Nilai Restitusi yang Tak Dikabulkan Ditjen Pajak Turun Jadi Rp16,46 T
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai pengajuan restitusi atau pengembalian atas pajak yang telah disetorkan wajib pajak ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyusut sepanjang tahun lalu.
Mengutip dokumen Laporan Tahunan DJP 2024 nilai restitusi yang ditolak atau disebut dengan istilah refund discrepancy sepanjang tahun lalu hanya sebesar Rp 16,46 triliun.
Dibandingkan dengan Laporan Tahunan 2023 nilai refund discrepancy itu turun sekitar 27,93% karena saat itu nilainya sebesar Rp 22,84 triliun.
"Refund discrepancy merupakan jumlah pajak yang bisa dipertahankan oleh pemeriksa pajak atas permohonan pengembalian (restitusi) yang disampaikan oleh wajib pajak melalui SPT," dikutip dari Laporan Tahunan DJP 2024, Senin (15/12/2025).
Sejak 2019, sebetulnya nilai refund discrepancy mengalami peningkatan. Saat itu, nilai refund tersebut sebesar Rp 8,22 triliun, lalu menjadi Rp 11,57 triliun pada 2021.
Lalu, pada 2022 sedikit turun menjadi Rp 11,37 triliun, sebelum akhirnya melonjak pada 2023 menjadi Rp 22,84 triliun, dan kembali turun pada 2023 menjadi Rp 16,46 triliun. Sementara itu, geliat restitusi justru mengalami peningkatan, bahkan hingga 2025.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkapkan, restitusi pajak pada tahun ini hingga akhir Oktober makin tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu.
Total restitusi pajak hingga Oktober 2025 mencapai Rp 340,52 triliun, atau 36,4% lebih tinggi dibanding akhir Oktober 2024 yang senilai Rp 249,59 triliun.
Terbesar ialah restitusi dalam bentuk pajak pertambahan nilai dalam negeri atau PPN DN yang mencapai Rp 238,86 triliun, sedangkan PPh Badan Rp 93,80 triliun. Pada tahun lalu, untuk PPN DN nilainya hanya Rp 192,72 triliun sedangkan PPh Badan Rp 52,13 triliun.
"Meningkat jauh dibanding periode yang sama tahun sebelumnya," kata Bimo saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Bimo mengatakan, restitusi ini dilakukan dengan dua skema, yakni audit dan pendahuluan pengembalian.
Untuk audit dilakukan dalam jangka waktu 12 bulan dan meliputi proses pemeriksaan atas pembukuan dokumen terkait kewajiban wajib pajak, sedangkan untuk restitusi dipercepat atau pengembalian pendahuluan diberikan dengan kemudahan pencairan bagi wajib pajak yang memenuhi syarat yang memang berhak atas restitusi pengembalian pendahuluan.
Sementara itu, faktor-faktor pendorong kenaikan restitusi kata dia tidak hanya dalam aspek administrasi restitusi yang telah diperbarui itu, tapi lebih banyak dipengaruhi kondisi makro ekonomi dan perubahan perilaku wajib pajak.
Untuk masalah yang terkait dengan makro ekonomi, Bimo mengatakan, sangat erat kaitannya dengan moderasi harga komoditas yang sebabkan penurunan omzet usaha, dan laba perusahaan, sehingga SPT tahunan lebih bayar yang pada akhirnya banyak yang mengajukan restitusi.
"Selain harga komoditas terdapat perubahan perilaku di mana wajib pajak yang sebelumnya kompensasi, tahun ini beralih untuk melakukan restitusi," ucap Bimo.
(arj/haa)[Gambas:Video CNBC]