Potensi Nilai Tambah Ekonomi Investasi Industri Panas Bumi Nasional

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Setiap kali kita menyalakan wajan untuk menggoreng, kita tak hanya memasak makanan, kita sedang menciptakan peluang energi bersih yang selama ini terbuang sia-sia. Padahal, jika dikelola dengan benar, jelantah dapat menjadi fondasi bagi upaya Indonesia membangun industri bahan bakar penerbangan berkelanjutan, yaitu Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang kini menjadi kebutuhan global.
Riset Traction Energy Asia memperkirakan, rumah tangga Indonesia membuang sedikitnya 1,2 juta kiloliter minyak goreng bekas setiap tahun. Jumlah ini belum termasuk dari sektor komersial seperti restoran, industri makanan, serta hotel, yang jika ditotal dapat mendorong volume realistis hingga sekitar 3 juta kiloliter per tahun.
Angka tersebut kini berpotensi meningkat seiring peluncuran program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah, melibatkan sekitar 32.000 dapur umum untuk menyajikan makanan setiap hari kepada lebih dari 82 juta siswa. Jika satu dapur umum menggunakan rata-rata 800 liter minyak per bulan, maka program MBG sendiri dapat menambah sekitar 300 ribu kiloliter jelantah setiap tahun.
Dengan demikian, potensi minyak goreng bekas yang dapat dikumpulkan secara nasional dapat mencapai 4,5 juta kiloliter per tahun. Angka ini tidak lagi dapat diabaikan, khususnya dalam konteks pencarian sumber energi rendah karbon yang tidak berbasis lahan baru.
Teknologi pengolahan jelantah menjadi SAF, seperti proses hydroprocessed esters and fatty acids (HEFA), telah terbukti mampu mengonversi satu liter jelantah menjadi sekitar 0,8 liter bahan bakar jet rendah emisi. Artinya, hanya dengan memanfaatkan separuh dari total jelantah nasional, Indonesia dapat menghasilkan hingga 1,8 juta kiloliter SAF per tahun. Perlu dicatat juga bahwa lebih dari separuh kebutuhan avtur domestik tahun 2023 yang tercatat sebesar 3,5 juta kiloliter.
Langkah awal ke arah itu sudah dimulai. Kilang hijau milik Pertamina di Cilacap telah mengantongi sertifikasi ISCC dan tunduk pada skema CORSIA, dua prasyarat utama untuk memasuki pasar SAF global. Kilang ini akan mulai mengolah 6.000 barel jelantah per hari pada 2025, dengan kapasitas tahunan mencapai 300.000 kiloliter. Jika kilang serupa dibangun di Balongan dan Dumai, kapasitas nasional dapat berkembang secara signifikan.
Namun, kapasitas produksi tidak dapat berdiri sendiri tanpa sistem pasokan yang andal dan kebijakan yang mendukung. Singapura, misalnya, sejak 2017 telah menetapkan kebijakan bahwa semua pengumpul jelantah harus memiliki lisensi resmi.
Setiap liter minyak bekas dari restoran wajib diserahkan kepada kolektor terdaftar yang diawasi secara digital oleh National Environment Agency. Langkah ini bukan hanya menutup ruang bagi peredaran "gutter oil", tetapi juga memastikan bahwa kilang SAF mendapat bahan baku yang bersih dan dapat ditelusuri.
Indonesia, sayangnya, belum memiliki sistem pengelolaan jelantah yang terstruktur. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebenarnya telah memberi dasar hukum untuk pengelolaan limbah sebagai sumber daya alternatif.
Demikian pula Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon memberikan kerangka untuk insentif berbasis emisi. Namun hingga kini belum ada regulasi yang mewajibkan penyerahan jelantah ke kolektor bersertifikat, baik dari dapur MBG maupun pelaku usaha makanan.
Salah satu langkah yang dapat diambil pemerintah adalah menerbitkan peraturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri LHK atau ESDM mengenai kewajiban serah jelantah. Sistem pelacakan berbasis QR code, sebagaimana dilakukan di sektor kehutanan, dapat digunakan untuk menjamin keterlacakan dan mencegah kebocoran pasokan ke jalur ilegal.
Di sisi fiskal, sebagian kecil insentif BBM fosil dapat dikonversi menjadi kredit karbon berbasis intensitas emisi untuk mendorong produksi SAF. Dengan efisiensi emisi lebih dari 80% dibandingkan avtur konvensional, SAF dari jelantah berhak mendapatkan dukungan fiskal tertinggi.
Kementerian Perhubungan pun telah menyusun rencana kewajiban pencampuran SAF sebesar 1% pada 2027 dan meningkat menjadi 2,5% pada 2030 untuk penerbangan internasional. Namun rencana ini baru bersifat indikatif dan belum memiliki dasar hukum yang mengikat. Untuk memberi kepastian investasi bagi produsen dan maskapai, dibutuhkan penguatan dalam bentuk peraturan presiden.
Manfaat dari kebijakan semacam ini akan bersifat jamak. Secara ekonomi, SAF dari jelantah dapat menjadi komoditas ekspor baru, dengan potensi surplus ekspor hingga 850 juta liter per tahun dan devisa kotor yang diperkirakan mencapai US$ 340 juta.
Secara lingkungan, menurut riset NASA, pencampuran SAF 50% dalam mesin jet dapat menurunkan emisi partikel halus hingga 70%, sehingga berpotensi membuat udara lebih bersih bagi kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Secara sosial, program ini berpeluang membuka ribuan lapangan kerja hijau baru sekaligus mengurangi risiko kesehatan akibat penggunaan ulang minyak goreng dalam skala rumah tangga.
Transformasi jelantah menjadi bahan bakar penerbangan berkelanjutan bukanlah skenario yang muluk. Ia justru lahir dari kenyataan sehari-hari yang selama ini diabaikan. Dari dapur rumah, warung kaki lima, hingga kantin sekolah, Indonesia sebenarnya telah menghasilkan bahan baku energi terbarukan yang potensial. Yang dibutuhkan kini hanyalah keberanian untuk menyusun kebijakan yang tegas, terintegrasi, dan berpihak pada masa depan.
Langit bersih dan ekonomi energi yang berdaulat tak harus dibangun dari ladang baru atau tambang tambahan. Ia bisa dimulai dari sisa minyak yang kita buang setiap hari, selama ada niat untuk mengaturnya secara bijak.