Pelajaran Pertahanan Udara untuk Indonesia dari Kawasan Timur Tengah

Khairunnisa Andini, CNBC Indonesia
20 July 2025 05:10
Khairunnisa Andini
Khairunnisa Andini
Khairunnisa Andini merupakan seorang analis kebijakan publik di PT Semar Sentinel Indonesia. Sebagai seseorang yang memiliki minat dalam politik dan resolusi konflik, Khairunnisa berfokus pada penyampaian analisis mendalam tentang isu-isu nasional dan inte.. Selengkapnya
Sebuah proyektil terlihat di langit setelah Iran menembakkan salvo rudal balistik ke Irael pada Selasa (1/10) malam. (REUTERS/Ammar Awad)
Foto: Sebuah proyektil terlihat di langit setelah Iran menembakkan salvo rudal balistik ke Israel, beberapa waktu lalu. (REUTERS/Ammar Awad)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Selama 12 hari konflik antara Israel dan Iran, berbagai persenjataan militer digunakan, mulai dari rudal balistik hingga pembom siluman dan pesawat tempur. Hal ini dilakukan untuk melancarkan serangan mendalam ke wilayah musuh.

Seperti halnya perang agresi Rusia terhadap Ukraina, krisis India-Pakistan di tahun 2025, maupun Perang Nagorno-Karabakh II pada tahun 2020, konflik antara Iran dan Israel menegaskan perubahan besar dalam cara peperangan dilakukan.

Jika perang di Ukraina menyoroti fenomena kembalinya peperangan intensitas tinggi dan penggunaan drone secara luas, maka konflik antara Tel Aviv dan Tehran justru menunjukkan bagaimana sistem air and missile defence telah berkembang dan menghadapi tantangan yang semakin kompleks.

Penggunaan rudal balistik secara masif oleh Iran dan upaya pencegahan oleh sistem air and missile defence milik Israel seharusnya menjadi pelajaran penting bagi banyak negara, termasuk Indonesia, yang sedang melakukan proses modernisasi TNI dalam berbagai bidang, termasuk pertahanan udara, dengan mempertimbangkan ancaman rudal balistik.

Meskipun konflik antara Iran dan Israel mengingatkan dunia akan kenyataan dan penggunaan rudal balistik, perlu dicatat bahwa rudal jenis ini pertama kali dikembangkan dan digunakan oleh Nazi Jerman, yang meluncurkan setidaknya 3.000 rudal V-2 hingga Mei 1945.

Rudal Balistik Jarak Pendek (Short Range Ballistic Missile/SRBM) kemudian digunakan dalam Perang Yom Kippur 1973, Perang Iran-Irak (1980-1988), hingga Perang Teluk I tahun 1991, ketika Irak meluncurkan rudal Scud ke berbagai wilayah Timur Tengah.

Dalam beberapa tahun terakhir, rudal balistik digunakan oleh kelompok Houthi terhadap Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), termasuk di Laut Merah untuk menyerang kapal sipil maupun militer. Seiring waktu, doktrin pertahanan udara global juga berkembang dengan mengintegrasikan konsep Pertahanan Rudal Balistik (Ballistic Missile Defence/BMD).

Perkembangan ini didorong oleh kemajuan teknologi, baik di sisi rudal balistik maupun sistem pertahanan, termasuk sistem Aegis BMD dan Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) milik Amerika Serikat, sistem Arrow milik Israel, serta Principal Anti-Air Missile System (PAAMS) dari Eropa yang kini digunakan secara luas.

Perkembangan ini patut diperhatikan oleh Indonesia, mengingat proliferasi rudal balistik juga terjadi di kawasan Indo-Pasifik. Laporan China Military Power 2024 dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat menyebutkan bahwa China memiliki 550 peluncur rudal balistik jarak antarbenua (Intercontinental-Range Ballistic Missile) dan 400 rudalnya, serta 250 peluncur rudal balistik jarak menengah (Intermediate-Range Ballistic Missiles) dengan total 500 rudal IRBM, di mana lebih dari 140 di antaranya merupakan rudal DF-26 yang memiliki jangkauan hingga 5.000 kilometer.

Sementara itu, Filipina telah mengakuisisi tiga baterai rudal Brahmos pada 2022 dan dikabarkan tertarik membeli sistem rudal Typhoon buatan AS, yang dapat digunakan untuk BMD dengan menggunakan rudal SM-6, maupun untuk peluncuran rudal jelajah Tomahawk. Indonesia sendiri telah memesan rudal balistik taktis Khan buatan Turki, yang dikembangkan dari rudal Bora hasil kerja sama Turki dan Tiongkok.

