Proyek Pengganti LPG dari Batu Bara Bakal Disubsidi? Ini Kata ESDM
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) angkat suara perihal wacana insentif untuk proyek pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG), tepatnya untuk program gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME).
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah sedang fokus menghitung Harga Pokok Produksi (HPP) yang paling ideal untuk produk DME tersebut. Perhitungan tersebut untuk menentukan apakah produk substitusi energi tersebut memerlukan bantuan negara.
"Jadi kita lagi memperhitungkan berapa HPP untuk DME, kalau memang ada subsidi itu kan juga merupakan pengalihan subsidi dari untuk LPG yang ada saat ini," jelasnya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (12/12/2025).
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut akan membuka 'karpet merah' bagi investor atau perusahaan yang ingin membangun industri hilirisasi batu bara, termasuk industri pengolahan dimethyl ether (DME) di Indonesia.
Hal ini ditegaskan Purbaya dalam rapat kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI, Senin (8/12/2025). Seperti diketahui, sebelumnya perusahaan Amerika Serikat (AS), Air Products, membatalkan investasi DME di Indonesia. Padahal, proyek ini sudah melalui tahap pencanangan batu pertama (groundbreaking) dan bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero).
"PTBA gagal, lalu ada perusahaan Amerika, ahli Dimethyl Ether. Investasi ini terbesar di Amerika, sudah siap investasi? Nggak juga, nggak bisa jalan, karena emang saya nggak tahu di mana salahnya. Waktu itu semangat untuk kritikannya tidak betul-betul dijalankan dengan baik," tutur Purbaya dalam Raker, dikutip Selasa (9/12/2025).
Purbaya mengungkapkan Kemenkeu akan memberikan insentif bagi perusahaan atau investor yang berniat mengembangkan hilirisasi batu bara. Adapun, dalam Raker ini, dia menjabarkan soal rancangan tarif bea keluar untuk komoditas ekspor batu bara. Besarannya akan berkisar 1%-5% pada 2026.
Ia mengatakan, besaran tarif itu sebetulnya serupa dengan tarif yang sudah dikenakan ke komoditas batu bara sebelum ditetapkan Undang-Undang Cipta Kerja bahwa komoditas itu bebas pengenaan perpajakan.
"Jadi saya balikin ke normal seperti itu. Sebelum Undang-Undang Cipta Kerja, range tarifnya 1-5%," ucap Purbaya saat ditemui di kawasan DPR, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Purbaya menekankan, tarif itu sudah didiskusikan dengan Kementerian ESDM, sehingga bisa didapati potensi target penerimaan bea keluar dari komoditas batu bara pada 2026 senilai Rp 20 triliun.
Ia mengatakan, melalui kebijakan normalisasi ketentuan perpajakan batu bara ini, akan terjadi kesetaraan pemberlakuan perpajakan, dari yang selama ini ia anggap timpang, karena pengusaha batu bara banyak yang mengajukan restitusi pajak saat harga jatuh namun tak memberikan sumbangan bea keluar.
Ia menganggap pemberlakuan komoditas ekspor batu selama ini serupa dengan pemerintah memberikan subsidi kepada orang kaya
"Sudah didiskusikan oleh ESDM. seharusnya mereka setuju karena saya enggak mau subsidi industri orang-orang kaya itu, masa net negative, kan rugi, jadi itu yang harus kita kejar," papar Purbaya.
[Gambas:Video CNBC]