Menutup Celah Penerima Bansos Terafiliasi Judi Online

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Beberapa waktu lalu, PPATK melempar kebijakan baru: rekening bank yang tidak aktif selama tiga bulan akan dibekukan sementara. Alasannya? Mencegah penyalahgunaan oleh pelaku kejahatan.
Terdengar masuk akal. Tapi kalau kita tarik napas sebentar dan berpikir lebih dalam, langkah ini menyimpan masalah besar-dan dari kacamata ekonomi pasar bebas, ini bukan hanya salah arah, tapi juga berpotensi mengguncang fondasi sistem keuangan kita sendiri.
Di dunia nyata, uang yang "diam" di rekening bukanlah masalah. Itu bisa jadi tabungan darurat, dana pensiun, atau sekadar hasil kerja keras yang belum tahu mau diapakan.
Dan itu sah-sah saja. Tidak semua orang ingin uangnya terus bergerak. Dalam ekonomi pasar, keputusan untuk menunda konsumsi adalah bagian dari kebebasan individu. Bahkan, dalam teori ekonomi klasik sekalipun-apalagi yang condong ke Mazhab Austria-tabungan justru adalah fondasi dari investasi. Bukan kebocoran, melainkan bahan bakar pertumbuhan jangka panjang.
Tapi dengan kebijakan ini, negara seperti ingin berkata: "Kalau kamu diam saja, kami curiga." Ini bukan sekadar regulasi. Ini bentuk tekanan moral terselubung yang seolah mengatakan bahwa uang yang tidak diputar adalah kesalahan.
Negara mulai menaruh syarat di atas hak milik. Dan di titik itulah, banyak orang mulai merasa: kalau uang saya bisa dibekukan hanya karena saya tak menggunakannya, apakah ini masih benar-benar milik saya?
Kita jangan naif. Sentimen semacam ini bisa menular. Orang bisa mulai menarik dananya. Memindahkan ke luar negeri. Atau menyimpannya di rumah. Ketakutan adalah mata uang yang jauh lebih cepat menyebar ketimbang informasi resmi.
Jika cukup banyak orang merasa sistem perbankan tak lagi netral, maka gelombang kecil bisa berubah jadi tsunami. Dalam sejarah ekonomi Indonesia-dan negara mana pun-krisis kepercayaan terhadap sistem perbankan hampir selalu berujung buruk.
Bank bisa punya CAR 25% dan LDR yang kelihatan sehat. Tapi kalau besok pagi ada antrean orang menarik uang karena takut rekeningnya dibekukan, tidak ada angka-angka itu yang bisa menyelamatkan mereka. Sistem bank sangat bergantung pada satu hal: kepercayaan. Begitu itu goyah, rasionalitas hilang. Dan itulah yang seharusnya dihindari.
Masalah lainnya adalah sinyal kepada investor. Kalau otoritas keuangan bisa mengutak-atik rekening pribadi dengan alasan tidak aktif, bagaimana investor asing bisa merasa aman memarkir dananya di sini? Modal bukanlah entitas yang tunduk pada nasionalisme.
Ia akan mengalir ke tempat yang menghargai kepemilikan, kepastian hukum, dan kebebasan transaksi. Negara yang terlalu gampang mengintervensi rekening bank akan kesulitan meyakinkan dunia bahwa mereka tempat yang ramah untuk investasi jangka panjang.
Ini bukan soal membela uang diam atau tidak diam. Ini soal prinsip dasar: bahwa dalam masyarakat bebas, negara tak berhak menentukan bagaimana dan kapan seseorang menggunakan uangnya. Tugas negara adalah melindungi hak milik, bukan memaksakan cara penggunaannya.
Jika tujuannya adalah mencegah penyalahgunaan rekening, lakukan pendekatan berbasis analisis risiko. Perketat pengawasan pada transaksi mencurigakan. Tapi jangan libas semua rekening dorman seperti membakar ladang demi membunuh tikus. Setiap orang punya alasan menyimpan uang. Dan kita tidak sedang hidup di negara yang bisa menentukan validitas alasan pribadi warga negara tanpa dasar yang sangat kuat.
Sudah saatnya kita kembali pada kebijakan yang menghormati hak milik dan keputusan individual. Bukan dengan menyebar rasa curiga, tapi dengan memperkuat fondasi kepercayaan. Karena tanpa itu, sistem keuangan yang kita banggakan hanya akan jadi gedung indah yang dibangun di atas pasir basah.
Uang memang bisa berpindah tempat. Tapi kepercayaan? Sekali hilang, sulit kembali. PPATK dan pemerintah harus memahami ini sebelum keputusan ini berkembang menjadi krisis yang mereka sendiri tidak siap menanggungnya.