Proliferasi senjata semacam ini berpotensi untuk mengubah keseimbangan kekuatan yang sudah rapuh di Kawasan Indo-Pasifik. Dengan demikian, meskipun Indonesia tetap menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, statusnya sebagai negara kepulauan membuat Indonesia harus mampu melindungi kepentingan dan kedaulatannya, serta mencegah potensi agresi.

Modernisasi TNI yang terus dipercepat dalam beberapa tahun terakhir perlu dievaluasi dengan cermat oleh para pembuat kebijakan agar Indonesia memiliki alutsista yang efektif tanpa mengorbankan kedaulatan atau otonomi strategisnya. Selain itu, penting bagi Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan mitra-mitra strategis yang menjamin kendali penuh dan independensi operasional terhadap sistem-sistem kritis.

Saat ini, TNI mengandalkan sistem pertahanan udara jarak pendek dan menengah seperti NASAMS-2 dari Norwegia, Mistral dari Prancis, StarStreak dari Inggris, serta sistem lain seperti Trisula (Turki-Ceko), Chiron (Korea Selatan), dan QW-3 (China).

Namun, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia harus mampu mengoperasikan sistem air and missile defence serta mengembangkan kemampuan air and missile defence. Meskipun sistem pertahanan berbasis darat yang memang dibutuhkan, tetapi Indonesia juga perlu mengandalkan kekuatan laut untuk melindungi wilayah teritorial udaranya.

Saat ini, angkatan laut di berbagai negara kini memainkan peran penting dalam penyediaan pertahanan udara, baik sebagai platform khusus BMD maupun dalam skema pertahanan udara area. Konsep ini melibatkan penciptaan perlindungan di mana pasukan dapat menghalau akses musuh dan melindungi wilayah tersebut dari pesawat atau rudal asing.

Konsep ini telah terbukti efektif dalam situasi nyata oleh angkatan laut milik beberapa negara di Laut Merah, di mana terdapat beberapa kapal perang berhasil mencegat drone maupun rudal balistik. Berdasarkan sumber terbuka, setidaknya dari 170 rudal balistik telah diluncurkan oleh Houthi di Laut Merah, sebagian besar berhasil dicegat oleh sistem BMD berbasis laut seperti Aegis milik Amerika Serikat (yang memiliki tingkat intersepsi tertinggi di dunia) serta fregat Prancis yang menggunakan rudal Aster (yang berada di peringkat ketiga dalam tingkat intersepsi).

Inilah sebabnya mengapa Indonesia, yang sedang mengakuisisi sejumlah kapal kombatan permukaan utama untuk memodernisasi armada lautnya, harus mempertimbangkan pentingnya sistem yang mampu menyediakan BMD dan pertahanan udara area. Hingga kini, Fregat Merah Putih dikabarkan akan dilengkapi sistem pertahanan udara buatan Turki yang, meskipun secara teoritis menjanjikan, namun efektivitasnya dalam operasi nyata masih belum terbukti.

Sementara itu, Kapal Patroli Lepas Pantai (PPA) buatan Italia, yaitu KRI Brawijaya dan KRI Prabu Siliwangi, telah memiliki konfigurasi Fit For But Not With (FFBNW) rudal Aster, yang berarti platform tersebut hanya memiliki kapasitas pertahanan udara terbatas hingga kontrak pengadaan rudal ditandatangani.

Proses ini sendiri dapat memakan waktu beberapa tahun. TNI AL juga sedang mempertimbangkan opsi pengadaan kapal perang lain dari Turki, yang memiliki beberapa keterbatasan di atas, Jepang, dengan teknologi yang belum sepenuhnya bebas ITAR, serta Prancis. Prancis sendiri telah menawarkan frigat Belh@rra yang memang dirancang dengan kemampuan pertahanan udara dan rudal balistik menggunakan radar Sea Fire dan rudal Aster.

Kapal ini juga telah dipilih oleh Yunani dan sedang bersaing untuk pengadaan oleh dua angkatan laut milik dua negara NATO lainnya. Selain itu, Prancis juga menawarkan opsi untuk membangun kapal ini secara lokal di Indonesia. Oleh karena itu, saat Indonesia terus memodernisasi militernya guna memperkuat sistem pertahanan, penting untuk mempertimbangkan risiko proliferasi rudal balistik.

Lebih lanjut, kebutuhan mendesak bagi Jakarta dalam mengoperasikan sistem pertahanan udara dan rudal balistik yang telah terbukti di medan tempur dan mampu merespons seluruh spektrum ancaman juga perlu diperhatikan. Sebagai negara kepulauan, para pembuat kebijakan di Indonesia dapat mengambil pelajaran dari konflik Iran-Israel dan krisis Houthi di Laut Merah, yaitu bahwa pertahanan yang efektif hanya dapat dicapai melalui kombinasi sistem berbasis darat dan laut.


(miq/miq)