Pengaturan Zakat oleh Negara: Perlindungan atau Pembatasan Hak?

Fawzi Muhtadi, CNBC Indonesia
27 June 2025 06:20
Fawzi Muhtadi
Fawzi Muhtadi
Fawzi Muhtadi merupakan Senior Manager Bidang Pengembangan Ekosistem Forum Zakat. Fawzi telah berkecimpung di dunia tata kelola zakat sejak menduduki semester akhir bangku sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2021. Saat ini Fawzi se.. Selengkapnya
Petugas amil zakat melayani warga yang ingin membayar zakat fitrah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (26/3/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Petugas amil zakat melayani warga yang ingin membayar zakat fitrah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (26/3/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menjadi momen penting dalam menguji kembali hubungan negara dengan kehidupan keagamaan warga negara.

Dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 97/PUU-XXII/2024, salah satu dokumen kunci yang menjadi rujukan adalah keterangan salah satu ahli dari pemohon pada sidang kedelapan dari Dr. Qurrata Ayuni, pakar hukum tata negara, yang memberikan penekanan tajam pada potensi state overreach negara dalam pengelolaan zakat.

Menurut pemaparan ahli, regulasi yang menempatkan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai satu-satunya otoritas pengelolaan zakat di Indonesia berisiko melanggar prinsip-prinsip konstitusional, terutama hak kebebasan beragama dan partisipasi masyarakat sipil dalam kehidupan keagamaan. Negara, dalam hal ini, telah melangkah terlalu jauh dari perannya sebagai fasilitator.

Mengurai Konsep State Overreach
Dalam penjelasannya, Dr. Ayuni menyebutkan bahwa state overreach terjadi ketika negara tidak hanya mengatur, tetapi juga mengambil alih ruang-ruang ekspresi keagamaan. Dalam konteks zakat, hal ini tampak dari posisi BAZNAS yang bukan hanya menjadi regulator, melainkan juga pelaksana dan pengawas. Fungsi yang seharusnya dibagi secara seimbang dalam sistem demokratis malah dipusatkan dalam satu institusi negara.

Kecenderungan ini mengakibatkan beberapa konsekuensi. Pertama, pengerdilan peran Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang selama ini terbukti mampu mengelola dana zakat secara profesional dan akuntabel.

Kedua, lahirnya subordinasi administratif yang memaksa LAZ untuk memperoleh izin dan rekomendasi dari BAZNAS, bahkan dalam beberapa kasus menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) semata. Ketiga, terhapusnya otonomi spiritual umat Islam dalam menentukan lembaga zakat yang sesuai dengan kepercayaan dan preferensinya.

State overreach seperti ini, dalam pandangan ahli, bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip pluralisme dalam demokrasi. Negara bukan pemilik agama, dan tidak berhak memonopoli praktik keagamaan dalam format institusional tunggal.

Uji Proporsionalitas: Batas Wajar Campur Tangan Negara
Untuk menilai apakah tindakan negara dapat dibenarkan, Dr. Ayuni mengajukan kerangka uji proporsionalitas sebagaimana dikembangkan oleh Robert Alexy dan Aharon Barak (2002). Uji ini terdiri dari empat tahapan.

Yang pertama adalah Legitimate Objective: apakah negara memiliki tujuan sah? Kemudian yang kedua adalah Rational Connection: apakah ada hubungan logis antara kebijakan dan tujuan?

Yang ketiga adalah Necessity: apakah tidak ada cara lain yang lebih ringan? Dan yang terakhir adalah Proportionality Stricto Sensu: apakah manfaatnya sepadan dengan kerugian hak warga?

Dalam kasus zakat, negara mengeklaim tujuannya adalah mendorong akuntabilitas dan transparansi. Namun, jika ini dijadikan dasar untuk menjadikan BAZNAS sebagai super-body tunggal, maka kebijakan tersebut gagal dalam tiga tahap terakhir.

Banyak Lembaga Amil Zakat telah membuktikan diri sebagai lembaga yang akuntabel, bahkan meraih audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan mendapatkan International Organization for Standardization (ISO).

