MARKET DATA
Internasional

Siaga Perang Baru Arab, Pasukan Saudi Vs UEA-Negara Bisa Terbelah Dua

luc,  CNBC Indonesia
19 December 2025 06:30
Pasukan dari kelompok separatis utama Yaman, Dewan Transisi Selatan, tiba di daerah pegunungan tempat mereka melancarkan operasi militer di provinsi selatan Abyan, Yaman, 15 Desember 2025. (REUTERS/Stringer)
Foto: Pasukan dari kelompok separatis utama Yaman, Dewan Transisi Selatan, tiba di daerah pegunungan tempat mereka melancarkan operasi militer di provinsi selatan Abyan, Yaman, 15 Desember 2025. (Reuters/Stringer)

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi keamanan di Yaman kembali berada di ambang eskalasi besar setelah hingga 20.000 pasukan yang didukung Arab Saudi dilaporkan berkumpul di sepanjang perbatasan Yaman. Konsentrasi pasukan ini terjadi di tengah tekanan internasional dan regional terhadap Dewan Transisi Selatan (Southern Transitional Council/STC), kelompok separatis yang dalam sebulan terakhir mencatatkan kemajuan wilayah signifikan di Hadramaut, provinsi timur Yaman yang kaya minyak.

STC menggunakan keberhasilan militernya tersebut untuk kembali menguatkan tuntutan agar Yaman dipisah menjadi dua negara, utara dan selatan, seperti sebelum penyatuan pada 1990. Kelompok ini, yang didukung Uni Emirat Arab (UEA), kini menguasai wilayah strategis yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Yaman.

Namun, sumber-sumber menyebut STC telah diperingatkan tentang kemungkinan serangan udara langsung oleh pasukan Saudi. Ancaman ini berpotensi mengguncang posisi-posisi kunci STC di wilayah timur.

Pasukan yang kini berkumpul di daerah al-Wadeeah dan al-Abr, dekat perbatasan Saudi, sebagian besar berasal dari milisi yang didanai Riyadh dan dikenal sebagai National Shield, dengan imbalan finansial yang relatif tinggi.

Di sisi lain, STC diyakini telah menerima jaminan berkelanjutan dari Uni Emirat Arab bahwa dukungan Abu Dhabi tidak akan surut. Situasi ini meningkatkan risiko bentrokan antara kekuatan yang loyal kepada Arab Saudi dan pasukan yang berpihak pada UEA, dua negara yang selama ini sama-sama menjadi aktor eksternal utama di Yaman.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan bahwa kembalinya perang skala penuh di Yaman dapat berdampak luas hingga ke Laut Merah, Teluk Aden, dan kawasan Tanduk Afrika. Ia mendesak seluruh pihak yang terlibat, termasuk aktor eksternal, untuk menahan diri.

"Tindakan sepihak tidak akan membuka jalan menuju perdamaian, melainkan hanya memperdalam perpecahan, meningkatkan risiko eskalasi yang lebih luas, dan menyebabkan fragmentasi lebih lanjut," kata Guterres, dilansir The Guardian, Kamis (18/12/2025).

Ia menegaskan bahwa "kedaulatan dan keutuhan wilayah Yaman harus dipertahankan," seraya mengungkapkan bahwa hampir 5 juta warga Yaman telah terpaksa mengungsi akibat perang saudara berkepanjangan antara kelompok Houthi di utara dan kekuatan di selatan yang kini semakin terpecah.

Dalam perundingan yang digelar di basis kuatnya di Aden pada Jumat lalu, STC menegaskan tidak akan mematuhi tuntutan Arab Saudi agar menarik pasukannya. Pasukan STC pertama kali memasuki Hadramaut dua pekan lalu, sebelum melanjutkan ekspansi ke provinsi tetangga al-Mahra yang berbatasan langsung dengan Oman. Selain itu, STC juga memperketat cengkeramannya dengan mengirim pasukan ke provinsi ketiga, Abyan.

Pergerakan cepat dan tak terduga STC ini mengejutkan Riyadh, yang sebelumnya dipandang sebagai aktor dominan dalam konflik Yaman. Inggris, bersama sebagian besar komunitas internasional, masih mendukung keutuhan Yaman sebagai satu negara.

