Prioritas Belanja Pertahanan ke AS di Tengah Perang Dagang

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Beberapa waktu belakangan, istilah "serakahnomics" jadi bahan perbincangan luas. Presiden Prabowo Subianto melontarkannya di sejumlah panggung politik, ditujukan pada para pelaku ekonomi yang ia anggap rakus, tidak bermoral, dan merugikan rakyat.
Ia menyebut ada "vampir-vampir ekonomi" yang menghisap darah masyarakat melalui praktik spekulasi harga, pengoplosan beras, dan permainan distribusi yang merugikan negara. Pesannya kuat: bahwa musuh kita adalah mereka yang mencari untung besar di atas penderitaan banyak orang.
Saya tidak ragu bahwa banyak praktik dalam ekonomi kita hari ini memang menyimpang, manipulatif, bahkan menjijikkan. Tapi membungkus semuanya dalam satu istilah baru, lalu mengarahkannya kepada pengusaha atau pelaku usaha, tanpa membongkar jeroan sistem yang memungkinkan itu semua terjadi, justru membuat kita kehilangan arah.
Menyalahkan pedagang beras, distributor minyak, atau importir sebagai akar dari kesenjangan dan penderitaan rakyat, adalah langkah yang terlalu gampang. Terlalu nyaman. Ekonomi kita sudah lama dikuasai oleh campur tangan negara. Segala hal diatur dari atas: harga, izin, distribusi, subsidi, siapa boleh ekspor, siapa tidak. Dalam sistem seperti ini, munculnya perilaku oportunis bukan kejutan. Yang mengejutkan justru kalau tidak ada sama sekali.
Selama puluhan tahun, negara telah menciptakan ruang yang sangat luas untuk rente: dari proyek infrastruktur, pengadaan barang publik, sampai perizinan sektor-sektor strategis. Dan setiap kali kekuasaan terlalu besar, akan selalu ada yang memanfaatkannya.
"Serakahnomics" bukan aliran baru. Itu hanya nama lain dari kapitalisme kroni-sistem di mana hubungan dengan penguasa jauh lebih penting daripada efisiensi atau inovasi. Dan kita sudah lama hidup di dalamnya. Para "vampir ekonomi" yang disebut-sebut itu tidak muncul begitu saja. Mereka dibentuk dan dipelihara oleh sistem yang dirancang dan dijaga oleh negara itu sendiri.
Presiden boleh saja marah kepada mereka yang mengambil untung dari kekacauan harga dan kelangkaan barang. Tapi siapa yang membuat barang-barang itu langka? Siapa yang menetapkan harga eceran tertinggi, lalu membuat pelaku usaha takut jual rugi? Siapa yang mengatur distribusi bahan pokok tapi gagal memastikan stok mencukupi di lapangan? Negara hadir di setiap mata rantai, lalu ketika rantainya macet, ia menunjuk pelaku usaha sebagai penyebab.
Kalau negara ingin bicara moral, ia harus mulai dari dirinya sendiri. Siapa yang selama ini memberi izin ekspor kepada segelintir pihak saja? Siapa yang membiarkan BUMN merugi tapi terus disuntik dana publik? Siapa yang mendiamkan kebocoran anggaran, proyek mangkrak, dan markup pengadaan? Kalau benar-benar ingin memberantas serakah, maka kekuasaan itulah yang harus lebih dulu ditertibkan.
Saya bukan membela pengusaha nakal. Saya juga muak melihat banyaknya spekulan dan pemilik modal yang bermain aman di belakang jaring koneksi politik. Tapi kritik harus adil. Banyak juga pelaku usaha kecil dan menengah yang hanya ingin bertahan hidup.
Mereka bukan pencipta sistem. Mereka sekadar mencoba berjalan dalam medan yang sudah penuh jebakan dan aturan yang tidak masuk akal. Mereka inilah yang akan paling dulu terpukul jika negara menggunakan retorika "perang terhadap vampir ekonomi" sebagai alasan memperluas kontrolnya.
Kita harus waspada pada pola ini. Setiap kali negara gagal mengelola, ia mencari kambing hitam. Dulu pasar bebas disalahkan, lalu globalisasi, lalu asing. Sekarang giliran pelaku usaha lokal yang dijadikan target. Tapi pola dasarnya tetap sama: alihkan perhatian rakyat dari kegagalan struktural, arahkan kemarahan ke tempat yang mudah diserang, dan hadir sebagai penyelamat.
Retorika moral seperti ini sering terdengar mulia, tapi bisa sangat berbahaya. Ia memberikan pembenaran bagi intervensi lebih jauh. Ia membuka jalan bagi kontrol yang lebih besar, regulasi yang lebih ketat, dan ruang pasar yang semakin sempit. Dalam jangka pendek mungkin terasa manjur, tapi dalam jangka panjang, hanya akan membuat ekonomi makin lumpuh, makin tidak sehat.
Yang dibutuhkan sekarang bukan istilah baru, tapi keberanian untuk mengurangi peran negara dalam ekonomi. Kurangi subsidi yang tidak tepat sasaran. Hapus izin-izin yang hanya jadi ladang pungli. Buka sektor-sektor yang selama ini tertutup oleh kartel dan oligarki. Beri ruang bagi pelaku usaha untuk bersaing secara sehat. Dan yang paling penting, hentikan logika bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan regulasi tambahan.
Jika negara sungguh ingin menertibkan ekonomi, maka mulailah dengan membersihkan dapurnya sendiri. Jangan lagi membuat sistem yang memungkinkan rente. Jangan lagi menciptakan mekanisme distribusi yang tidak transparan. Jangan lagi memberi hak istimewa pada yang dekat kekuasaan. Setelah itu semua beres, barulah kita bisa bicara tentang siapa yang benar-benar serakah.
Sampai saat itu tiba, serakahnomics hanyalah istilah kosong. Ia mungkin terdengar canggih, tapi tidak akan mengubah kenyataan. Bahwa masalah kita bukan karena pasar terlalu bebas, tapi justru karena terlalu banyak dikekang. Bukan karena pelaku usaha terlalu liar, tapi karena kekuasaan terlalu longgar. Bukan karena masyarakat terlalu konsumtif, tapi karena negara terlalu sibuk bermain peran-sebagai wasit, pemain, dan penonton sekaligus.
Daripada terus mencari vampir, lebih baik kita buka jendela dan lihat cermin. Karena mungkin, vampir itu bukan di luar sana. Mungkin ia sedang duduk di meja rapat, mengenakan jas, dan berbicara atas nama rakyat.