Akhir Era PLTD: Transformasi Energi Bersih Indonesia Timur Dimulai

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dengan potensi sumber daya mencapai 23,6 Gigawatt (GW) atau sekitar 40 persen dari total potensi panas bumi global, Indonesia berada dalam posisi strategis untuk menjadikan industri panas bumi sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejak berhasil dikembangkan secara komersial pada era 1980-an, panas bumi telah memberikan kontribusi yang nyata tidak hanya dalam menjaga keberlanjutan pasokan energi, tetapi juga dalam menggerakkan aktivitas perekonomian nasional.
Dalam jangka panjang, pengembangan dan pengusahaan panas bumi juga menunjukkan potensi besar untuk terus menopang pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan nilai tambah ekonomi yang dihasilkannya. Potensi tersebut didukung oleh karakteristik panas bumi yang lebih andal dan berkelanjutan dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya.
Dalam kelompok EBET, energi panas bumi tercatat memiliki sejumlah keunggulan seperti: (1) tidak tergantung pada cuaca, sehingga terbebas dari permasalahan intermiten, (2) tidak memerlukan lahan yang luas dalam proses produksinya, (3) terhindar dari risiko kenaikan harga energi primer pembangkit, (4) biaya operasi pembangkitan relatif murah, dan (5) prioritas untuk kepentingan domestik karena relatif tidak dapat diekspor.
Nilai Tambah Ekonomi Industri Panas Bumi Nasional
Industri panas bumi di Indonesia telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional, baik dalam bentuk penerimaan negara secara langsung maupun melalui dampak ekonomi tidak langsung yang dihasilkannya. Mengacu pada data Kementerian ESDM (2024), total Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dihasilkan dari aktivitas industri panas bumi selama periode 2010 hingga 2024 tercatat sebesar Rp 21,43 triliun.
Di samping kontribusi fiskal tersebut, hasil analisis model Input-output (IO) menunjukkan bahwa industri panas bumi memiliki nilai tambah ekonomi yang cukup besar. Hasil perhitungan model IO menemukan nilai indeks multiplier effect industri panas bumi nasional sebesar 5,8745.
Nilai indeks tersebut menggambarkan bahwa jika terdapat investasi sebesar Rp 1 triliun untuk pengembangan dan pengusahaan panas bumi, berpotensi akan menciptakan nilai tambah dalam perekonomian nasional sekitar Rp 5,87 triliun.
Pengembangan dan pengusahaan panas bumi berpotensi memberikan dampak positif terhadap fiskal dan moneter Indonesia. Berdasarkan data Statistik PLN tahun 2023, rata-rata biaya pembangkitan listrik panas bumi dilaporkan lebih rendah dibandingkan rata-rata biaya pembangkitan listrik nasional.
Rata-rata biaya pembangkitan listrik panas bumi dalam kurun 10 tahun terakhir Rp 1.108/kWh, lebih rendah dibandingkan rata-rata biaya pembangkitan listrik nasional pada periode yang sama yang dilaporkan sebesar Rp 1.563/kWh.
Lebih lanjut, peningkatan porsi listrik PLTP untuk menggantikan produksi listrik PLTD dan PLTG yang memiliki rata-rata biaya pembangkitan yang lebih besar, berpotensi menurunkan anggaran subsidi listrik di APBN dan sekaligus dapat meningkatkan kualitas kondisi fiskal.
Berdasarkan data, rata-rata biaya pembangkitan PLTD dan PLTG selama periode 2019-2023 masing-masing adalah Rp 5.737/kWh dan Rp 1.701/kWh. Sementara rata-rata biaya pembangkitan untuk PLTP pada periode yang sama dilaporkan sekitar Rp 749/kWh.
Substitusi tenaga listrik dari PLTD dengan listrik panas bumi berpotensi dapat menurunkan kebutuhan devisa impor migas dan memperbaiki kondisi sektor moneter Indonesia. Dengan kapasitas terpasang PLTD saat ini sebesar 3.426 MW dan asumsi harga minyak mentah 70 USD/barel, substitusi seluruh PLTD dengan PLTP berpotensi dapat menghemat devisa impor migas sekitar 6,53 miliar USD per tahun.
Tergolong Lambat
Meskipun telah memberikan kontribusi positif terhadap kegiatan perekonomian dan keberlanjutan pasokan energi nasional, perkembangan industri panas bumi di Indonesia dapat dikatakan tergolong lambat.
Setelah diusahakan secara komersial sejak 42 tahun yang lalu, kapasitas terpasang listrik panas bumi saat ini baru sebesar 2.638 MW atau rata-rata 62,82 MW per tahun. Jumlah badan usaha yang terlibat dalam pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi juga relatif terbatas yaitu baru sekitar 8 badan usaha.
Kendati demikian, tren dalam satu dekade terakhir menunjukkan adanya perbaikan. Data menunjukkan dalam 10 tahun terakhir terdapat percepatan dalam penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi yaitu meningkat dari sebesar 1.347 MW pada 2015 menjadi 2.638 pada 2024. Selama kurun waktu tersebut, rata-rata penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi adalah 129 MW per tahun.
Jika target RUPTL 2025-2034 dapat direalisasikan, tren positif dari pertumbuhan industri panas bumi tersebut diperkirakan akan semakin signifikan. Selama kurun 2025-2034 kapasitas terpasang listrik panas bumi ditargetkan bertambah sebesar 5.157 MW atau 515 MW per tahun.
Pencapaian target tersebut dapat dimulai dengan memberikan dukungan terhadap pengusahaan panas bumi yang telah lebih konkrit seperti pengembangan PLTP Lumut Balai II dan Lumut Balai III yang sedang dilakukan oleh PGE.
Sinergi dan Dukungan Berbagai Pihak
Relatif belum berkembangnya pembangkit listrik panas bumi di Indonesia salah satunya kemungkinan terkait dengan struktur investasi atau struktur biaya produksi listrik panas bumi. Komponen biaya terbesar dalam produksi listrik panas bumi adalah investasi awal.
Sementara komponen biaya terbesar dalam produksi listrik berbasis fosil adalah biaya energi primer atau bahan bakar. Porsi biaya investasi awal yang cukup besar menyebabkan secara relatif pada tahap awal biaya produksi listrik panas bumi seolah menjadi lebih tinggi.
Berdasarkan data, sekitar 70% komponen biaya produksi listrik panas bumi merupakan biaya investasi atau modal awal, 15 % biaya operasi dan perawatan, 15 % pajak, dan relatif tidak terdapat biaya energi primer untuk pembangkit. Sementara komponen biaya produksi listrik berbasis fosil terdistribusi atas 70 % biaya energi primer pembangkit, 18 % biaya modal awal, 9 % pajak, dan 3 % biaya operasi dan perawatan.
Data, informasi, dan analisis yang disampaikan di atas menegaskan bahwa pengembangan dan pengusahaan panas bumi memiliki peran penting terhadap perekonomian nasional, baik dalam meningkatkan penerimaan negara dan daerah penghasil, dan mendorong pertumbuhan nasional melalui efek berganda (multiplier effect) yang dihasilkan terhadap berbagai sektor ekonomi.
Untuk mengoptimalkan manfaat tersebut, namun demikian diperlukan sinergi yang kuat antar pemangku kepentingan serta konsistensi kebijakan guna menciptakan ekosistem investasi dan operasional yang lebih efisien dan berkelanjutan.