Hilal UMP 2026 Belum Jelas, Bos Buruh "Marah" Waktu Mepet-Tuntut Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Titik terang kenaikan upah minimum maupun UMP (upah minimum provinsi) untuk tahun 2026 sampai saat ini belum muncul. Buruh pun harap-harap cemas menanti keputusan pemerintah.
Berbagai prediksi besaran kenaikan upah minimum untuk tahun 2026 pun telah banyak beredar. Namun, kepastiannya belum juga jelas.
Padahal pemerintah sebelumnya telah menyatakan, aturan baru terkait pengupahan sudah diteken. Disebutkan, aturan baru itu dibutuhkan untuk menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengupahan.Â
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi pun angkat bicara. Kata dia, belum adanya kejelasan kenaikan upah minimum tahun 2026 menunjukkan seolah ada kepentingan tertentu yang ingin memanfaatkan waktu.
"Presiden Prabowo belum teken PP (Peraturan Pemerintah). Saya curiga ada pembisik Presiden sengaja buying time untuk kepentingan politis yang ingin menerapkan skenario kenaikan upah akan diputuskan Presiden sama rata kembali," kata Ristadi, Jumat (12/12/2025).
"Sejak akhir November saya sudah mendapatkan informasi bahwa aturan baru tentang upah minimum yang memperhatikan putusan MK dan disparitas upah antar daerah sudah selesai di level Kementerian terkait. Dan, dikirim ke Presiden untuk disahkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Namun hingga kini belum ada kabar kepastian kapan akan disahkan, padahal Upah Minimum 2026 sudah harus berlaku mulai 1 Januari 2026," tukasnya.
Ristadi menambahkan, PP tentang upah minimum ditunggu-tunggu oleh daerah untuk dijadikan pedoman pengkajian dan penghitungan kenaikan upah minimum oleh masing-masing Dewan Pengupahan daerah.
"Untuk kemudian direkomendasikan kepada Gubernur untuk disahkan," cetusnya.
"Proses pengkajian dan penghitungan kenaikan upah minimum oleh Dewan Pengupahan daerah hingga disahkan Gubernur itu butuh waktu yang memadai. Agar hasilnya lebih objektif dan akomodatif. Namun sampai sekarang waktu semakin mepet ke tanggal 1 Januari 2026 tapi belum juga disahkan PP upah minimum tersebut," ucap Ristadi.
Dia pun mendesak PP upah minimum segera disahkan.
"Juga, agar menteri-menteri bidang ekonomi untuk tidak hanya sekedar menunggu saja, tapi ingatkan Presiden untuk segera mengesahkan aturan kenaikan upah minimum yang sesuai putusan MK dan mempertimbangkan disparitas upah antardaerah. Untuk kemudian dijadikan pedoman teknis pengkajian dan perumusan kenaikan upah minimum di masing-masing daerah," ujarnya.
'Saya mencurigai ini ada pembisik Presiden yang sengaja buying time, sehingga nantinya kenaikan upah minimum akan diambil alih diputuskan kembali oleh Presiden melalui hak diskresinya. Dengan hanya melakukan negosiasi dengan beberapa Pimpinan Buruh. Dengan alasan waktu yang sudah mendesak tidak mungkin lagi dibahas dan dirundingkan didaerah-daerah," sambung Ristadi.Â
Tambah Ristadi, Hak Diskresi memang dibolehkan.
"Tapi jika ini dilakukan kembali untuk kenaikan upah minimum, maka akan memicu berbagai dampak dan kemungkinan. Sebab, secara de facto kenaikan upah minimum diputuskan oleh Presiden. Padahal aturannya masih berlaku Gubernurlah yang memutuskan berapa kenaikan upah minimum atas rekomendasi Dewan Pengupahan daerah masing-masing," jelasnya.
"Ini berpotensi mengabaikan prinsip-prinsip rasionalitas data dan tidak bisa dijelaskan secara kajian ilmiah seperti kenaikan upah minimum tahun 2025 ini sebesar 6,5%. Sehingga ini hanya akan jadi panggung 'entertain politis' saja oleh Presiden dan pimpinan buruh yang berkepentingan politis. Jika kemudian ditetapkan kenaikannya satu angka sama rata se-Indonesia, maka disparitas/kesenjangan upah minimum antar daerah semakin tinggi, ini tidak adil bagi pekerja dan tidak sehat untuk persaingan dunia usaha," pungkas Ristadi.
[Gambas:Video CNBC]