Menelisik Rencana Belanja Pertahanan Prabowo Tahun Fiskal 2026

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kereta Cepat Whoosh seharusnya membawa Indonesia ke masa depan. Nyatanya, ia hanya membawa miliaran dolar AS utang dan gerbong yang setengah kosong.
Apa yang dimulai sebagai proyek senilai US$ 6 miliar (Rp 97,67 triliun) melonjak jadi US$ 7,3 miliar (Rp 118,83 triliun). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kini terjerat lebih dari US$ 5 miliar (Rp 81,39 triliun) pinjaman, sebagian besar dari China Development Bank.
Pemerintah dulu berjanji proyek ini bakal "balik modal." Target penumpang katanya 16 juta orang per tahun. Realitanya? Setengah saja tidak sampai.
Berdasarkan data KCIC, jumlah penumpang Kereta Cepat Whoosh hingga akhir Juni 2025 mencapai 2.936.599 penumpang telah dilayani, meningkat sekitar 10% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 2.668.894 penumpang. Sementara per 2024, Whoosh melaporkan melayani 6,06 juta penumpang.
Kerugian sudah triliunan rupiah, dan tagihannya pelan-pelan disodorkan ke rakyat pembayar pajak. Ini malinvestment dalam bentuk paling murni. Uang tidak mengalir ke mana rakyat inginkan, melainkan ke mana politisi merasa tampak megah. Kredit murah dari China dan jaminan negara membuat proyek ini terlihat "untung."
Hayek pasti tertawa: pasar tidak pernah meminta kereta cepat Jakarta-Bandung, tapi para perencana tetap membangunnya. Kini sinyal harga sudah jelas: angka merah, tahun demi tahun. Dan yang lebih parah: Whoosh hanyalah babak pembuka.
Utang publik diproyeksikan menembus 40% dari PDB pada 2025, naik dari sekitar 30% hanya setahun lalu. Pemerintahan baru berencana menambah pinjaman Rp775 triliun lagi untuk program mercusuar dan proyek kesayangan.
Mereka bilang, "tenang saja, masih di bawah rata- rata global." Itu bahasa pecandu yang sedang mencari alasan untuk dosis berikutnya. Utang tidak menciptakan kemakmuran. Utang hanya menciptakan ilusi.
Ia membangun kereta menuju entah ke mana dan stasiun yang tidak pernah diminta rakyat. Ia menyedot modal dari pengusaha yang seharusnya bisa menciptakan nilai nyata. Alih-alih pasar, kita dapat monumen. Alih-alih laba, kita dapat subsidi.
Faktanya sederhana: Whoosh tak akan balik modal dalam 40 tahun. Pada saat itu, keretanya berkarat, relnya aus, dan putaran utang baru sudah menanti. Ini bukan
pembangunan. Ini teater utang.
Indonesia punya dua pilihan: terus berpura-pura bahwa uang pinjaman membangun kesejahteraan, atau bangun dari mimpi. Pasar - bukan birokrat, bukan Beijing, bukan perencana di Jakarta - yang tahu di mana modal seharusnya ditempatkan.
Abaikan itu, dan Whoosh akan dikenang bukan sebagai kemajuan, tapi sebagai peringatan.