Anggaran Pendidikan Naik, Masalah Kesejahteraan Pendidik Bisa Selesai?

Kurniawan Budi Irianto, CNBC Indonesia
28 August 2025 17:20
Kurniawan Budi Irianto
Kurniawan Budi Irianto
Kurniawan Budi Irianto, Pejabat pengawas pada Kementerian Keuangan. Menulis untuk mengisi waktu luang. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari tempat penulis bekerja... Selengkapnya
Infografis, Selamat Hari Guru, Gaji Honorer Masih Mengenaskan
Foto: Ilustrasi guru. (CNBC Indonesia/Edward Ricardo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2026 sebesar Rp757,8 triliun, naik 9,8 persen dibanding outlook tahun 2025 yang mencapai Rp690 triliun. Alokasi untuk tenaga pendidik mencapai Rp274,7 triliun dari alokasi anggaran pendidikan tahun depan.

Besarnya anggaran yang diberikan bagi tenaga pendidik menghadirkan harapan baru khususnya ketika menjawab permasalahan kesejahteraan guru dan dosen. Sebuah pertanyaan mendasar pun muncul apakah alokasi anggaran tersebut mampu menyelesaikan persoalan mendasar berupa kesejahteraan pendidik?

Secara detail, kenaikan alokasi anggaran pendidikan mencakup berbagai tunjangan profesi dan gaji pendidik. Pemerintah mengalokasikan Rp19,2 triliun untuk Tunjangan Profesi Guru (TPG) non-PNS yang menyasar 754.747 guru, Rp3,2 triliun untuk Tunjangan Profesi Dosen non-PNS bagi 80.325 dosen, serta Rp69 triliun untuk TPG ASN Daerah yang menjangkau 1,6 juta guru. Selain itu masih tersedia alokasi Rp120,3 triliun untuk TPG PNS, tunjangan tambahan, serta gaji pendidik.

Dari sudut pandang fiskal, angka ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan tenaga pendidik. Guru dengan status PNS dan PPPK dapat dipastikan mendapatkan dampak positifnya atas kebijakan ini. Selain berstatus ASN, masih terdapat guru non-ASN yang mungkin dampak finansial yang diterima tidak sebesar guru PNS atau PPPK.

Isu kesejahteraan guru sangat erat kaitannya dengan status kepegawaian. Guru berstatus PNS memiliki kepastian gaji pokok, tunjangan, dan akses karier yang relatif jelas. Guru berstatus PPPK meski tidak sepenuhnya sama dengan PNS masih mendapatkan benefit yang serupa. Sebaliknya guru non-ASN atau honorer mungkin masih banyak yang mendapatkan penghasilan di bawah standar kebutuhan hidup layak.

Meskipun pemerintah melalui UU ASN telah menutup ruang untuk rekrutmen honorer baru, diperkirakan keberadaan guru honorer tidak serta-merta akan hilang. Sekurang-kurangnya terdapat penyebab mengapa guru honorer akan terus ada.

Penyebab pertama berkaitan dengan tingginya jumlah lulusan kependidikan yang masuk ke pasar kerja, sementara kesempatan menjadi ASN terbatas. Dengan kata lain, suka atau tidak suka fenomena guru honorer akan terus ada.

Adapun penyebab kedua adalah proyeksi akan berulangnya kebijakan pemerintah dalam menuntaskan permasalahan honorer sebagaimana yang terjadi saat ini. Saat ini proses penuntasan status kepegawaian guru honorer dilakukan dengan alih status secara otomatis hampir tanpa ada hambatan. Hal ini tentu akan menjadi daya tarik tersendiri yang diharapkan akan berulang di masa yang akan datang.

Masalah kesejahteraan guru tidak hanya persoalan nominal anggaran, melainkan juga soal ketidakseimbangan antara supply and demand tenaga pendidik. Merujuk pada data di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) menunjukkan, saat ini terdapat sekitar 2,25 juta mahasiswa kependidikan atau 22,56% dari total seluruh mahasiswa Indonesia.

Selain itu, jumlah program studi (prodi) kependidikan saat ini mencapai 6.933 atau 20,41% dari seluruh prodi di tanah air. Baik dari sisi jumlah mahasiswa maupun prodi, kependidikan menempati urutan pertama di seluruh perguruan tinggi mulai dari Sabang sampai Merauke.

Jumlah yang sangat besar ini otomatis menghasilkan lulusan yang berlimpah setiap tahunnya. Meskipun mayoritas alumni kependidikan berkeinginan untuk menjadi guru, ironisnya lapangan kerja sebagai guru tidak bertambah seiring laju kelulusan.

Bahkan, profesi guru kini juga bisa diisi lulusan non-kependidikan melalui jalur Pendidikan Profesi Guru (PPG). Akibatnya persaingan untuk menjadi guru semakin ketat, sementara tidak semua lulusan berhasil mendapatkan status sebagai PNS atau PPPK. Bagi yang tersisih, pada titik inilah muncul pilihan menjadi honorer dengan gaji minimalis.

Di masa depan, kebutuhan guru diperkirakan semakin mengecil. Terdapat dua faktor utama penyebab terjadinya hal ini. Pertama berkaitan dengan masa kerja guru ASN yang berdurasi waktu jangka panjang. Begitu satu formasi guru PNS atau PPPK terisi, posisi itu tidak akan terbuka kembali hingga guru tersebut memasuki usia pensiun. Artinya lowongan guru ASN tidak bisa bertambah cepat seiring banyaknya lulusan baru.

Kedua berkaitan dengan jumlah peserta didik di Indonesia mengalami tren penurunan akibat berkurangnya angka kelahiran. Data menunjukkan bahwa Total Fertility Rate (TFR) Indonesia pada 1971 mencapai 5,61 anak per keluarga, namun pada 2020 hanya 2,18 anak.

Proyeksi ke depan diperkirakan angka kelahiran akan semakin mengecil. Hal ini didukung data bahwa jumlah pencatatan pernikahan pada tahun 2024 mencapai angka terendah yaitu 1,48 juta pernikahan. Sebuah nilai terendah dibandingkan pada tahun 2018 yang pernah mencapai di atas 2 juta pencatatan pernikahan. Selain faktor berkurangnya pernikahan, penundaan usia menikah juga akan mempengaruhi jumlah peserta didik di Indonesia.

Indikasi ini sudah terlihat dari sejumlah sekolah yang mengalami kekurangan murid, terutama di daerah dengan pertumbuhan penduduk rendah. Jika jumlah murid terus menurun, maka kebutuhan guru juga otomatis berkurang.

Kedua faktor tersebut membuat surplus lulusan kependidikan semakin tak terserap. Hasilnya, banyak lulusan harus rela masuk ke pasar kerja sebagai honorer dengan penghasilan minim atau bahkan beralih profesi ke bidang yang tidak sesuai dengan latar belakang studinya.

Dengan kondisi di atas, kenaikan alokasi anggaran pendidikan hanya akan berdampak sebagian. Guru PNS dan PPPK jelas mendapatkan manfaat berupa peningkatan penghasilan. Bagi guru honorer dan calon lulusan kependidikan, kenaikan anggaran tidak serta-merta membawa perubahan berarti. Bahkan masalah kesejahteraan semakin kompleks jika jumlah lulusan terus bertambah sedangkan kebutuhan guru stagnan atau berkurang.

Inilah paradoks yang harus dihadapi anggaran pendidikan meningkat, tetapi kesejahteraan tenaga pendidik tidak merata. Kenaikan anggaran memang perlu, tetapi tanpa pembenahan ekosistem pendidikan, masalah kesejahteraan guru akan tetap menjadi isu laten dan berulang.

Untuk benar-benar menyelesaikan masalah kesejahteraan pendidik, kebijakan anggaran harus diiringi dengan langkah struktural yang lebih komprehensif. Pemerintah perlu lebih selektif dalam memberi izin pembukaan prodi kependidikan.

Selama ini prodi kependidikan sering dianggap sebagai pusat pendapatan atau revenue center bagi perguruan tinggi. Padahal jumlah prodi seharusnya selaras dengan kebutuhan guru di lapangan bukan sekadar untuk mengejar pemasukan bagi perguruan tinggi.

Selain permasalahan perizinan, mahasiswa kependidikan perlu dibekali kompetensi tambahan agar mau bekerja di sektor non-guru. Dengan demikian lapangan kerja menjadi lebih luas dan tidak terjebak hanya pada satu profesi.

Proses seleksi guru juga perlu dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan tenaga terbaik melalui mekanisme yang fair dan transparan. Bagi guru yang lolos seleksi harus mendapatkan penghargaan berupa penghasilan layak serta kesempatan mengembangkan karier. Hal ini penting agar profesi guru tetap menarik bagi generasi muda terbaik dan tidak dianggap sebagai pekerjaan dengan tingkat kesejahteraan rendah.

Kenaikan anggaran pendidikan 2026 sebesar Rp757,8 triliun memang menghadirkan harapan baru khususnya bagi pendidik dengan status PNS dan PPPK. Namun kenaikan anggaran bukanlah solusi tunggal bagi permasalahan kesejahteraan guru di Indonesia. Tanpa langkah serius mulai dari penataan jumlah prodi kependidikan hingga akurasi dalam distribusi guru sesuai kebutuhan, maka isu kesejahteraan akan terus berulang setiap tahun.

Yang dibutuhkan bukan sekadar angka triliunan dalam APBN, tetapi juga keberanian untuk membangun ekosistem pendidikan yang sehat, seimbang, dan berkelanjutan. Hanya dengan cara tersebut penyelesaian masalah kesejahteraan dapat dituntaskan secara komprehensif bukan hanya parsial sebagaimana yang terjadi saat ini.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation