
Bos Pengusaha Curhat, Industri Keramik RI Dihajar Impor-Beli Gas Mahal

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri keramik nasional kembali menghadapi tantangan berat. Selain tekanan dari lonjakan produk impor, mahalnya harga gas juga menjadi sorotan pelaku industri. Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, kondisi saat ini cukup mengkhawatirkan dan bisa menggerus daya saing industri dalam negeri.
Menurut Edy, efek dari perang dagang global sudah mulai terasa. Salah satu dampaknya adalah membanjirnya produk impor dari India ke pasar Indonesia.
Di sisi lain, dia berharap pemerintah menerapkan skema pemenuhan kebutuhan domestik Domestic Market Obligation (DMO) untuk gas industri.
"Hari ini tentu kita masih memikirkan bahayanya, di mana setelah perang tarif antara Amerika dengan dunia ini, kita memperhatikan eksesnya di mana gempuran produk impor dari India, ini akan masuk ke Indonesia dengan jumlah yang sangat besar. Terbukti sudah naik ratusan persen," ujar Edy di Menara Kadin, Selasa (7/10/2025).
Di tengah serbuan barang impor, industri keramik domestik juga dibelit persoalan klasik yakni pasokan gas yang tak stabil dan harga yang melambung tinggi. Pasokan gas murah sesuai Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dinilai belum merata, terutama di wilayah Jawa.
"Sekarang hari ini Jawa bagian barat, suplai gas hanya 60-65 persen. Selebihnya dikenai AGIT (alokasi gas industri tertentu) yang sangat mahal, US$15,3 MMBTU. Jawa Timur hanya 50-55 persen, selebihnya dikenakan AGIT," lanjut Edy.
Ia menilai realisasi HGBT yang belum 100% dapat dimaklumi, mengingat keterbatasan infrastruktur dan pasokan. Namun, Edy menekankan perlunya titik tengah agar industri tetap bisa bertahan.
"Kita meminta bahwa suplai gas, kami tahu untuk mencapai 100 persen sesuai Kepmen itu memang membutuhkan effort lebih dengan keterbatasan saat ini. Sehingga kami juga realistis, angka berapa yang industri masih bisa berdaya saing? hitungan kami di 85 persen. Selebihnya, 15 persen itu dengan menggunakan regasifikasi LNG," ujarnya.
Masalahnya, harga LNG hasil regasifikasi yang berlaku saat ini dinilai jauh lebih mahal dibanding negara tetangga.
"Namun angkanya, ekspektasi kami tidak di US$15,3 per MMBTU, itu sangat tinggi dibanding harga LNG belahan dan dunia lainnya. Ekspektasinya kami ada di US$10 per MMBTU misalnya. Malaysia US$10,05 per MMBTU, sedangkan Thailand itu US$10,2 per MMBTU, kita masih 15,3," tegas Edy.
Untuk menjaga kelangsungan industri, ia juga mendorong pemerintah mempertimbangkan kebijakan khusus terkait impor, seperti skema Domestic Market Obligation yang selama ini diterapkan di sektor batu bara.
"Dan kami juga berharap bahwa pemerintah juga memikirkan berkaitan izin impor. Kenapa kita juga tidak melakukan seperti selayaknya batu bara? Ada DMO atau Domestic Market Obligation, siapa tahu itu juga bisa diterapkan untuk sektor energi gas," tukasnya.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan harga gas industri sebesar USD7 per MMBTU bagi tujuh sektor prioritas, termasuk industri keramik. Namun, realisasinya kerap tak merata di lapangan, terutama di luar Jawa bagian barat dan timur yang infrastruktur gasnya belum sepenuhnya siap.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos Keramik Curhat: Maju Mundur Kena!