Maka, pendekatan blanket policy yang mengatur seluruh pengelolaan zakat di bawah satu atap jelas tidak rasional. Lebih dari itu, ada banyak cara lain yang lebih ringan untuk memastikan akuntabilitas, seperti audit independen, sistem pelaporan digital, atau sertifikasi terbuka. Negara tidak boleh memilih cara yang paling memudahkan dirinya tapi paling memberatkan hak sipil masyarakat.

Pada tahap akhir, yaitu Proportionality Stricto Sensu, kebijakan ini juga tidak seimbang. Manfaat administratif yang dijanjikan negara kalah besar dibanding dampak kerugian yang timbul: partisipasi publik tergerus, ruang inisiatif sipil melemah, dan relasi spiritual umat dengan zakat menjadi formalistik.

Hak Kolektif Keagamaan dan Tafsir Konstitusional
Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa hak beragama adalah hak individu dan kolektif. Dalam hal zakat, umat Islam tidak hanya berhak untuk menunaikannya, tetapi juga untuk memilih bagaimana dan kepada siapa zakat mereka dikelola. Negara yang memaksa hanya satu saluran berarti telah mengingkari prinsip ini.

Lebih jauh, UUD 1945 pasca-amandemen telah mengalami transformasi dari konstitusi negara-sentris ke arah yang demokratis dan partisipatif. Maka, setiap pembatasan terhadap kehidupan sipil harus diuji dengan sangat ketat, agar negara tidak menjadi aktor hegemonik yang memonopoli ruang spiritual umat.

Praktik Internasional: Negara Bukan Satu-satunya Aktor
Pelajaran dari luar negeri menunjukkan bahwa negara tidak perlu menjadi aktor tunggal dalam urusan zakat. Di Inggris, lembaga seperti Islamic Relief dan Human Appeal menjalankan penghimpunan dan distribusi zakat dengan akuntabilitas tinggi, tanpa kontrol langsung negara.

Di Malaysia, pengelolaan zakat memang di bawah lembaga resmi, tetapi tetap membuka ruang bagi masjid dan komunitas lokal menjalankan fungsi keagamaannya secara mandiri. Model yang mengakui pluralitas dan partisipasi telah terbukti lebih sehat dan sesuai dengan semangat demokrasi. Sebaliknya, model sentralistik cenderung memicu stagnasi, kecurigaan, dan pelemahan kepercayaan publik terhadap kebijakan negara.

Urgensi Revisi UU Zakat
Dengan dasar-dasar ini, revisi terhadap UU No. 23 Tahun 2011 adalah keharusan konstitusional. Undang-undang ini telah melampaui batas yang wajar dan tidak selaras dengan prinsip demokrasi konstitusional. Revisi tersebut harus mengembalikan posisi negara sebagai fasilitator dan pembina, bukan sebagai pelaku tunggal.

Negara perlu merumuskan sistem tata kelola zakat yang kolaboratif menggabungkan kekuatan BAZNAS sebagai regulator dengan peran aktif LAZ sebagai pelaksana berbasis komunitas. Prinsip kesetaraan, akuntabilitas, dan transparansi harus menjadi pilar baru. Dalam sistem ini, umat diberikan kebebasan memilih lembaga yang mereka percayai, sementara negara menjamin lapangan permainan yang adil.

Penutup: Zakat, Keikhlasan, dan Kepercayaan
Zakat bukan sekadar instrumen fiskal, ia adalah ibadah yang menyentuh nilai keikhlasan dan kepercayaan. Ketika negara terlalu jauh masuk ke dalam ranah ini, zakat kehilangan ruhnya. Negara yang baik bukan negara yang mengambil alih semua, tetapi yang memberi ruang bagi warganya untuk bertumbuh dalam kebaikan.

Keterangan ahli dari Dr. Qurrata Ayuni mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan sekadar soal pemilu, tetapi soal batas. Negara harus tahu kapan harus hadir, dan kapan harus mundur. Dalam hal zakat, negara telah terlalu jauh. Sudah saatnya kita mengembalikan zakat kepada umat bukan dalam artian melepaskan tanggung jawab, tetapi memberikan ruang partisipasi, kepercayaan, dan kemandirian.

Jika Mahkamah Konstitusi ingin tetap menjadi penjaga konstitusi, maka ia harus berdiri tegak bersama prinsip kebebasan beragama, pluralisme, dan partisipasi publik. Bukan bersama regulasi yang membungkam semangat ibadah dan kemandirian umat.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation