African Gas Renaissance dan Peluang Strategis Indonesia

Feiral Rizky Batubara, CNBC Indonesia
31 July 2025 13:39
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan P.. Selengkapnya
Infografis: Sakakemang Calon Blok Gas Raksasa RI
Foto: Ilustrasi gas. (Arie Pratama/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Gelombang baru produksi gas alam cair (LNG) dari pesisir timur dan selatan Afrika, khususnya Mozambik, Tanzania, dan Namibia, sedang menyusun ulang peta energi dunia. Di tengah dominasi Amerika Serikat dan Timur Tengah, ketiga negara Afrika ini menawarkan suplai alternatif yang diperkirakan mencapai hampir 20 juta ton per tahun sebelum 2030.

Dalam konteks meningkatnya ketergantungan energi bersih dan risiko geopolitik di kawasan Teluk, jalur suplai lintas ekuator melalui Samudra Hindia kian strategis bagi negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Mozambik menjadi episentrum kebangkitan ini. Setelah sempat tertunda karena gangguan keamanan, proyek darat Mozambik LNG senilai 20 miliar dolar AS yang dikelola TotalEnergies dijadwalkan kembali aktif pada pertengahan 2025. Proyek ini akan memproduksi 13,1 juta ton LNG per tahun dari dua lini produksi, menjadikannya salah satu penghasil LNG terbesar di dunia.

Di sisi lain, fasilitas terapung Coral South yang dioperasikan oleh Eni telah mengirimkan kargo ke-100 pada April 2025. Hal ini merupakan sebuah pembuktian bahwa Afrika bukan lagi sekadar prospek, melainkan pemain aktif dalam perdagangan gas global.

Tanzania menyusul dengan momentum positif. Setelah belasan tahun negosiasi, pemerintah dan konsorsium Equinor-Shell akhirnya menandatangani Host Government Agreement pada 2024 untuk membuka jalan keputusan investasi akhir proyek LNG di Lindi. Proyek senilai 30 miliar dolar AS hingga 42 miliar dolar AS ini menawarkan peluang besar berkat stabilitas politik di bawah Presiden Samia Suluhu Hassan serta kerangka perpajakan yang semakin transparan.

Sementara itu, Namibia menjadi "kuda hitam" melalui temuan besar Mopane dan Venus di Cekungan Orange. Meski belum memiliki infrastruktur LNG, Namibia mengandalkan reputasi stabilitas makro, tata kelola yang baik di Afrika Sub-Sahara, serta komitmen kuat pada hilirisasi dan teknologi LNG modular. Kombinasi inilah yang menarik minat investor global.

Lalu, apa implikasinya bagi Indonesia?
Sejak tahun 2022, Indonesia berubah status dari eksportir menjadi importir bersih LNG, imbas menurunnya produksi dari Mahakam dan Tangguh. Dalam kondisi ini, trio Afrika menawarkan lima manfaat konkret.

Pertama, diversifikasi pasokan. Kontrak jangka menengah dari Coral South atau Tanzania memungkinkan Indonesia mengurangi ketergantungan pada kargo dari Teluk atau trader Singapura, sekaligus mengurangi risiko logistik di Selat Hormuz dan kanal Panama.

Kedua, efisiensi biaya angkut. Jarak pengiriman dari Pemba atau Maputo ke Sumatra hanya separuh dari rute LNG Amerika ke Jawa Timur. Dengan tarif sewa kapal LNG tri-fuel sebesar 174 ribu meter kubik, penghematan dapat mencapai 0,5 dolar AS per MMBtu, kondisi ini menunjukkan nilai signifikan di tengah fluktuasi harga spot global.

Ketiga, kesesuaian profil musim. Puncak pengiriman LNG dari belahan bumi selatan biasanya terjadi di awal tahun, bertepatan dengan musim kemarau di Indonesia saat pasokan listrik tenaga air melemah. Pola ini ideal untuk menopang permintaan PLN dalam mengelola peaker plant.

Keempat, kolaborasi industri maritim dan hilir. Posisi strategis Mozambik dan Tanzania di Samudra Hindia membuka peluang kerja sama antara pelayaran nasional seperti Pertamina International Shipping dan pengembang LNG modular. Bahkan, pengalaman Indonesia dalam metanol, DME, dan pupuk dapat diekspor sebagai jasa teknis ke Namibia.

Kelima, perlindungan harga. LNG terapung memungkinkan negosiasi formula harga berbasis indeks JKM dengan diskon jarak, memberikan keleluasaan dibanding indeks berbasis minyak mentah dari Timur Tengah yang cenderung lebih rigid.

Langkah konkret yang bisa ditempuh mencakup penandatanganan Heads of Agreement non-binding dengan Coral South untuk slot kargo 2026-2030, serta investasi minoritas melalui Indonesia Investment Authority pada lini ketiga proyek Mozambique atau modul LNG Namibia.

Diplomasi energi selatan-selatan juga perlu diperkuat melalui Indian Ocean LNG Corridor yang dapat menjadi forum negara-negara ekuator untuk menyepakati standar pelayaran, skema pembiayaan rendah karbon, dan protokol keamanan energi.

Sayangnya, potensi ini hanya bisa direalisasikan bila ada keberanian dari pemerintah dan BUMN untuk melihat gas Afrika sebagai peluang, bukan kompetitor. Belajar dari keberhasilan reformasi proyek LNG global, Indonesia juga perlu memperkuat dasar hukumnya.

Saat ini, ketentuan mengenai kerja sama energi lintas negara diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan diperkuat oleh UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2017 tentang Kebijakan Energi Nasional. Namun untuk merespons dinamika baru, diperlukan revisi atau penyusunan Perpres atau Permen ESDM yang lebih responsif terhadap peluang geopolitik LNG.

Gas Afrika bukanlah ancaman bagi transisi energi, melainkan batu loncatan yang realistis menuju sistem ketenagalistrikan rendah karbon di Asia Tenggara. Menyambut peluang ini berarti memperkuat ketahanan energi nasional, menekan biaya energi, dan memperluas diplomasi energi lintas samudra.

Jika pemerintah, BUMN, dan pelaku usaha dapat menyambut momen ini dengan kebijakan yang adaptif dan tindakan konkret, Indonesia akan berada di jalur yang tepat untuk memetik dividen strategis dari bangkitnya LNG Afrika sebelum dekade ini berakhir.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation