Sebelum Diancam Purbaya, Bea Cukai Pernah Dibubarkan Soeharto
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan adanya ancaman serius pembekuan kembali Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan bila tak mampu membenahi citra di tengah masyarakat dan Presiden Prabowo Subianto.
Purbaya mengaku sudah menyampaikan secara langsung adanya ancaman itu kepada jajaran DJBC.
"Saat rapat internal ya, kita diskusikan dengan mereka, saya bilang begini, image Bea Cukai kurang bagus di media, di masyarakat, di pimpinan kita teratas, di pimpinan tertinggi kita. Jadi kita harus perbaiki," kata Purbaya di kawasan Gedung DPR, Jakarta, dikutip kembali pada Jumat (28/11/2025).
Dalam rapat itu, Purbaya turut menyampaikan kepada jajarannya di Bea Cukai bahwa sudah meminta waktu kepada kepala negara untuk memperbaiki citra dan kinerja Bea Cukai dalam satu tahun ke depan. Bila batas waktu tak terpenuhi, ancamannya Bea Cukai kembali dibekukan.
Pemerintah kata dia akan merujuk pengawasan kepabeanan dan cukai seperti era Orde Baru alias Orba, yakni dengan memanfaatkan layanan Société Générale de Surveillance (SGS) asal Swiss.
"Saya sudah minta waktu satu tahun untuk tidak diganggu dulu, beri waktu saya untuk memperbaiki Bea Cukai. Karena ancamannya serius, kalau Bea Cukai tidak bisa memperbaiki kinerjanya dan masyarakat masih tidak puas, Bea Cukai bisa dibekukan, diganti dengan SGS. Seperti zaman dulu lagi," kata Purbaya.
Kendati begitu, Purbaya menegaskan komitmennya untuk tidak menyerahkan begitu saja operasional DJBC kepada pihak asing dengan cara membekukan direktorat yang ada di bawah kendalinya. Maka, ia berkomitmen untuk bekerja sama dengan bawahannya memperbaiki Bea Cukai di mata masyarakat dan Kepala Negara.
"Saya pikir dengan adanya seperti itu orang-orang Bea Cukai, tim saya di Bea Cukai semakin semangat. Pengembangan software-nya juga cepat sekali. Saya pikir kita akan bisa menjalankan program-program yang di Bea Cukai dengan lebih bersih tanpa harus menyerahkan ini ke tangan orang lain," ungkapnya.
Bila merujuk pada era Orba, atau masa pemerintahan Presiden Soeharto, DJBC bahkan sempat dibubarkan akibat masalah penyelewengan hingga korupsi. Catatan bersejarah itu terekam oleh jurnalis Mochtar Lubis dalam 'Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya' (1997).
Dalam catatan Mochtar Lubis, para pegawai Bea Cukai secara terang-terangan melakukan persekutuan dengan para penyelundup barang. Belum lagi, mereka juga kerap santai saat mengurus administrasi. Persoalan ini juga diamini oleh Menteri Keuangan, Ali Wardhana kala itu.
Pada Mei 1971 saat berkunjung ke kantor Bea Cukai Tanjung Priok, Ali melihat banyak pegawai yang tak becus bekerja. Selain itu, dia mendengar bahwa mereka terlibat dalam kasus penyelundupan barang. Bagi Ali, situasi ini tak dapat dibenarkan dan membuat geram.
Padahal, pegawai bea cukai termasuk kelompok pegawai dengan gaji tinggi. Saat itu, mereka baru mendapat kenaikan hingga 9x gaji. Meski begitu, kenaikan tersebut terbukti tak membuat mereka berubah.
Akibat bertindak korupsi, seperti diutarakan Majalah Media Keuangan (2019), ekonom Emil Salim menyebut para pegawai bea cukai bisa kaya raya hingga tujuh keturunan.
Berbagai kebijakan untuk mengubah kebiasaan tersebut seperti mutasi dan hukuman telah dilakukan Ali Wardhana. Namun, hasilnya nihil. Korupsi dan penyelewengan terus terjadi. Akibat permasalahan sudah menumpuk di bea cukai, Ali mengambil jalan terakhir: pembubaran.
Pada 1983, ketika menjabat sebagai Menko Ekonomi, Ali mengusulkan ke Presiden Soeharto untuk menutup Bea dan Cukai. Presiden setuju dan merealisasikan itu dua tahun kemudian. Peran Bea dan Cukai lantas digantikan oleh Société Générale de Surveillance (SGS) dari Swiss.
Selama penutupan Bea Cukai, permasalahan besar tersebut langsung sirna. Prosedur ekspor impor menjadi lebih mudah, biaya logistik menurun, dan penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai melonjak tinggi.
Sampai akhirnya, setelah masalah sirna, Bea Cukai baru diaktifkan kembali pada era2000-an.
[Gambas:Video CNBC]