Nasib Pinjaman Daring Pascaputusan Mahkamah Agung

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Wacana mengenai kehadiran Bank Syariah Muhammadiyah kembali mengemuka seiring dengan pernyataan yang dilontarkan oleh salah seorang wakil Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata PP Muhammadiyah. Pernyataan ini kemudian seakan-akan diaminkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa izin akan keluar dalam waktu dekat.
Namun pernyataan ini dibantah oleh Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas bahwa izin yang akan dikeluarkan oleh OJK bukanlah untuk pendirian Bank Umum Syariah Muhammadiyah, melainkan izin untuk pendirian BPRS Muhammadiyah. Saat ini Muhammadiyah telah memiliki 10 BPRS dan yang terbaru akan keluar izin operasional ialah BPR Matahari Artadaya milik Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) yang sedang dikonversi menjadi BPR Syariah Matahari.
Terlepas dari fakta yang terjadi, wacana kehadiran Bank Syariah Muhammadiyah (BSM) yang kembali mengemuka dan menghangatkan diskursus publik, terutama di kalangan internal Persyarikatan.
Di tengah kuatnya arus kapitalisme dan dominasi sistem keuangan konvensional, langkah Muhammadiyah untuk membangun bank syariah sendiri tentu saja bukan langkah kecil. Ia adalah manifestasi dari kehendak besar untuk mandiri secara ekonomi dan menjadi pelaku utama dalam lanskap industri keuangan nasional.
Namun, seperti dua sisi mata uang, gagasan tersebut tidak luput dari perdebatan. Sebagian kalangan menilai kehadiran bank syariah Muhammadiyah sebagai langkah revolusioner yang sangat ditunggu umat, terutama dalam konteks kemandirian ekonomi dan konsolidasi kekuatan umat Islam.
Sebagian lainnya menekankan pentingnya sikap hati-hati, mengingat tantangan industri perbankan yang kian kompleks dan memerlukan modal, pengalaman, serta manajemen profesional tingkat tinggi.
Tulisan ini berupaya mengupas secara kritis untung-rugi dari gagasan pendirian Bank Syariah Muhammadiyah dalam berbagai perspektif mulai ideologis, finansial, struktural, hingga dampaknya terhadap ekosistem keuangan syariah nasional.
Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah sejak lama memainkan peran signifikan dalam membangun peradaban umat melalui amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Namun, satu bidang yang belum secara langsung dikuasai secara kelembagaan adalah sektor perbankan. Meskipun saat ini Muhammadiyah telah memiliki setidaknya 10 Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).
Gagasan tentang kehadiran Bank Syariah Muhammadiyah (BSM) menjadi momen monumental yang bukan saja strategis dalam kemandirian organisasi, tetapi juga menjanjikan babak baru dalam peta keuangan syariah nasional. Dengan jaringan luas dan basis umat yang besar, Bank Syariah Muhammadiyah diyakini berpotensi menjadi penggerak utama transformasi keuangan umat sekaligus memberikan warna baru dalam industri keuangan syariah Indonesia.
Muhammadiyah bukan hanya organisasi keagamaan, melainkan juga kekuatan sosial ekonomi. Ribuan AUM yang aktif menjadi kekuatan ekonomi besar jika dikelola secara sinergis.
Dengan lebih dari 163 perguruan tinggi, 126 lebih rumah sakit dan 231 klinik, ribuan sekolah, dan ribuan koperasi dan BMT, Muhammadiyah memiliki target pasar potensial yang sangat besar untuk layanan perbankan. Kehadiran Bank syariah Muhammadiyah akan menjadi jantung sistem finansial yang menyuplai kebutuhan pembiayaan, menampung dana, dan menggerakkan roda ekonomi internal.
Dengan sistem kaderisasi yang rapi dan jejaring struktural hingga ke tingkat ranting, Muhammadiyah mampu melakukan konsolidasi keuangan dalam skala masif yang belum tentu dapat dilakukan organisasi lain. Jika potensi ini dikapitalisasi dengan benar, Bank Syariah Muhammadiyah tak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang pesat menjadi lembaga keuangan syariah papan atas nasional, bahkan mungkin regional.
Selain itu, kehadiran BSM akan berpotensi mengembangkan produk keuangan syariah yang otentik dan sesuai dengan kebutuhan umat, misalnya pembiayaan untuk pendidikan Islam, rumah sakit Islam, bisnis halal, hingga program wakaf tunai dan zakat produktif. Hal ini sulit dilakukan jika terus bergantung pada bank syariah komersial yang orientasinya tetap pada keuntungan semata.