Namun, skema tersebut mensyaratkan adanya kesepakatan pembagian kekuasaan antara Houthi di utara dan kekuatan selatan dalam kerangka pemerintahan federal.

Sebaliknya, STC mengusulkan bahwa Yaman selatan yang merdeka dapat berfungsi sebagai benteng antiekstremisme, melindungi jalur pelayaran Laut Merah dari ancaman Houthi dan jaringan al-Qaeda.

Tantangan utama bagi STC adalah tidak semua kelompok di selatan mendukung pemisahan, sehingga kelompok ini masih harus membuktikan kemampuannya membentuk pemerintahan yang solid dan inklusif.

Peneliti program Timur Tengah di lembaga think tank Chatham House, Farea al-Muslimi, menilai kesabaran strategis Arab Saudi kemungkinan tidak akan bertahan lama.

"Sejauh ini Arab Saudi mencoba bersabar secara strategis, tetapi saya rasa itu tidak akan berlangsung lama. Ini tidak berarti mereka pasti akan terlibat perang langsung dengan UEA di Yaman. Namun Yaman adalah negara miskin dengan terlalu banyak pejuang muda dan terlalu banyak proksi. Kedua pihak kini menaruh semua kartu mereka di atas meja," ujarnya.

Menurut al-Muslimi, meski perkembangan ini tidak mengejutkan para pengamat Yaman, dampak simboliknya sangat memalukan bagi Arab Saudi. "Ini terjadi di perbatasan Saudi, bukan di perbatasan UEA," katanya.

Dengan dikuasainya dua provinsi utama tersebut, STC kini dapat mengeklaim mengendalikan seluruh wilayah yang dulu membentuk negara Yaman Selatan. Hadramaut sendiri mencakup sekitar 36% wilayah Yaman, menyimpan cadangan minyak terbesar negara itu, serta memiliki pelabuhan-pelabuhan vital seperti Mukalla, al-Shihr, dan terminal minyak al-Dhabba.

Partai Islah, partai politik terbesar di Yaman yang menentang pemisahan wilayah selatan, menyatakan keyakinannya bahwa tekanan dari dalam Hadramaut agar STC mundur akan segera menguat. Dalam wawancara dengan The Guardian saat berkunjung ke London, Sekretaris Jenderal sementara Islah, Abdulrazak al-Hijri, mengatakan pihaknya berharap krisis ini dapat diselesaikan secara damai.

"Kami berharap ini bisa diselesaikan secara damai, tetapi apa yang terjadi di Hadramaut adalah perkembangan yang berbahaya dan berdampak negatif terhadap institusi negara yang sah. Pasukan tidak reguler yang tidak berada di bawah kendali negara telah menyerbu provinsi-provinsi yang stabil dan aman, menciptakan kekacauan," ujarnya.

Hijri menambahkan bahwa Hadramaut memiliki sejarah panjang kemandirian, dan para pemimpin politik serta tokoh suku utama di wilayah tersebut menginginkan STC angkat kaki. Ia juga mengungkap adanya laporan luas mengenai dugaan pelanggaran HAM oleh STC, termasuk pencurian properti dan penangkapan massal.

"Arab Saudi bertekad bahwa pasukan-pasukan ini harus pergi dan kembali ke wilayah asal mereka. Pemerintah yang sah sedang terfragmentasi, dan satu-satunya pihak yang akan diuntungkan dari perpecahan yang semakin dalam ini adalah Houthi," katanya.

Hijri bahkan menuduh kelompok Houthi memiliki pandangan merendahkan terhadap rakyat Yaman. "Mereka tidak melihat warga Yaman sebagai sebuah bangsa, melainkan sebagai sekelompok budak yang mereka kuasai," ujarnya.

Partai Islah menegaskan bahwa mereka adalah partai sipil dan tidak memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, bertentangan dengan tuduhan Uni Emirat Arab. Sejak 2022, STC secara tidak nyaman berbagi kekuasaan dalam Dewan Kepemimpinan Presiden yang dibentuk atas prakarsa Arab Saudi, bersama sejumlah kelompok lain termasuk Islah.

 

(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Heboh Rudal Terbang di Langit Madinah Arab Saudi, Ledakan Terdengar


Most Popular
Features