Menimbang Rasionalitas Ekonomi dan Ekologi

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kerusakan lingkungan akibat penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi simbol gagalnya growth-oriented policy yang mengabaikan batas ekologis. Realitas ini melahirkan pertanyaan, bagaimana kita membangun tanpa menghancurkan rumah kita sendiri? Jawabannya mungkin terletak pada konsep revolusioner ekonomi donat (doughnut economics) yang digagas Kate Raworth (2017) dari Universitas Oxford.
Memahami "Donat" yang Menyelamatkan
Ekonomi donat menawarkan kerangka kerja yang memadukan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Bayangkan sebuah donat dengan dua batas krusial.
Pertama, social foundation: batas bawah yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (seperti air bersih, pangan, kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan). Kedua, ecological ceiling: batas atas yang melindungi sistem alam dari kelebihan beban (misalnya perubahan iklim, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan penipisan sumber daya).
Ruang aman di antara kedua batas inilah yang disebut "the safe and just space for humanity", yaitu zona ideal tempat ekonomi harus beroperasi untuk mencapai keberlanjutan.
Model ini menantang paradigma ekonomi tradisional yang memuja pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai tujuan utama, namun kerap mengabaikan kesenjangan sosial dan batas ekologis. Ekonomi donat bukan sekadar konsep, melainkan panduan praktis untuk:
1). Merancang kebijakan yang seimbang antara perlindungan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan manusia;
2). Mengubah prinsip bisnis menuju model yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan (misalnya, ekonomi sirkular); dan
3). Mengukur kemajuan berdasarkan indikator non-moneter, seperti kualitas hidup dan kesehatan ekosistem.
Namun demikian, implementasi ekonomi donat tak mudah. Ini karena, ekonomi tidak bisa dipandang sebagai mesin statis seperti dalam teori neoklasik.
Ekonomi adalah sistem adaptif kompleks, sebagaimana dijelaskan oleh ekonomi kompleksitas (complexity economics). Dalam perspektif ini, ekonomi adalah jaringan dinamis dengan umpan balik (feedback loops), ketergantungan interdependen, dan risiko krisis-mirip ekosistem.
Contoh nyata, lonjakan permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik, dalam sistem kompleks, tidak berhenti pada penciptaan lapangan kerja atau pendapatan ekspor. Lonjakan permintaan tersebut juga memicu eksploitasi berlebihan, merusak ekosistem vital (seperti di Raja Ampat), mengancam mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam (SDA) setempat, dan pada akhirnya merusak fondasi pembangunan itu sendiri.
Ini mengingatkan pada peringatan Herman Daly (1996) bahwa ekonomi hanyalah subsistem dari biosfer yang terbatas. Kerusakan pada satu titik (seperti hilangnya hutan atau tercemarnya air) akan merambat ke seluruh jaringan, memicu bencana ekologis dan sosial.
Tantangan dan Solusi
Zona ideal ekonomi donat bukan titik statis, melainkan medan dinamis yang terus bergerak akibat interaksi antarpelaku. Di sinilah letak tantangan sekaligus solusinya, karena itu ada beberapa upaya yang bisa dilakukan.
Pertama, mencegah oligarki hijau. Kebijakan hijau yang tidak melibatkan UMKM dan masyarakat lokal berisiko memperkuat monopoli korporasi besar (BUMN maupun swasta) dan menciptakan ketimpangan baru. Terlebih lagi, apabila korporasi melakukan greenwashing-klaim palsu tentang keberlanjutan-pastinya akan memperparah ketimpangan sekaligus merusak lingkungan.
Karena itu, persaingan hijau (green competition) yang adil-melalui kebijakan antimonopoli di sektor hijau-menjadi kunci. Dalam konteks ekonomi hijau, teori Joseph Schumpeter tentang inovasi dinamis harus diperluas: persaingan hijau harus mencakup prinsip keadilan distribusi, sebagaimana teori capability approach Amartya Sen (1999), yang menekankan kesempatan bagi semua.
Kedua, mengganti indikator usang. Ketergantungan pada indikator PDB yang buta terhadap kerusakan lingkungan adalah penghalang besar bagi keberlanjutan. Metode pengukuran seperti Wealth Accounting and Valuation of Ecosystem Services (WAVES) dari Bank Dunia (2020) yang menawarkan cara menghitung nilai aset alam secara akurat, perlu digunakan untuk mengganti indikator usang.
Ketiga, mengadopsi pendekatan adaptif. Ekonomi kompleksitas menawarkan solusi bahwa pembangunan harus dirancang sebagai proses adaptif, bukan rencana terpusat yang kaku. Ini menyerupai adaptive management dalam ekologi, yang mengutamakan pembelajaran dari kesalahan dan kolaborasi lintas sektor untuk merespons perubahan dengan cepat dan fleksibel dalam situasi penuh ketidakpastian.
Jelaslah, bahwa kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial yang ditimbulkan aktivitas ekonomi, menunjukkan bahwa ekonomi tidak bisa lagi dipandang sebagai mesin yang bisa dikendalikan sepenuhnya. Seperti ekosistem, ekonomi adalah jaringan hidup yang rentan, tetapi juga punya potensi besar untuk beradaptasi.
Dengan menggabungkan ekonomi donat dan ekonomi kompleksitas, Indonesia bisa menciptakan model pembangunan yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga inklusif-di mana keberhasilan diukur dari kualitas hidup, bukan sekadar angka PDB.