Eksistensi KPK & Agenda Pemberantasan Korupsi Presiden Prabowo

Nicholas Martua Siagian, S.H., CNBC Indonesia
01 August 2025 05:20
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian mendalami keilmuan di bidang Hukum Administrasi Negara, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, Inovasi, dan Perbaikan Sistem. Nicholas merupakan salah seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghar.. Selengkapnya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

"Kita harus menghadapi kenyataan bahwa masih terlalu banyak kebocoran, penyelewengan, korupsi di negara kita. Ini adalah yang membahayakan masa depan kita dan masa depan anak-anak kita dan cucu-cucu kita. Kita harus berani mengakui terlalu banyak kebocoran-kebocoran dari anggaran kita, penyimpangan-penyimpangan, kolusi di antara para pejabat politik, pejabat pemerintah di semua tingkatan, di semua tingkatan dengan pengusaha-pengusaha yang nakal, pengusaha-pengusaha yang tidak patriotik. Janganlah kita takut untuk melihat realita ini."

Bagi saya pribadi, kalimat ini merupakan pamungkas dari Pidato Presiden Prabowo Subianto saat Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih pada 20 Oktober 2024 di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Terlihat animo dari presiden untuk keluar dari permasalahan korupsi yang sistemik di Indonesia. Secara tersirat, amanat dari pidato itu juga tidak lepas dari pengaruh keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini menjadi ikon pemberantasan korupsi.

Garangnya KPK membasmi koruptor tak jarang membuat penyelenggara negara mulai dari tingkat desa hingga pusat takut jika berhubungan dengan KPK, bahkan dalam hal koordinasi dan kerja sama sekalipun "seringkali membuat para penyelenggara negara takut jika KPK datang." Tidak akan mungkin KPK yang pada saat itu begitu garang melakukan upaya pemberantasan korupsi tanpa adanya dukungan kewenangan melalui undang-undang, bukan?

Kegarangan KPK sejatinya merupakan konsekuensi logis dari desain kelembagaan yang memperoleh legitimasi kuat melalui jaminan undang-undang. Independensi KPK bukan sekadar atribut formal, melainkan fondasi tata kelola institusional yang memungkinkan lembaga ini menjalankan mandatnya tanpa intervensi. Kenyataan ini sekaligus menegaskan bahwa efektivitas setiap lembaga negara sangat ditentukan oleh kemampuannya menjaga marwah dan eksistensi kelembagaannya.

Tanpa konsistensi dalam melindungi otonomi kelembagaan, maka fungsi pengawasan dan penegakan hukum akan tereduksi menjadi formalitas belaka. Oleh karena itu, penguatan eksistensi KPK harus dipandang sebagai investasi strategis dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, berintegritas, dan berorientasi pada kepentingan publik.

Gagasan ala Presiden
Baru-baru ini, Presiden Prabowo mengusung sejumlah gagasan menarik untuk memberantas korupsi di Indonesia. Salah satu yang menyita perhatian publik adalah rencananya membangun penjara khusus bagi koruptor di pulau terpencil. Ide ini tentu menggugah imajinasi publik, yaitu mengasingkan para pencuri uang rakyat di tempat terpencil demi menciptakan efek jera yang lebih besar.

Gagasan penjara di pulau terpencil memang memancing diskusi publik yang luas. Di satu sisi, itu menunjukkan keberpihakan terhadap ketegasan dalam menangani kejahatan korupsi. Dalam konteks di mana korupsi telah menjadi penyakit akut di berbagai sektor pemerintahan dan pelayanan publik, pendekatan simbolik semacam ini bisa menumbuhkan harapan baru.

Namun, perlu dicatat bahwa efek jera tidak hanya lahir dari tempat tahanan yang menyeramkan atau terisolasi, melainkan dari kepastian hukum, integritas proses hukum, dan keadilan yang tidak pandang bulu. Dalam banyak kasus, koruptor justru menikmati vonis ringan, remisi berlebihan, hingga fasilitas mewah di dalam tahanan. Tanpa pembenahan sistemik, membangun penjara di pulau terpencil bisa saja hanya menjadi kosmetik hukum.

Salah satu tantangan terbesar dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia adalah persoalan politisasi penegakan hukum yang kerap menimbulkan persepsi ketidakadilan di tengah masyarakat.

Dalam konteks inilah KPK dituntut untuk membuktikan kapasitasnya sebagai lembaga independen yang bekerja secara objektif, profesional, dan bebas dari intervensi kepentingan politik. Penindakan perkara korupsi harus dilakukan berdasarkan bukti hukum yang kuat dan standar prosedur yang terukur, bukan karena tekanan opini publik atau target kelompok tertentu.

Lebih jauh, sangat penting bagi KPK untuk memastikan bahwa proses penegakan hukum tidak lagi menimbulkan kesan tebang pilih-bahwa lembaga ini hanya berani menyasar pihak-pihak yang lemah atau lawan politik, sementara aktor besar dengan kekuasaan dan pengaruh justru dibiarkan tak tersentuh.

Jika praktik diskriminasi semacam ini dapat dihindari, KPK akan mampu memulihkan kepercayaan publik dan mengembalikan makna pemberantasan korupsi sebagai instrumen penegakan hukum yang berkeadilan dan tidak pandang bulu.

Perbaikan Kelembagaan
Baik-buruknya kinerja suatu lembaga negara pada akhirnya sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintah dan DPR memperlakukan lembaga tersebut melalui rancangan regulasi dan desain kelembagaannya.

Semakin besar kewenangan yang diberikan melalui undang-undang, semakin efektif lembaga tersebut dalam mencapai tujuan awal pembentukannya. Sebaliknya, ketika kewenangannya justru dipangkas, maka secara perlahan daya dobraknya akan melemah dan kepercayaan publik pun tergerus.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, kegagahan KPK harus dikembalikan sebagaimana mandat awalnya. KPK bukanlah sekadar institusi edukasi yang sibuk menunjukkan eksistensi melalui program pendidikan antikorupsi semata, melainkan garda terdepan penegakan hukum.

Jika orientasinya hanya dibiarkan terbatas pada kegiatan sosialisasi dan pendidikan, maka keberadaan KPK kehilangan makna strategisnya. Dalam logika kelembagaan, apabila peran KPK terus direduksi seperti ini, lebih baik pemerintah secara terbuka mengalihfungsikannya menjadi semacam Kementerian Pemberantasan Korupsi di bawah eksekutif-bukan lagi sebagai komisi independen.

Indonesia tidak akan pernah mampu keluar dari jerat korupsi jika instrumen paling efektif seperti Operasi Tangkap Tangan (OTT) semakin dilemahkan. Justru semakin banyak OTT yang dilakukan KPK, semakin terbuka peluang negara untuk membersihkan diri dari 'hama pembangunan.' Dari situlah efek jera tumbuh, rasa takut untuk melakukan korupsi menguat, dan program pendidikan antikorupsi dapat berjalan secara alami karena didukung ketegasan penegakan hukum.

Dinamika Politik Hukum
Tidak lama setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), saya pernah menyampaikan pandangan kritis bahwa regulasi baru ini, dari sisi terminologi dan konstruksi hukum, mengandung perubahan paradigma terkait modal BUMN yang berpotensi melemahkan fungsi pengawasan negara. Perubahan mendasar tersebut adalah dihapusnya frasa "yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan."

Konsekuensi dari penghapusan frasa tersebut tidak sekadar bersifat semantik. Pada tataran normatif, penghapusan itu berimplikasi pada terjadinya disharmoni dengan berbagai regulasi lain yang sudah ada, antara lain Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, serta Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketidaksinkronan ini berpotensi memunculkan tafsir ganda, termasuk dalam hal mendefinisikan kerugian negara. Akibatnya, ruang lingkup yang selama ini dapat diaudit oleh lembaga pemeriksa keuangan negara menjadi kabur, begitu pula dengan kewenangan lembaga penegak hukum dalam mengusut dugaan tindak pidana korupsi.

Dengan semakin kaburnya batas antara tindakan bisnis yang sah (business judgment rule) dan perbuatan yang terindikasi korupsi, tantangan penegakan hukum pun bertambah kompleks. Penegak hukum akan menghadapi kesulitan untuk membedakan antara risiko bisnis yang wajar dengan tindakan manipulatif yang merugikan negara.

Dalam konteks BUMN, situasi ini berpotensi menimbulkan stagnasi penanganan kasus: dugaan korupsi berhenti di tahap klarifikasi tanpa kejelasan tindak lanjut, sehingga memperpanjang daftar kasus yang tidak terselesaikan. Pertanyaan yang patut diajukan adalah: di tengah perubahan lanskap regulasi ini, sejauh mana KPK masih dapat menjalankan mandat pemberantasan korupsi secara efektif?

Di luar itu, persoalan lain yang tidak kalah strategis adalah tantangan penanganan kasus korupsi di lingkungan militer. Pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XXI/2023 yang merevisi Pasal 42 UU KPK, diharapkan terdapat kejelasan dasar hukum yang lebih kuat bagi KPK dalam menangani dugaan tindak pidana korupsi di tubuh militer.

Namun, implementasinya tetap memerlukan konsistensi politik hukum dan dukungan kelembagaan agar tidak berhenti pada norma, tetapi benar-benar menjadi instrumen efektif pemberantasan korupsi di sektor pertahanan. Artinya, pemberantasan korupsi tidak pandang bulu, tidak pandang dia siapa, dia apa dan, dia bagaimana. Selama mengambil uang rakyat dan merugikan negara, maka harus dilakukan penegakan hukum.

Memastikan
Oleh karena itu, Presiden Prabowo perlu memastikan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) benar-benar memiliki independensi dan kapasitas yang memadai untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi tanpa terpengaruh tekanan politik. Tanpa jaminan independensi tersebut, agenda pemberantasan korupsi justru akan terhambat dan kehilangan arah.

Salah satu agenda utama Asta Cita yang digaungkan pemerintahan Presiden Prabowo adalah memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih melalui pemberantasan korupsi secara menyeluruh. Dalam konteks itu, publik kini menantikan gebrakan nyata yang bukan hanya bersifat simbolik, melainkan langkah-langkah strategis dan terukur.

Apakah Presiden Prabowo akan mengambil inisiatif untuk mengembalikan kekuatan KPK sebagai ujung tombak penegakan hukum yang independen? Apakah beliau berani mendorong revisi regulasi yang selama ini justru melemahkan posisi KPK, sehingga lembaga ini kembali memiliki daya gigit yang efektif dalam membongkar praktik korupsi kelas kakap?

Atau setidaknya, apakah beliau akan menciptakan iklim politik yang kondusif, di mana kerja-kerja pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara konsisten, bebas dari intervensi kepentingan kekuasaan dan kelompok tertentu, serta berorientasi penuh pada kepentingan bangsa dan kesejahteraan rakyat?


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation