Mencermati Tawaran Putin untuk Pengembangan Energi Nuklir di Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dalam lanskap energi global yang sedang bertransformasi menuju rendah karbon, smelter tidak lagi sekadar fasilitas industri. Ia telah menjelma menjadi arena geopolitik baru. Jika dekade sebelumnya perebutan pengaruh terjadi di ladang minyak dan selat strategis, kini kontestasi justru berpusat pada siapa yang mengendalikan proses pemurnian mineral kritis seperti nikel, kobalt, lithium, dan tanah jarang, yang merupakan bahan baku utama bagi kendaraan listrik, panel surya, hingga turbin angin.
Nilai bijih mineral bisa melambung hingga sepuluh kali lipat ketika diolah menjadi prekursor baterai, katalis, atau logam murni. Negara yang menguasai tahap hilir ini tidak hanya mengendalikan harga dan pasokan, tetapi juga menetapkan standar lingkungan, serta memperoleh posisi tawar strategis dalam negosiasi dagang maupun kerja sama lintas negara. Dalam konteks ini, smelter setara dengan pipa gas, bahkan lebih: ia menyimpan data proses, teknologi, dan hubungan pasok yang tidak bisa dibajak dengan mudah.
China, sebagai contoh, berhasil membangun dominasi global melalui strategi terintegrasi. Mereka tidak hanya menambang kobalt di Kongo dan litium di Chili, tetapi juga mendirikan pusat-pusat pemrosesan besar dengan dukungan pembiayaan murah dan subsidi teknologi dari pemerintah.
Kini, lebih dari 70% pasokan nikel kelas baterai dunia, 80% kobalt sulfat, dan hampir seluruh grafit sintetis global diproses di China. Ini menjadikan Beijing memiliki pengaruh besar dalam penentuan harga dan standar mineral hijau global.
Respons dari negara-negara Barat pun tidak kalah agresif. Amerika Serikat mendorong relokasi rantai pasok melalui Inflation Reduction Act, yang mensyaratkan insentif kendaraan listrik hanya bagi komponen yang diproses di wilayah atau negara mitra.
Uni Eropa melalui Critical Raw Materials Act menetapkan target pemrosesan domestik 40% sebelum 2030, sambil membatasi ketergantungan terhadap satu negara tidak lebih dari 65%. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia pun berlomba menjalin kemitraan baru dengan negara-negara penghasil di selatan dunia.
Dinamika ini membuka peluang besar bagi negara produsen seperti Indonesia untuk naik kelas. Kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak 2020, yang sempat digugat di WTO, justru memantik pembangunan lebih dari 50 fasilitas pemurnian seperti RKEF dan HPAL.
Hasilnya terasa nyata: ekspor nikel olahan melonjak dari dua menjadi 34 miliar dolar AS dalam lima tahun. Kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay menjadi simbol keberhasilan hilirisasi nasional, menyerap lebih dari 200.000 tenaga kerja, dan memacu sektor pendukung mulai dari logistik hingga keuangan.
Namun keberhasilan ini tak datang tanpa tantangan. Pertama, dominasi investor dari China membuat posisi Indonesia rentan terhadap dinamika eksternal. Kedua, banyak smelter masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga batu bara, sehingga output-nya berpotensi dikenakan pajak karbon atau bahkan dibatasi aksesnya ke pasar hijau Eropa. Ketiga, sebagian besar produksi masih berhenti pada level menengah seperti ferronikel, belum naik ke produk bernilai lebih tinggi seperti katoda atau sel baterai.
Untuk mengatasi ini, kebijakan hilirisasi perlu didorong lebih dalam dan inklusif. Pajak karbon progresif dapat diterapkan berdasarkan intensitas emisi, untuk mendorong peralihan ke sumber energi bersih seperti PLTA, surya, atau panas bumi.
Pemerintah juga dapat membentuk Indeks Mineral Indonesia sebagai acuan harga domestik yang transparan dan adil, guna mencegah praktik transfer pricing. Pendanaan transisi energi, misalnya melalui kerja sama dengan bank pembangunan multilateral, juga harus diarahkan pada pengembangan teknologi pemurnian hijau dan pembangunan jaringan transmisi listrik ke kawasan industri.
Di sisi kelembagaan, pembentukan pusat riset unggulan dalam bidang hidrometalurgi menjadi krusial. Institusi ini dapat menjadi ujung tombak dalam meracik teknologi pemisahan logam yang lebih efisien dan ramah lingkungan, serta menciptakan formula reagen atau katalis nasional yang tidak mudah dibajak. Pengetahuan ini adalah modal strategis dalam diplomasi ekonomi masa depan, di mana negosiasi bukan lagi soal volume ekspor, melainkan pertukaran teknologi dan paten.
Untuk mendukung penguatan posisi Indonesia dalam rantai pasok global, diplomasi mineral juga perlu ditingkatkan. Jakarta dapat menjadi penggagas forum Indian Ocean Critical Minerals Corridor, bersama Tanzania, Mozambique, India, dan Australia Barat, untuk menyeragamkan standar logistik, sertifikasi keberlanjutan, dan pembiayaan rantai pasok lintas negara. Di ranah ASEAN dan G20, Indonesia dapat memimpin aliansi negara produsen logam untuk menegosiasikan akses pasar, teknologi bersih, dan pembiayaan transisi hijau berbasis mineral kritis.
Dalam konteks hukum, arah kebijakan ini memiliki dasar konstitusional kuat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebut bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Ini diperkuat melalui UU Nomor 4 Tahun 2009 dan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menegaskan kewajiban hilirisasi dan larangan ekspor bijih mentah. Instrumen kebijakan seperti Peraturan Pemerintah tentang tata kelola mineral dan Perpres insentif industri strategis menjadi pelengkap arah transformasi.
Pada akhirnya, smelter bukan sekadar alat pengolahan logam, tetapi simbol kendali atas masa depan energi dunia. Siapa yang mampu membangun smelter hijau dengan tata kelola transparan, listrik rendah karbon, dan strategi diplomasi cerdas, akan memimpin ekonomi hijau dekade ini.
Indonesia memiliki semua bahan bakunya, di antaranya adalah cadangan mineral, posisi geografis strategis, dan rekam jejak hilirisasi. Yang dibutuhkan saat ini adalah kecepatan untuk bertindak dan keteguhan untuk memimpin.
Sudah waktunya Indonesia tidak hanya menambang, tetapi juga menentukan harga, menetapkan standar, dan menulis ulang aturan main rantai pasok hijau global. Jika pemerintah, swasta, dan lembaga riset bergerak selaras, maka peran Indonesia tidak hanya sebagai pemasok, tapi juga sebagai pengendali masa depan ekonomi hijau dunia.