Indonesia First yang Berdikari di Tengah Guncangan Dunia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Berbagai kasus sengketa pulau, baik skala kecil maupun besar, antarprovinsi maupun antarkabupaten, akhir-akhir ini kembali mencuat ke publik. Isu penjualan pulau secara daring juga marak terjadi. Pertanyaannya: mengapa ini bisa terjadi? Apakah benar pulau bisa diklaim sepihak oleh perseorangan, lembaga, atau bahkan pemerintah?
Akar masalah sering kali diabaikan karena yang lebih ditonjolkan adalah ego dan klaim administratif kepemilikan. Padahal, yang lebih penting adalah siapa yang bersedia mengelola dan menjaga pulau tersebut dengan sungguh-sungguh untuk kemaslahatan bersama.
Akar Sengketa
Pulau adalah bentang alam berupa daratan yang dikelilingi oleh air baik laut, sungai, maupun danau. Ukurannya bisa sangat kecil hingga besar, dengan kondisi geofisik beragam seperti pegunungan, pantai, dan dataran rendah.
Indonesia memiliki 17.504 pulau, namun hingga kini baru 7.872 yang diberi nama dan terdaftar secara resmi. Sisanya, 9.636 pulau belum memiliki nama legal. Ini menjadi cermin bahwa negara belum sepenuhnya serius dalam mengelola pulau dan kekayaan sumber daya yang ada di dalamnya bahkan untuk sekadar penamaan.
Kita juga masih menyimpan luka sejarah, seperti lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia pada tahun 2002. Mahkamah Internasional mengedepankan prinsip efektivitas penguasaan, bukan klaim administratif semata. Malaysia dianggap lebih mampu menunjukkan bukti nyata pengelolaan mulai dari mercusuar, konservasi penyu, hingga pajak dan regulasi satwa.
Sengketa antarwilayah di dalam negeri terhadap 43 pulau pada umumnya masih berkutat pada ego administratif. Belum menyentuh substansi pengelolaan yang berdampak bagi masyarakat.
Hal tersebut diperparah oleh kelemahan UU pembentukan daerah yang hanya menjabarkan batas wilayah berdasarkan arah mata angin, tanpa peta perinci atau koordinat geospasial.
Dengan regulasi yang lemah, penguasaan dan pengelolaan pun menjadi sangat minim. Jika dibiarkan, pihak yang bersengketa akan terus mengalami "kekalahan" apabila lawannya lebih siap dan efektif dalam mengelola pulau tersebut.
Kondisi Pulau Saat Ini
Dari total 17.504 pulau yang kita miliki, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkirakan potensi kekayaan laut Indonesia mencapai Rp19.986 triliun.
Namun, dari ribuan pulau yang sudah diberi nama, hanya 197 pulau (5,3%) yang dimanfaatkan untuk sektor wisata, dan itu pun hanya melibatkan 1.197 pelaku usaha (KKP, 2024). Dalam hal hunian, hanya 2.117 pulau yang berpenghuni. Artinya, sekitar 87,82% pulau masih kosong dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Kendala utama memang cukup kompleks: keterbatasan infrastruktur, biaya investasi tinggi, dan sebagian besar pulau kecil (17.207 di antaranya memiliki luasan <100 hektare) yang secara logistik sulit dijangkau. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata ada indikasi penguasaan ilegal terhadap pulau-pulau tak berpenghuni oleh pihak-pihak tertentu yang kemudian menjualnya secara daring.
Sampai hari ini, sebagian besar perhatian negara masih tersedot ke pulau besar yang sudah padat dan penuh kepentingan. Padahal, lebih dari 87% pulau kecil menyimpan potensi sumber daya laut dan ekosistem yang belum dimanfaatkan. Jika terus-menerus diabaikan, untuk apa kita saling berebut wilayah?
Fokus: Kelola, Bukan Rebut
Sekitar 70% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir. Terdapat 7 juta orang yang menggantungkan hidup di sektor kelautan dan perikanan. Bahkan, 80% hasil perikanan nasional berasal dari nelayan kecil. Ini menunjukkan pulau dan laut bukan hanya bagian dari peta, tapi sumber kehidupan.
Pulau-pulau kecil kita terdiri dari berbagai tipe: pulau benua, pulau vulkanik, dan pulau karang. Masing-masing memiliki karakteristik biofisik yang unik dan membutuhkan pendekatan pengelolaan yang berbeda.
Tanpa pemetaan menyeluruh dan rencana pengelolaan yang spesifik, potensi akan terbuang percuma. Sudah saatnya negara menyusun Ocean Plan yang berbasis pada dua prinsip utama.
Pertama, memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat pesisir. Kedua, menjaga keberlanjutan ekologis pulau dan perairan sekitarnya.
Untuk memperkuat tata kelola pulau kecil secara adil dan berkelanjutan, negara harus mempertimbangkan langkah-langkah, yaitu:
a. Mempercepat penetapan RZWP3K di seluruh provinsi sebagai dasar legal pemanfaatan ruang laut dan pulau
b. Mengintegrasikan data kepemilikan, pemanfaatan, dan potensi pulau kecil ke dalam sistem informasi geospasial nasional
c. Memastikan keterlibatan masyarakat lokal dan pengakuan terhadap hak-hak tradisional dalam setiap izin pengelolaan pulau
d. Menindak tegas praktik jual beli pulau secara ilegal dan mencabut izin jika terbukti ada pelanggaran prinsip keberlanjutan
e. Mendorong investasi hijau berbasis masyarakat, khususnya untuk pariwisata bahari, konservasi, dan perikanan berkelanjutan.
Pulau bukan hanya soal garis batas wilayah atau ego administratif. Pulau adalah sumber kehidupan, ruang konservasi, dan potensi masa depan. Jika dikelola dengan baik, ia akan menjadi motor kesejahteraan. Tapi jika dibiarkan jadi rebutan tanpa arah, ia hanya akan menambah daftar konflik dan potensi kerugian negara.
Mari kita ubah cara pandang: dari rebutan wilayah menjadi gerakan nasional pengelolaan pulau untuk rakyat.