Petaka demokrasi dimulai dari pemaknaan dan pengaplikasian salah tentang nilai gotong-royong seperti itu.
Sialnya, elemen-elemen sipil di luar parlemen juga telah dibuat bisu melalui berbagai pembungkaman halus: diberi tambang dan kursi jabatan, atau diangkat sebagai komisaris. Rakyat benar-benar sendiri dan tak ada yang mewakili.
Padahal inti berdemokrasi menuntut hadirnya oposisi. Entitas ini penting dan harus ada. Tanpa oposisi, itu otokrasi bukan demokrasi, di mana kekuasaan berpotensi berjalan ugal-ugalan. Keberadaan oposisi penting untuk mengingatkan penguasa melalui cara-cara institusional. Namun saat elemen demokrasi seperti itu tak berfungsi, wajar, bila logika yang menuntut kritik dalam harmoni, akhirnya bubar, digantikan dengan mekanisme yang lebih vulgar: perlawanan jalanan.
Dan elemen jalanan yang tak pernah gentar menyuarakan aspirasi kita, tentu anak-anak SMK, STM, pelajar SMA, mahasiswa-mahasiswa tercerahkan, serta tukang ojek, guru honorer, dan buruh pabrik. Selain kepada mereka, kepada siapa lagi kita berharap aspirasi kita bisa disampaikan?