Secara psikologis, bank ini bisa membangkitkan kembali semangat umat Islam untuk membangun sistem ekonomi alternatif. Jika dikelola dengan profesional, BSM bisa menjadi inspirasi bagi organisasi lain seperti NU, Al Irsyad, Persis, dan lainnya, untuk membangun lembaga keuangan independen.
Kehadiran BSM juga bisa menjadi sarana edukasi keuangan syariah kepada warga Muhammadiyah dan masyarakat luas. Bank ini bisa membuka cabang edukatif di sekolah, kampus, hingga masjid, sekaligus menjadi platform riset keuangan Islam melalui kerja sama dengan universitas Muhammadiyah.
Namun, di balik semua keunggulan tersebut, terdapat tantangan yang tidak bisa diabaikan. Tantangan pertama ialah terkait tingginya kebutuhan modal awal. Regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa pendirian bank umum syariah memerlukan modal minimum Rp10 triliun.
Jumlah ini bukan sesuatu yang mudah dikumpulkan, meskipun jaringan Muhammadiyah luas. Jika tidak dikelola dengan transparan dan profesional, bisa terjadi kekacauan internal dan hilangnya kepercayaan jamaah.
Pengalaman menunjukkan banyak lembaga keuangan Islam yang kolaps bukan karena model bisnisnya salah, tapi karena manajemen internal yang lemah. Kecenderungan tarik-menarik politik, konflik kepentingan, dan penempatan SDM tidak sesuai kapasitas bisa menjadi bom waktu.
Apakah Muhammadiyah siap menempatkan orang-orang profesional yang mungkin bukan kader murni baik di jajaran direksi, komisaris dan dewan pengawas syariah? Apakah ada komitmen untuk menjaga independensi bank dari intervensi politik internal? Terlebih pengalaman kurang baik Muhammadiyah ketika mengakuisisi Bank Swansarindo Internasional dan berganti nama menjadi bank persyarikatan.
Tantangan yang tak kalah penting ialah pasar bank syariah yang masih terbatas. Saat ini, total aset perbankan syariah baru mencapai di kisaran 7% dari total industri perbankan nasional. Bank Syariah Indonesia (BSI) yang merupakan hasil merger tiga bank syariah BUMN pun masih menghadapi tantangan besar. Ini menunjukkan bahwa pasar bank syariah masih sempit dan belum sepenuhnya matang.
Tantangan berikutnya yang perlu diperhatikan ialah risiko tumpang tindih dengan Lembaga keuangan Muhammadiyah yang sudah ada. Muhammadiyah telah memiliki jaringan BPRS, Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM), hingga koperasi yang sudah cukup mapan. Kehadiran bank umum syariah bisa menimbulkan resistensi atau kompetisi internal jika tidak dikelola sebagai ekosistem yang terintegrasi.
Muhammadiyah memiliki tiga pilihan besar yaitu mendirikan bank baru, mengakuisisi bank syariah yang sudah ada, atau mengkonsolidasikan BPRS yang telah dimiliki dan merubahnya menjadi bank umum syariah. Ketiga opsi ini memerlukan kalkulasi matang, terutama dalam hal modal, jejaring, SDM, dan kapasitas teknologi.
Salah satu strategi moderat yang bisa dipertimbangkan adalah mendirikan bank syariah digital Muhammadiyah. Ini mengurangi kebutuhan biaya operasional yang besar karena tidak memerlukan banyak kantor cabang fisik, serta mampu menjangkau seluruh Indonesia hanya dengan aplikasi. Langkah ini juga sejalan dengan tren digitalisasi industri keuangan, sekaligus cocok dengan profil warga Muhammadiyah yang literat dan adaptif terhadap teknologi.
Gagasan menghadirkan Bank Syariah Muhammadiyah adalah mimpi besar yang membanggakan. Namun mimpi itu harus dibarengi kesiapan infrastruktur, modal sosial, dan sumber daya manusia yang matang. Semangat tidak boleh melebihi kapasitas. Harapan tidak boleh menutup nalar risiko.
Jika berhasil, bank ini bisa menjadi ikon baru gerakan ekonomi Islam modern, memperkuat posisi Muhammadiyah dalam dakwah sosial-keagamaan, serta menjadi fondasi kemandirian umat. Namun jika gagal, tidak hanya uang jamaah yang hilang, tetapi juga kepercayaan publik, yang akan sangat sulit dipulihkan.