Sarasehan 100 Ekonom Indonesia

RI dan Brasil Dulu Sama-Sama Importir Sapi, Sekarang Beda Nasibnya

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
28 October 2025 14:33
Menko Pangan, Zulkifli Hasan saat menyampaikan paparan dalam acara Sarasehan 100 Ekonom di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Menko Pangan, Zulkifli Hasan saat menyampaikan paparan dalam acara Sarasehan 100 Ekonom di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Sahara, menyoroti persoalan mendasar dalam tata kelola impor pangan nasional. Ia menilai sistem impor berbasis kuota selama ini kerap menimbulkan distorsi pasar dan ketidakefisienan. Karena itu, ia mempertanyakan kemungkinan reformasi kebijakan impor pangan, termasuk untuk komoditas strategis seperti gula, garam, daging sapi, kedelai, dan bawang putih, agar lebih transparan dan kompetitif.

"Kebijakan impor yang selama ini dilakukan berbasis kuota kerap kali menimbulkan persoalan transparansi, distorsi pasar, dan kadang tidak efisien bagi pelaku usaha untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Beberapa pihak sudah mengusulkan reformasi kebijakan impor pangan dari kuota ke tariff rate quota sampai ke full tarif," ujar Sahara dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa lagi menggunakan sistem tarif impor karena telah terikat dengan berbagai perjanjian perdagangan internasional seperti Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).

"Kalau rezim tarif sudah enggak boleh. Karena kita hampir semua sudah CEPA. CEPA itu Comprehensive Economic Partnership Agreement. Jadi, zero tarif," jelas Zulhas dalam kesempatan yang sama.

Ia mengatakan, jika Indonesia tetap mengenakan tarif impor, maka negara mitra dagang juga akan melakukan hal yang sama. "Mau dengan China, dengan mana pun kita sekarang sudah kalau kita kenakan tarif, dia kenakan tarif juga," ujarnya.

Zulhas kemudian mencontohkan persoalan yang dihadapi dalam impor daging sapi, yang menurutnya menjadi salah satu cermin kebijakan pangan nasional. Ia menilai, Indonesia pernah memiliki peluang besar untuk menjadi negara dengan industri peternakan kuat, tetapi kebijakan yang tidak berkesinambungan membuat peluang itu terlewat.

Pekerja melakukan bongkar muat sapi impor dari Australia di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dari kapal Gelbray Express, Kamis (21/3/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)Foto: Pekerja melakukan bongkar muat sapi impor dari Australia di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dari kapal Gelbray Express, Kamis (21/3/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Pekerja melakukan bongkar muat sapi impor dari Australia di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dari kapal Gelbray Express, Kamis (21/3/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

"Saya kasih contoh. 50 tahun yang lalu, Indonesia impor sapi dari India, sapi putih. Brasil impor sapi dari India juga sama-sama," ungkap Zulhas.

Perbedaannya, kata Zulhas, Brasil melakukan pembibitan dan penggemukan sapi secara serius hingga kini menjadi salah satu eksportir daging sapi terbesar dunia.

"Kita kasih Tuhan yang ngurus. Kalau mereka diteliti. Sekarang sapinya Brasil 200.000 ekor lebih. Kita sekarang impor sapi besar-besaran. Sekali lagi, kita tinggal pilihan. Kita mau pilih yang mana. Tidak mudah," katanya.

Zulhas menjelaskan, pemerintah perlu menata ulang sistem impor agar tetap memberi ruang bagi industri peternakan dalam negeri tumbuh.

"Sapi, kita akan impor daging sapi itu bisa 1 juta. Pilihannya kita mau impor daging sapi saja atau mau sapi hidup. Kalau sapi hidup, kita punya nilai tambah," ujarnya.

Kebijakan kuota, lanjutnya, bukan berarti membatasi pasar, tetapi menjadi instrumen untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dalam negeri dan pembangunan sektor peternakan.

"Kalau kita mau sapi breeding, maka dia 7 tahun bisa beranak. Kalau kita mau milih breeding atau penggemukan sapi, maka daging bekunya harus diatur. Ini pilihan saja. Itu yang disebut kuota itu," jelasnya.

Ia menegaskan, jika sistem impor dibiarkan bebas tanpa pengaturan kuota, maka industri peternakan lokal akan sulit berkembang.

"Jadi kalau kita milih bebas, maka di sini tidak akan ada sapi gemuk," pungkas Zulhas.


(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bea Masuk Turun 2,8%, Pemerintah Kurangi Impor Pangan

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular