Subsidi Mengalir tapi Ekonomi tak Begerak & Fiskal di Ujung Tanduk

Kuntjoro Pinardi, CNBC Indonesia
14 August 2025 06:45
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kebijakan Pembelajaran Individu untuk Generasi Emas Indonesia. Alumni Program Habibi.. Selengkapnya
Warga antre untuk membeli gas LPG 3 kg di salah satu pangkalan, Depok, Jawa Barat, Selasa (4/2/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Warga antre untuk membeli LPG 3 kg di salah satu pangkalan di Depok, Jawa Barat, Selasa (4/2/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Subsidi energi telah lama menjadi penyangga daya beli masyarakat Indonesia. Subsidi tersebut menjaga harga bahan bakar dan listrik tetap terjangkau, menahan inflasi, dan meredam gejolak sosial.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total anggaran subsidi dan kompensasi sektor energi yang disiapkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 adalah Rp 394,3 triliun. Nilai tersebut meningkat dibandingkan realisasi subsidi dan kompensasi energi pada tahun 2024 sebesar Rp 386,9 triliun.

Perincian anggaran subsidi energi dalam APBN 2025 itu terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) Rp 26,7 triliun dari tahun sebelumnya Rp 21,6 triliun, subsidi LPG 3 kg Rp 87 triliun dari sebelumnya Rp 80,2 triliun, dan subsidi listrik Rp 89,7 triliun, dari sebelumnya Rp 75,7 triliun. Sementara itu, untuk kompensasi Rp 190,9 triliun dari sebelumnya Rp 209,3 triliun.

Namun, ketika aliran subsidi energi hanya berhenti di konsumsi, tanpa memicu aktivitas produktif, Ia berubah menjadi beban fiskal permanen yang menggerogoti ruang anggaran dari tahun ke tahun. Fenomena ini ibarat menyalakan keran air untuk mengisi bak yang bocor: dana terus mengalir, tetapi manfaatnya cepat hilang.

Lapangan kerja baru tidak tumbuh signifikan, produktivitas sektor riil stagnan, dan perekonomian berjalan tanpa percepatan. Pada akhirnya, APBN harus menanggung biaya besar tanpa mendapatkan imbal hasil yang sepadan.

Seiring gejolak harga komoditas dan potensi pelemahan penerimaan pajak, beban subsidi energi yang tidak produktif akan mempersempit ruang fiskal untuk belanja prioritas. Infrastruktur, pendidikan, dan riset, fondasi pertumbuhan jangka panjang, terancam terdesak oleh kebutuhan membayar subsidi yang tak kunjung menumbuhkan ekonomi.

Pengalaman negara-negara sahabat Indonesia seperti India dan Malaysia menunjukkan jalan keluar. Mereka mengubah subsidi energi menjadi motor pertumbuhan melalui penargetan yang presisi, integrasi dengan program pemberdayaan ekonomi, dan pemantauan yang ketat.

Saat ini, teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) memberi peluang yang lebih besar: memetakan kebutuhan secara tepat, mengidentifikasi penerima yang benar-benar layak, dan mengevaluasi dampak secara real-time.

Dengan memadukan teknologi cerdas dan empati untuk negeri, subsidi energi dapat bertransformasi dari beban tetap menjadi investasi yang menumbuhkan ekonomi, mengurangi kesenjangan, dan memperkuat ketahanan fiskal.

Pertanyaannya: apakah kita akan terus membiarkan subsidi energi mengalir tanpa arah atau menggunakannya untuk mengairi lahan produktif demi masa depan bangsa?


(miq/miq)